Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Biji Tumbuh Perlawanan Buruh

DIA lahir dari keluarga penarik becak. Berhenti sekolah untuk bekerja agar adik-adiknya bisa melanjutkan studi. Ia sendiri menggelandang, mendirikan grup teater, mengamen puisi ke kampung dan kota-kota, lalu menabalkan diri sebagai aktivis pembela buruh. Namanya ada di barisan demonstran Kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo. Setelah masuk Partai Rakyat Demokratik, ia hijrah ke Jakarta menjelang reformasi 1998. Ia hilang tak tentu rimba. Tapi puisinya abadi dan menjadi teriakan wajib para demonstran: hanya ada satu kata: Lawan!

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biji yang Tumbuh dari Kor Kapel
Di masa remaja, dia Katolik yang aktif dalam kegiatan gereja. Sajaknya banyak dipengaruhi seorang tukang kebun bernama Pardi.


Kapel Sorogenen, Solo. Kapel itu pada suatu waktu pernah menjadi tempat mengasyikkan bagi Wiji Thukul remaja. Wahyu Susilo, adik Thukul, ingat setiap Ahad pagi kakaknya itu selalu mengajaknya bersembahyang di kapel Sorogenen, dekat rumah mereka di Solo, Jawa Tengah. Wahyu dan Thukul terpaut empat tahun. Pada 1977 itu, Thukul kelas I SMP Negeri 8 Solo dan Wahyu murid di SD Kanisius. Thukul aktif menjadi anggota kor kapel, dengan tempat berlatih di aula SD Kanisius.

Wahyu, yang kini menjadi analis kebijakan di Migrant Care, lembaga advokasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, mengenang, pada tiap Ahad pagi itu, bila ke kapel untuk kebaktian, oleh kakaknya ia selalu disuruh membawa buku doa dan nyanyian Madah Bakti. Adapun Thukul malah menenteng novel serial silat karangan Asmaraman Sukowati, Koo Ping Hoo. Wahyu kerap memprotes karena harus membawa buku liturgi tebal itu. "Aku kan anggota kor, nyanyian sudah hafal semua," selalu demikian kilah Thukul seperti dituturkan Wahyu.

Menurut Wahyu, kakaknya itu memang hafal luar kepala semua nyanyian yang dilagukan di kapel itu. Buku Koo Ping Hoo tersebut buat gaya-gayaan dia saja seolah-olah membawa buku doa. Selain menenteng Koo Ping Hoo, dalam ibadah Minggu pagi itu, Thukul kerap membawa buku yang disewanya dari perpustakaan kampung. "Jika tiba giliran menyanyi di kor, Mas Thukul bangun dan berangkat lebih pagi," kata Wahyu.

Meski Wahyu disekolahkan di SD Kanisius, orang tuanya bukan kalangan berpunya. Ayahnya, Kemis Harjosuwito, adalah tukang becak, dan ibunya, Sayem, kadang-kadang berjualan ayam bumbu. Karena itu, sebagai anak tertua, Thukul sudah mencari uang sendiri untuk sekolah dan sekadar jajan dua adiknya sejak kecil.

Pekerjaan Thukul semenjak SMP itu macam-macam. Salah satunya menjadi calo karcis bioskop Remaja Theater dan Kartika Theater. Dua bioskop itu kini sudah berganti menjadi kantor kelurahan dan pusat grosir Beteng, Solo. Jika jualan karcisnya untung, Thukul akan menyisakan satu karcis untuk adiknya. Waktu itu semua orang di kampungnya ingin menonton aksi aktor silat Chen Kuan-tai, pemain film laga seangkatan Bruce Lee.

Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Menurut Wahyu, tak banyak orang tahu kakaknya itu cukup luwes jika menari. Sampai bersekolah di SMKI itu, Thukul masih aktif di kapel. Suatu ketika, menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertema kelahiran Kristus. Oleh seorang pemain teater, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh penyair W.S. Rendra. Thukul kemudian masuk menjadi anggota Teater Jagat.

Di situlah Lawu kemudian mentabalkan nama Thukul. Nama asli Thukul sesungguhnya adalah Widji Widodo. Oleh Lawu, nama Widodo dihilangkan diganti dengan Thukul. Wiji Thukul artinya Biji Tumbuh. Lawu agaknya mengikuti tradisi di Bengkel Teater. Rendra sering memberi nama parapan kepada anggota bengkel teaternya. Sawung Jabo, misalnya, bukan nama asli. Nama aslinya Mochamad Johansyah. Juga Udin Mandarin, kata "Mandarin" ditambahkan Rendra. Atau Kodok Ibnu Sukodok, yang nama aslinya Prawoto Mangun Baskoro. Nama Lawu Warta sendiri adalah pemberian Rendra. Adapun Cempe (artinya anak kambing) adalah nama panggilannya di kampung. "Saya sendiri punya nama baptis Katolik, tapi tidak saya pakai," kata Lawu. Setelah bernama Wiji Thukul, Thukul sempat menambahkan nama Wijaya di belakangnya menjadi Wiji Thukul Wijaya. Tapi kemudian ia membuangnya karena sering diledek teman-temannya sebagai nama borjuis.

Lawu keras menggembleng Thukul. Menurut dia, motorik tubuh Thukul sangat buruk. "Gerakan menyabit rumput saja susah," kata Lawu. Ia menduga, meski terkesan percaya diri, Thukul kerap minder karena sejak kecil sering diledek perihal tubuh dan suaranya.

Saat aktif di situ, lelaki kerempeng kelahiran 26 Agustus 1963 itu memutuskan berhenti sekolah. Wahyu ingat, Thukul memberi alasan suatu pagi. "Rot, bapak sudah tua, sudah kurang tenaganarik becak. Akunyariduit saja, kamu saja sekolah sampai tamat," kata Thukul dalam bahasa Jawa. Perot adalah panggilan kecil Wahyu. Setelah tak bersekolah, Thukul bekerja sebagai tukang pelitur di sebuah toko mebel dekat Keraton Solo. Tapi, saat ia menjadi tukang pelitur, banyak target pelituran mebel yang tak bisa diselesaikan Thukul. Hari-hari Thukul malah sering dihabiskan di rumah Lawu untuk menulis puisi dan berlatih teater. "Menulis puisi itu tak beda dengan beribadah di gereja, ada pengalaman religius," katanya suatu ketika.

***

Tidak banyak yang tahu bahwa pada 1985 Thukul pernah mengikuti program jurusan seni topeng di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), sekarang ISI Surakarta. "Kala itu, untuk merintis jurusan seni rupa, ASKI membuat program Bengkel Kerja Seni Rupa (BKSR), saya diajak Thukul untuk kuliah di sana," ujar Tedjo Lelono, 57 tahun, tetangga Thukul.

Program BKSR dibuka selama satu tahun. Karena jurusan percobaan, perekrutan siswa cukup longgar. "Saya pakai ijazah SMA, Thukul pakai ijazah SMP," katanya. Selain itu, semua siswa tidak dipungut biaya. Thukul bisa ikut program tersebut karena kedekatannya dengan sejumlah seniman dan pengelelola ASKI kala itu.

Ada tiga jurusan yang ditawarkan, yaitu seni ukir, seni wayang, dan seni topeng. Thukul dan Tedjo memilih jurusan seni topeng. Jurusan topeng saat itu hanya memiliki empat siswa, termasuk dia dan Thukul. Pelajaran diberikan setiap hari, dari Senin hingga Sabtu.

Thukul termasuk salah satu siswa yang paling bersemangat. "Tiap pagi, pukul 07.30, Thukul datang menjemput saya di rumah. Selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 30 menit ke kampus, saat itu di Sasono Mulyo," katanya. Setahu Tedjo, Thukul tidak pernah bolos sekolah. "Bahkan ia mengikuti program BKSR itu sampai selesai, satu tahun. Sedangkan saya setengah tahun sudah keluar karena mesti kerja dan menanggung dua anak."

Di tempat itu, Thukul belajar teori dan praktek pembuatan topeng, dari topeng tradisi hingga topeng kontemporer. "Ia paling senang membuat topeng kontemporer karena tidak terlalu banyak aturan dan pakem," ujarnya. Hingga sekarang, sejumlah topeng karya Thukul masih tersimpan di ISI.

Thukul, sementara itu, terus tekun menulis. Pekerjaan sampingannya menjual koran membuatnya tahu alamat redaksi surat kabar yang menampung puisi. Ke sanalah ia kirimkan puisi-puisinya. Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Suara Merdeka di Semarang, Wawasan, Bernas, Swadesi, Mutiara, hingga Nova ia kirimi puisi.

Produktivitasnya mendorong M.T. Arifin, kepala biro Solo harian Masakini, yang belakangan jadi pengamat militer dan kolektor keris masyhur, meminta Thukul bekerja sebagai kontributor di Masakini. Thukul menyanggupi, tapi hanya betah setengah tahun menjadi kontributor koran yang berafiliasi ke Muhammadiyah itu. Pembayaran gaji yang byar-pet membuatnya berhenti. Ia sempat menclok ke majalah Adil, setelah itu sepenuhnya terjun ke politik praktis lewat penggalangan massa membela buruh.

***

Tahun 1986 muncul dari Thukul sebuah puisi yang sangat terkenal. Berjudul "Peringatan". Puisi ini menjadi bacaan wajib para demonstran. Kalimat terakhirnya: hanya ada satu kata: Lawan! menjadi sebuah ikon.

Peringatan

Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyidan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya
sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Yang jarang diketahui adalah sajak ini sebenarnya kalimat akhirnya tak murni ide Wiji Thukul. Ia terpengaruh oleh sebuah puisi yang dibuat Pardi, temannya di teater Jagat, yang dibuat setahun sebelumnya. Pardi sehari-hari adalah tukang kebun. Puisi Pardi itu berjudul Sumpah Bambu Runcing. Pada sajak Pardi, kalimat Hanya satu kata: lawan, yang digunakan untuk sebuah sajak mengenai perjuangan melawan Belanda, oleh Thukul diambil untuk perjuangan buruh.

Sumpah Bambu Runcing

...Ini penindasan yang tidak boleh kita biarkan
Tapi jika bambu runcing kita hancur luluh
Terbakar api senjata musuh
Pada kita masih ada satu kata: LAWAN !"

Pardi dan Thukul kerap bersama-sama menulis puisi di ruang tamu rumah Lawu itu. Kebiasaan Thukul meminta pendapat Pardi ketika menulis puisi, "Eyang" Hartono, mantan anggota Teater Jagat, membenarkan hal itu. "Di Jagat, Thukul memang paling dekat dengan Pardi. Pardi orang yang paling mempengaruhi kata-kata dan diksi puisi Thukul," ujarnya. Saat ditemui Tempo, Pardi, yang kini berumur 57 tahun, mengatakan, "Sebagai sesama seniman, kami saling mempengaruhi, itu wajar."

Pardi ingat, pada 1994, Thukul mengajaknya membuat buku kumpulan puisi bersama. "Yuk, nggawe buku puisi bareng, puisimu lan puisiku wis kaya kakang-adi (ayo bikin kumpulan puisi bersama, puisimu dan puisiku sudah seperti kakak-adik)," ujar Pardi meniru ucapan Thukul. Tapi kala itu Pardi menolaknya.

Thukul kemudian, pada 1994 itu, mengeluarkan sebuah kumpulan puisi sendiri berjudul "Mencari Tanah Lapang", yang diterbitkan Manus Amci, setebal 45 halaman. Banyak orang tak tahu, judul kumpulan puisi itu sesungguhnya juga diambil Thukul dari sebuah sajak milik Pardi berjudul "Mencari Tanah Lapang".

Kepada Tempo, Pardi menunjukkan sajak "Mencari Tanah Lapang"miliknya yang masih bertulisan tangan.

Lalu di bawah pohon waru yang tumbuh pinggir jalan
Anak-anak segera duduk sambil mengenyam lelah
Desah nafas mereka bertautan di bawah angin senja
Tapi mata mereka gelisah mencari tanah lapang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus