Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah bercat putih bernomor 5 itu terletak di sudut perempatan jalan Kampung Jagalan Tengah, Kelurahan Jagalan, Jebres, Solo. Halamannya yang luas dirimbuni beragam jenis tanaman, dari pohon mangga hingga bambu. Di bawah rimbun pepohonan itulah dulu Wiji Thukul bersama anggota Teater Jagat lainnya biasa berlatih teater dan musik serta membaca puisi. "Dulu kami biasa berlatih di halaman ini," kata Cempe Lawu Warta, pendiri Teater Jagat, kepada Tempo, Maret lalu.
Dikelilingi pagar tembok setinggi setengah meter, rumah bekas sanggar Teater Jagat yang berada di sebelah kampung tempat tinggal Thukul itu juga memiliki ruang tamu cukup luas, tempat berkumpul dan diskusi berkapasitas sekitar 20 orang. Di ruangan itu Thukul kerap mengisi waktunya dengan berkutat membaca buku, berdiskusi, ataupun membuat coretan puisi. "Dia lebih sering di sini dibanding di rumahnya. Ruangan ini tempat favoritnya. Dia biasa membaca dan tidur di sini," ujar Lawu mengenang anak didiknya itu.
Teater Jagat—kependekan dari Teater Jejibahan Agawe Genepe Akal Tumindak—boleh dibilang sebagai kawah candradimuka bagi proses kesenian dan kepenyairan Thukul. Dia bergabung dengan teater itu pada 1981. Kala itu, Thukul siswa kelas II Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI)—setingkat sekolah menengah atas—di Kepatihan, Solo. Awalnya ia hanya ikut-ikutan. Namun, setahun berselang, dia berhenti sekolah dan memilih aktif di Jagat.
Lawu, yang pernah aktif di Bengkel Teater asuhan W.S. Rendra di Yogyakarta pada 1970-an, mengajari Thukul berkesenian seperti anak-anak Jagat lainnya. Hanya, Lawu menemui kesulitan karena Thukul tidak bisa menyanyi. Di bidang musik, Thukul tidak peka. Dia juga tidak bisa berteater dan menari meski di SMKI mengambil jurusan tari. Lalu di bidang olah vokal lebih sulit lagi karena Thukul sangat pelo—tidak bisa melafalkan "r" alias cadel.
Namun akhirnya Lawu menemukan bakat Thukul di bidang puisi. "Dia suka membaca dan menulis. Ketika membaca tulisannya, saya tahu dia punya bakat sebagai pujangga. Karena itu, saya mengarahkan dia untuk membuat puisi," Lawu menjelaskan.
Lawu mendidik Thukul dengan keras. Untuk mengurangi "kepeloan" Thukul, ia melatih vokal dengan memaksanya mengucap kata sejelas dan sekeras mungkin. Perlahan dia juga mengurangi persoalan psikologis Thukul, yang penakut dan tidak percaya diri. "Pada dasarnya Thukul penakut dan minderan karena sejak kecil mungkin jadi bahan olok-olok teman-temannya," katanya.
Untuk memupuk rasa percaya diri murid-muridnya, termasuk Thukul, Lawu mengajak mereka mengamen keliling Solo. Keluar-masuk kampung, mereka mengamen dengan membaca sajak-sajak ciptaan mereka sendiri. Boleh dibilang Lawu berhasil menempa Thukul. Dia menjadikan Thukul yang semula minderan menjadi memiliki rasa percaya diri sangat besar dan berani tampil di depan publik. Sejak itu, Thukul tumbuh menjadi salah satu anggota Jagat yang paling berani mengamen, meski bicaranya masih tetap pelo. Dia pergi mengamen puisi hingga ke luar Kota Solo.
Sejak di Teater Jagat, Thukul mulai produktif membuat puisi. Dia biasa menulis puisi pada selembar kertas untuk kemudian ditempel di majalah dinding yang ada di sanggar atau dibacakan di depan teman-temannya sambil diiringi musik. Menurut Lawu, puisi-puisi awal Thukul adalah puisi kontemplatif tentang dirinya dan lingkungannya. "Sudah mengandung kritik, tapi sama sekali tidak politis," ujarnya. "Sayangnya, kami tidak punya dokumen puisi-puisi awal Thukul."
Ada cerita menarik sejak Thukul bergabung dengan Jagat. Di teater itu, dia mulai mengenal mushroom atawa jamur tlethong. Ini merupakan jamur tahi sapi karena banyak tumbuh di tempat timbunan kotoran sapi. Anak-anak Jagat biasa mencampur mushroom dalam nasi goreng atau telur dadar, lalu dimakan ramai-ramai. "Bagi kami, saat itu mushroom adalah salah satu ekspresi dari kebebasan," tutur Lawu. Dari semua murid Lawu, Thukul paling gemar mengkonsumsi mushroom. "Waktu itu mushroom belum terlarang. Thukul tidak doyan minuman keras ataupun narkoba, hanya mushroom itu," Lawu menambahkan.
Kadang, setelah makan mushroom, Thukul mendapat inspirasi membuat puisi. Tapi tak jarang mushroom bikin masalah. Pernah suatu ketika, setelah makan mushroom, Thukul mendengarkan radio yang kebetulan menyiarkan tentang perang Libanon-Israel. Efek mushroom membuatnya berimajinasi seolah-olah berada di medan perang. Dia lantas berteriak-teriak ketakutan, berlarian tak keruan, bersembunyi di kolong tempat tidur, hingga naik ke atap rumah.
PUISI telah menjadi bagian dari setiap tarikan napas Thukul. Selain ditempel di majalah dinding di Teater Jagat, sebagian puisinya dikirim ke Radio PTPN Rasitania, Surakarta, untuk diapresiasi dan dibacakan pada acara Ruang Puisi. Acara yang disiarkan saban Rabu malam sepanjang satu jam itu diasuh oleh Hanindawan dan Tinuk Rosalia. Keduanya mengasuh acara apresiasi puisi tersebut pada 1981-1982.
Menurut Hanin, panggilan akrab Hanindawan, bukan hanya puisi karya penyair terkenal yang diulas, puisi para pemula seperti Thukul juga dibahas di acara itu. "Thukul termasuk anak muda yang paling rajin mengirim puisi ke kami," katanya.
Hanin mengenang, sebagai penulis pemula, kualitas puisi-puisi karya Thukul lebih menonjol dibanding anak muda lain. "Pilihan katanya sudah baik. Kata-katanya sudah cukup bening," ujarnya. "Namun memang belum terlalu fokus. Semisal orang bicara, gaya bicaranya masih berkelok-kelok."
Dari semua puisi Thukul yang dikirim ke Radio PTPN, Hanin hanya ingat satu puisi berjudul "Senja Tetes-tetes". Puisi sepanjang dua halaman itu merupakan puisi religius. Isinya tentang renungan Thukul ketika melihat tetesan gerimis hujan pada waktu senja. "Ketika itu, dia seolah-olah tengah berdialog dengan Tuhan," kata Hanin, yang saat ini menjadi pengasuh Teater Gidag-Gidig, Solo.
Tinuk, rekan Hanin di Radio PTPN yang kini tinggal di Illinois, Amerika Serikat, mengenang puisi-puisi awal Thukul memang sarat muatan religius. "Sebagaimana kebanyakan penyair muda pada zaman itu, pandangan kepenyairan Thukul begitu terpana pada puisi-puisi yang bersifat perenungan religius," ujar Tinuk, yang saat itu mahasiswi di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Dalam sebuah wawancara di acara Ruang Puisi yang diasuhnya, Tinuk menanyakan sikap kepenyairan Thukul tersebut. Thukul menjawab bahwa menulis puisi baginya tak ada bedanya dengan mereka yang pergi ke gereja atau ke masjid dalam rangka mendekati Tuhannya. "Bagi Thukul, menulis puisi adalah doa dan pengalaman religi," katanya.
Dengan sikap itulah Thukul terus melangkah. Kepada Tinuk, dia mengatakan setidaknya sampai hari itu (saat diwawancarai) puisi-puisinya cenderung religius. "Tapi saya sendiri tidak tahu apakah saya akan terus menulis puisi yang religius atau tidak," ujar Thukul saat itu.
Thukul pertama kali menerbitkan kumpulan puisinya lewat Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Solo—sekarang Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS)—pada sekitar 1985. Bertajuk Puisi Pelo, kumpulan puisinya itu dicetak secara stensilan. "Tebalnya sekitar 20 halaman," ucap Siliyanto, mantan pengelola PKJT, yang mengetik dan mencetak kumpulan puisi itu.
Siliyanto mengenal Thukul pada 1982 lewat Lawu Warta, yang kerap membawa penyair muda itu ngamen puisi. "Setiap kami ada acara pentas atau diskusi di Sasono Mulyo, mereka datang minta supaya diizinkan ngamen," ujar pria yang juga sesepuh Teater Gapit ini.
Kebetulan PKJT memiliki forum Pentas Kecil, yang sering dijadikan ajang eksperimen kelompok teater dan pembacaan puisi seniman pemula. Menurut Siliyanto, seusai pementasan, biasanya digelar diskusi. Thukul aktif dalam setiap diskusi. "Sebagai anak muda, ia yang paling menonjol," katanya.
Pada 1985, PKJT mendapat mesin cetak stensil baru yang bisa dimanfaatkan buat mencetak naskah teater ataupun puisi yang hendak dipentaskan. Saat itulah Thukul datang membawa sejumlah kertas berisi coretan puisi dan minta supaya puisinya dicetak. Siliyanto setuju dan Thukul tak dipungut biaya. "Ada sejumlah kumpulan puisi, tapi yang saya ingat hanya Pelo. Yang lain sudah lupa. Saya juga tidak punya dokumennya."
Kumpulan Puisi Pelo dicetak sekitar 100 eksemplar. Buku kumpulan puisi stensilan itu dibawa Thukul ngamen puisi keliling Solo. "Ada yang dibagi-bagikan secara gratis. Sebagian lagi dia jual. Waktu itu Thukul memang butuh uang," ujar Siliyanto mengenang.
Menurut Siliyanto, karakter puisi Thukul dalam kumpulan Puisi Pelo sudah lebih lugas dibanding puisi-puisi awalnya yang pernah dibacakan di Radio PTPN. "Di Pelo, dia sudah mengangkat kritik sosial, tapi belum ada unsur politik praktisnya."
Pasca-Pelo, pada sekitar 1986, Thukul mulai akrab dengan Halim H.D., aktivis kebudayaan jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Halim dikenal banyak memiliki sahabat seniman di Yogya, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, dan Jakarta. Boleh dibilang Halim-lah yang membuka wawasan dan jaringan Thukul. Dia juga berperan besar dalam mengorbitkan Thukul di kalangan jaringan seniman. Dia menggagas dan membantu Thukul ngamen puisi keliling Jawa pada 1986-1987.
Halim pertama kali berkenalan dengan Thukul di Teater Jagat. Waktu itu dia sering mampir ke Jagat. Menurut Halim, yang paling menarik dari perkenalan pertamanya dengan Thukul adalah kemauan pria itu dalam membaca yang sangat luar biasa. "Setiap ketemu saya, dia selalu bilang, 'Pak, kowe duwe buku ora? Aku nyilih' (Pak, kamu punya buku atau tidak? Aku pinjam)," ujarnya.
Awalnya Halim tak menanggapi. Dia berpikir paling-paling lelaki kurus itu hanya anak muda yang sok gaya dengan selalu menanyakan buku. "Tapi Thukul terus mengejar saya dan berkata bahwa dia serius ingin meminjam buku," kata Halim. "Saya akhirnya mengundang dia datang ke tempat saya."
Di Solo, Halim bersama temannya punya penerbitan Jatayu. Di salah satu ruangan kantor penerbitan itu, dia menyimpan berbagai buku. Thukul datang ke sana dan ingin meminjam buku teori sastra. Karena tak punya, Halim kemudian meminjamkan buku yang lain, dari buku Tan Malaka, Sjahrir, Bung Hatta, hingga sejumlah terjemahan.
Setelah selesai membaca buku, Thukul selalu mengajak Halim berdiskusi mengenai isi buku tersebut. Melihat minat bacanya yang sangat besar, Halim pun kemudian mencarikan tulisan-tulisan yang menarik dari sejumlah majalah sastra dan budaya, seperti Horison, Basis, dan Prisma. "Selain membaca, Thukul gemar berdebat," tutur Halim.
Halim juga mengamati Thukul makin produktif menulis puisi. Tema-tema puisinya pun mengalami pergeseran. Di awal-awal, saat masih junior, tema puisi Thukul masih layaknya puisi remaja, seperti orang sedang kasmaran. Metaforanya masih bulan dan embun. "Puisinya tidak terlalu membicarakan dirinya, apalagi lingkungannya."
Saat Thukul membuat kumpulan Puisi Pelo, tema-temanya mulai mengalami perubahan. Puisinya melebar dan dalam. Boleh jadi itu karena kualitas bacaannya semakin bagus. Dia juga mulai membicarakan masalah sosial. "Pelo adalah fase transisi dalam puisi awal Thukul ke tahap selanjutnya," kata Halim.
Setelah Pelo diterbitkan, boleh dibilang mulai ada lompatan dalam penulisan Thukul. Dia banyak dipengaruhi naskah teater Jawa karya Bambang "Kenthut" Widoyo S.P. Ia juga dipengaruhi pemikiran Maxim Gorky, Arief Budiman, dan Romo Mangunwijaya. Thukul mulai banyak memasukkan bahasa Jawa dan bahasa lisan sehari-hari dalam puisinya.
"Puisi-puisinya menjadi lugas menggunakan bahasa sehari-hari. Muatan sosial dan kritik sosial juga sangat kental," ujar Halim. Gagasan puisi-puisi Thukul bisa muncul dari mana saja. Puisi "Tembok dan Bunga", misalnya, gagasannya muncul dari sebuah diskusi mengenai retakan tembok yang dari dalamnya kemudian muncul rumput dan bunga yang menjulur keluar. "Dari situ tampak kelebihan utama Thukul: dia sangat adaptif dan mampu mengadopsinya menjadi puisi," Halim menjelaskan.
Waktu berlalu. Hubungan Halim-Thukul kian akrab. Pada 1986-1987, Thukul dibantu Halim mulai mengamen puisi keliling kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dari Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, hingga Bandung, serta Jakarta. Sekitar sebulan Thukul menggunakan jaringan Halim di kota-kota yang disinggahinya. "Saya yang memberikan gagasan agar penyair yang mendatangi publik. Dan Thukul tertarik melakukan itu dengan cara mengamen puisi," ujar Halim.
Sebelum berkeliling, Halim dan Thukul menyiapkan selebaran puisi, yang disebut mereka sebagai puisi leaflet. Selebaran puisi itu terdiri atas enam sajak karya Thukul. Halim lupa judul-judul puisi yang sarat muatan kritik sosial itu. Yang pasti, puisi-puisi tersebut dicetak dalam satu lembar kertas kwarto menjadi satu leaflet enam muka. Mereka mencetak sebanyak 500 eksemplar.
Puisi leaflet itu dibawa Thukul mengamen di berbagai kota. Setiap mengamen, ia menjual selebaran puisi itu seharga Rp 100, yang bisa digunakan untuk transportasi dan akomodasi. Dan Thukul tampaknya cukup sukses. Ketika pulang ke Solo, dia malah bisa membawa uang sekitar Rp 250 ribu. "Uang itu kami pakai untuk mencetak ulang puisi leaflet. Thukul kemudian membawanya untuk mengamen ke Jawa Timur sekitar dua minggu," kata Halim. "Dia mengamen dari rumah makan hingga kampus-kampus."
Sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berkibar. Dia juga mulai memiliki jaringan dan publik sendiri. Pada periode itulah Thukul mulai berbeda pemikiran dengan Lawu Warta, guru yang telah mendidik dan membesarkannya di Teater Jagat. Lawu tidak sepakat jika Thukul membawa puisi ke ranah politik praktis. "Kesenian ditonton atau tidak, itu tidak penting. Yang penting bagaimana kita menjalankannya," ujar Lawu.
Sedangkan Thukul bersikap sebaliknya. Menurut dia, kesenian itu harus ditonton, harus punya publik, dan mesti mampu membentuk kesadaran publik. Makanya dia mencurahkan hal itu dalam puisi-puisinya. Thukul menganggap sikap Lawu tersebut adalah sikap orang lemah dan tidak progresif.
Sejak itu, Thukul tak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim, yang kebetulan mengontrak rumah tipe 21 di Kampung Kalangan—masih masuk Kelurahan Jagalan. Selanjutnya Halim, Thukul, dan Sipon mendirikan Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir. "Sekarang rumah itu sudah tidak ada, sudah jadi rumah-rumah gedong. Daerah itu juga sudah tidak lagi banjir," kata Halim.
Di sanggar itu, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek. Tema-tema tulisannya tentang kesenian dan lingkungan. Halim membelikan mesin tik merek Olivetti. Biasanya Thukul membuat coretan di kertas dan kemudian mengetiknya. Di Sanggar Suka Banjir, kesadaran Thukul tentang pentingnya publik semakin terbangun. Banyak teman yang datang. Sanggar selalu ramai dan dijadikan tempat berkumpul para remaja di sekitarnya.
"Teman-teman jaringan kami juga banyak yang berkunjung ke sanggar," tutur Halim. "Ketika datang, mereka berdiskusi dan tidak jarang memberikan workshop. Seperti Mulyono (perupa Tulungagung) datang mengajarkan cukil kayu."
Sebaliknya, Thukul sering diundang mengisi workshop. Ada sebuah workshop menarik di sebuah kampung di Kota Solo. Dalam workshop penulisan yang diikuti 20 pemuda itu, Thukul bertanya kepada para peserta, "Sopo sing duwe pit montor (Siapa yang punya sepeda motor)?" Tidak ada yang menjawab. "Sopo sing duwe pit (Siapa yang punya sepeda)?" Tiga orang angkat tangan.
Selanjutnya, Thukul bertanya, "Sopo sing duwe lambe, cangkem, ilat (Siapa yang punya bibir, mulut, dan lidah)?" Orang-orang bingung, lantas angkat tangan semua. Kemudian Thukul berkata dengan tegas, "Yo iku paitanmu, modalmu sing paling penting. Wong mlarat mung duwe paitan cangkem, piye kowe nyuworo (Itulah modal kamu yang paling penting. Bagi orang miskin, mulut adalah modalnya, bagaimana mereka bersuara)."
Halim terkesima melihat bagaimana Thukul memberikan workshop itu. "Dia sungguh luar biasa," katanya.
Thukul dan Sanggar Suka Banjir makin terkenal. Tapi jaringan yang terbangun dan makin membanjirnya teman yang datang ke sanggar membuat aparat setempat gerah. "Kami diawasi aparat, surat kami disabotase, dan kami sering dipanggil ke koramil hanya karena menerima tamu," ujar Halim.
Meski begitu, Thukul tak surut langkah. Di Suka Banjir, dia terus mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan menyanyi.
Thukul terinspirasi konsep teater Augusto Boal dari Brasil, yang pada 1960-an menjadikan teater sebagai alat pengorganisasian dari kampung ke kampung. Sang penyair juga mempraktekkan kata-kata Bertolt Brecht, penyair dan dramawan kondang asal Jerman, yang sering dikutipnya, "Setiap orang adalah seniman dan setiap tempat adalah panggung."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo