Irlandia Utara adalah wilayah kecil dengan penduduk sedikit. Tapi di sini berkembang kelompok-kelompok teroris dengan segala kepentingannya. Tak mudah menciptakan damai di sini, tampaknya. IRLANDIA Utara, yang luasnya hampir sama dengan Provinsi Bengkulu, hanya berpenduduk 1,5 juta jiwa. Namun wilayah itu ibarat buah simalakama bagi pemerintah Inggris. Serba salah! Jika pemerintah Inggris, anggaplah, bisa berdamai dengan Irish Revolution Army (IRA), apalagi memenuhi tuntutan politik IRA untuk bergabung dengan Republik Irlandia, jelas kelompok garis keras Protestan seperti Ulster Freedom Fighters (UFF) atau Ulster Volunteer Force (UVF) bergejolak. Sementara itu, selama kawasan Irlandia Utara atau Provinsi Ulster masih dalam kekuasaan Inggris Raya, jelas IRA sepertinya tak akan pernah menghentikan aksi terornya. Artinya, korban tak berdosa tetap akan berjatuhan. Padahal, tanpa melibatkan pemerintah Inggris saja, Irlandia Utara sudah jadi ajang saling curiga antara penganut Katolik dan Protestan. Ingat saja peristiwa Maret 1988, ketika orang IRA dan orang Protestan saling melempar granat dalam acara penguburan. Awalnya adalah proses penguburan tiga orang tentara IRA yang tewas tertembak ketika meledakkan bom di markas tentara Inggris di Gibraltar. Dalam upacara penguburan tiga tentara IRA itu, kelompok militan Protestan melemparkan granat. Tak jatuh korban, tapi orang-orang IRA marah besar. Seminggu kemudian, pasukan IRA segera melancarkan serangan balasan dengan menyerbu upacara penguburan penganut Protestan. Salah seorang jagoan IRA, Kevin Brady, langsung turun mengejar orang yang diduga telah melemparkan granat ke pemakaman tiga orang tentara IRA sebelumnya. Namun, Brady dan dua orang temannya tewas. Kemarahan IRA makin menjadi-jadi. Dan pada pemakaman Brady di wilayah pemakaman Anderstontown, yang dikenal sebagai wilayah anti Inggris, teman-teman Brady melampiaskan kemarahan ke dua orang polisi Inggris. Kedua polisi yang sedang berpakaian sipil itu, yang hanya kebetulan lewat di kawasan pemakaman, mati dibantai para pengikut IRA. Memang, tak jelas lagi siapa melawan siapa di Irlandia Utara. Ketegangan antaragama dan tuntutan politik sudah bercampur-baur dalam suasana yang terus memanas di Irlandia. Bahkan pemerintah Republik Irlandia secara tak langsung ikut juga memperkeruh persoalan. Republik Irlandia, misalnya, pernah menolak mengekstradisi pelaku teror IRA yang bersembunyi di Irlandia dan menuduh pemerintah Inggris terlalu menekan orang-orang IRA. Apa boleh buat, situasi yang rumit tersebut membuat Irlandia Utara sejak tahun 1920-an menjadi masalah melekat bagi setiap pemerintah Inggris yang berkuasa. Dan sejak itu pula, tidak ada kabinet pemerintah Inggris yang berhasil menemukan jalan perdamaian di kawasan itu. Hanya saja pemerintahan John Major bersedia menempuh jalan perundingan dengan IRA, hal yang selama ini sepertinya dianggap tabu oleh PM Inggris lainnya. Awal Desember lalu, sekretaris untuk Irlandia Utara, Sir Patrick Mayhew, membuat pernyataan di parlemen bahwa pemerintah Inggris ternyata sudah menjalin kontak dengan IRA sejak awal Januari 1993. Kontak itu kabarnya terjalin setelah ada pesan dari IRA yang masuk ke kubu John Major. Pesan tersebut berisi pernyataan dari IRA yang menganggap perang sebenarnya sudah usai, dan pihak IRA meminta kesediaan pemerintah Inggris agar memberi nasihat dalam menempuh usaha perdamaian itu. Rupanya, baru sekadar pernyataan menjalin kontak saja sudah membuat Irlandia Utara heboh. IRA segera membantah berita itu. Sementara Gerry Adams, pemimpin Sinn Fein -- organisasi politik yang mendukung IRA -- menyebut John Major dan Sir Patrick Mayhew sebagai pembohong besar. Di pihak lain, orang-orang yang ingin terus bergabung dengan Inggris marah karena merasa dikhianati John Major. Tapi John Major agaknya memang ingin menuntaskan konflik di Irlandia Utara. Tak lama setelah pernyataan Mayhew itu, tepatnya 10 Desember 1993, John Major bertemu dengan Albert Reynolds, perdana menteri Republik Irlandia, di Brussels. Itu sebenarnya pertemuan rutin dalam kerangka Persetujuan Inggris- Irlandia tahun 1985, yang menyatakan kedua pemerintah bertemu secara rutin untuk membicarakan masalah-masalah di Irlandia Utara. Dan banyak yang berharap pertemuan Major dan Reynolds akan menjadi landasan bagi perdamaian di Irlandia Utara, karena adanya kabar bahwa pemerintah Inggris sudah melakukan kontak- kontak dengan IRA. Apalagi Major dan Reynolds pada tanggal 15 Desember 1993 bersedia menandatangani sebuah deklarasi tentang Irlandia Utara. Dalam deklarasi yang dianggap masih kontroversial itu, ada jaminan bahwa Irlandia Utara tidak akan lepas dari Inggris sampai mayoritas penduduk memang menginginkannya. Major, yang minta IRA menghentikan aksi terornya, juga berjanji bahwa Inggris siap membantu semua langkah yang diperlukan untuk menciptakan perdamaian di Irlandia Utara. Sementara itu, Reynolds menjanjikan tak ada keinginan pemerintah Republik Irlandia untuk mencaplok Provinsi Ulster jadi bagian dari negara mereka. Namun, perdamaian di lapangan jelas masih jauh. Soalnya, seperti biasanya, setiap kali usulan perdamaian dibawa ke Belfast, ibu kota Provinsi Ulster, orang-orang Irlandia Utara kembali terpecah-pecah dengan kekhawatiran masing-masing. Orang-orang IRA pasti mengharap setiap usaha perdamaian harus bermuara pada bergabungnya Provinsi Ulster ke Republik Irlandia, atau paling sedikit mengurangi dominasi orang Protestan. Sedangkan kelompok militan Protestan, yang menganggap tiap usaha perdamaian akan menguntungkan IRA, pasti menolak bergabung dengan Republik Irlandia, yang 95% penduduknya beragama Katolik. Itu sebabnya orang-orang di Belfast menganggap sepi hasil yang dicapai oleh Major dan Reynolds. Reaksi keras malah bermunculan. Selasa 9 Mei lalu, misalnya, kelompok militan Protestan membunuh seorang wanita tua yang tinggal di kawasan pinggiran Kota Belfast. Itu merupakan korban ke-14 selama lima bulan setelah pertemuan Major dengan Reynolds di Brussels. Dari 14 korban tak berdosa itu, UFF dan UVF menyatakan bertanggung jawab atas sembilan korban, lantas IRA mengaku bertanggung jawab atas tiga kematian dan dua bom yang sempat mereka pasang tapi tidak sampai meledak, sedangkan dua korban lagi diklaim sebagai tanggung jawab Irish National Liberation Army (INLA) -- kelompok yang ingin Irlandia Utara merdeka tanpa bergabung dengan negara apa pun. Sebenarnya langkah yang ditempuh Major dan Reynolds merupakan terobosan besar. "Itu merupakan langkah besar yang bisa menggeser senjata dan bom dari pulau kecil kita selama- lamanya," kata John Hume, pemimpin Social Democratic and Labour Party (SDLP), partai penganut jalan damai yang sebagian besar anggotanya Katolik. Hume sadar bahwa banyak dari deklarasi yang masih membingungkan, namun baginya ada kesediaan untuk mencari pemecahan bersama saja sudah tergolong kejutan. Memang, ketika Margaret Thatcher berkuasa, tak ada kompromi yang diberikan pemerintah Inggris. IRA atau kelompok teroris apa pun namanya dianggap sebatas kelompok teroris yang melakukan tindakan kriminal. Tuntutan Bobby Sands, salah seorang tokoh IRA yang tertangkap, yang menuntut diberlakukan tahanan IRA sebagai tahanan politik, misalnya, sama sekali tak ditanggapi Thatcher. Waktu itu, tahun 1981, Bobby Sands melakukan mogok makan di penjara untuk menuntut status dan perlakuan sebagai tahanan politik. Setelah mogok makan selama 66 hari, Bobby Sands meninggal dunia dan Belfast segera dilanda kerusuhan. Para pengikut maupun simpatisan Bobby Sands berkumpul di Belfast dan Londonderry -- kota terbesar kedua di Irlandia Utara -- dan melempari polisi dengan batu maupun botol berisi bensin yang dipasang sumbu menyala. Para anak muda membakari mobil, sedangkan anak kecil memukuli tong-tong sampah agar suasana makin hiruk-pikuk. Tekanan juga datang dari Sinn Fein, yang mengancam bahwa 70 tahanan IRA lainnya siap mogok makan sampai tuntutan Bobby Sands dipenuhi. Tapi Thatcher tak goyah. "Inggris tidak akan pernah memberikan tahanan politik bagi orang IRA, tidak peduli berapa banyak mogok makan yang mereka lakukan," kata Thatcher waktu itu. Bagi Wanita Besi itu, IRA adalah kejahatan. "Terorisme adalah kejahatan dan akan tetap merupakan kejahatan," katanya. Adalah Thatcher juga yang pada tahun 1988 sempat memberlakukan larangan bagi televisi dan radio di Inggris untuk melakukan wawancara dengan orang Sinn Fein, IRA, serta kelompok teroris lainnya. Pada tahun 1987, Thatcher berhasil pula membujuk pemerintah Republik Irlandia agar bersedia mengekstradisi tertuduh IRA ke daratan Inggris. Bagi Thatcher, kebijakannya jelas sudah, tak ada pembicaraan dengan IRA maupun kelompok teroris lainnya. Hasilnya adalah "perang" di London maupun di Belfast. Thatcher pada tahun 1987 melancarkan aksi pemberantasan teroris di Irlandia Utara dan menemukan fakta-fakta bahwa IRA memperoleh persenjataan antara lain dari Libya serta Ceko- Slovakia dan mendapat latihan milter di Palestina maupun Yordania. Memang IRA, sebagai kelompok yang paling tidak kerasan dengan keadaan di Provinsi Ulster sekarang ini -- karena merasa di bawah dominasi kelompok Protestan -- jelas merupakan kelompok yang paling ditekan. Dibandingkan dengan kelompok militan lainnya, IRA praktis tak pernah menghentikan aksi terornya. Sejauh ini, sejak tahun 1969, diperkirakan sudah jatuh korban 3.000 jiwa akibat teror IRA dan kelompok UFF maupun UVF. Yang jelas masih diingat orang adalah bom yang membunuh Lord Mountbatten tahun 1979, bekas panglima sekutu pada Perang Dunia II. Lantas ledakan bom di Guildford, yang mengakibatkan 11 orang Irlandia yang tak berdosa harus mendekam di penjara. Masih ada lagi sejumlah ledakan bom di pos-pos polisi yang sampai saat ini sudah membunuh sekitar 700 orang polisi. Banyak pengamat yang menduga sebenarnya kekerasan yang marak di Irlandia Utara bersumber pada ketegangan antaragama. Memang sekarang ini konflik antaragama itu sudah semakin mengabur. Perjuangan dengan kekerasan ibaratnya sudah menjadi warisan yang diterima oleh para generasi muda di Irlandia Utara, tanpa tahu jelas apa tujuannya. Mereka hanya membunuh dengan instruksi menghajar musuh, yang kalau tidak diserang justru akan membunuh mereka semua. Mungkin akar persoalan di Irlandia Utara bisa ditarik jauh sampai pada pendudukan Raja Henry II ke kawasan Irlandia pada abad ke-12. Kehadiran Oliver Cromwell yang membawa 15.000 tentara untuk menumpas pemberontakan di Irlandia, makin memperkukuh kekuasaan Inggris di Irlandia. Pendudukan Inggris juga dibarengi dengan masuknya agama Protestan ke kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Dan, entah kenapa, agama Protestan lebih banyak berkembang di kasawan Irlandia Utara. Dalam undang-undang tahun 1800, Irlandia kemudian resmi masuk ke jajaran Inggris Raya, walaupun gelombang pemberontakan yang menuntut kemerdekaan Irlandia terus marak. Akhirnya, pada tahun 1920, Irlandia dibagi menjadi Irlandia Selatan dan Irlandia Utara. Masing-masing punya parlemen sendiri dengan kekuasaan yang terbatas. Baru pada 6 Desember 1922, sebanyak 26 kabupaten di Irlandia Selatan mendapat status sebagai anggota negara persemakmuran dengan nama Irish Free State atau Negara Irlandia Merdeka. Sekitar 95% dari penduduk Republik Irlandia, yang merupakan penganut Katolik, memilih memisahkan diri dari Inggris Raya. Baru pada tahun 1937 hubungan Irish Free State dengan Kekaisaran Inggris resmi terputus. Irlandia Selatan merdeka sebagai Republik Irlandia yang terdiri dari 26 kabupaten. Sementara itu, mayoritas penduduk Protestan di enam kabupaten di Irlandia Utara, yaitu Antrim, Armagh, Down, Fermanagh, Londonderry, dan Tyrone, memilih tetap bergabung dengan Inggris. Celakanya, di Irlandia Utara tetap saja masih ada kelompok penganut Katolik yang praktis jadi kelompok minoritas. Yang membuat situasi lebih buruk, orang-orang Protestan yang menguasai parlemen di Belfast melaksanakkan kebijakan diskriminasi terselubung. Dan memang di Irlandia pernah ada tradisi diskriminasi yang diperkenalkan oleh Cromwell pada abad ke-17. Undang-undang tahun 1695 dan 1705, misalnya, melarang orang Katolik bekerja sebagai pegawai negeri atau di bidang hukum. Banyak pula pastor yang diusir ke luar negeri. Tradisi itu ternyata masih melekat juga ketika Irlandia Utara dipimpin oleh Ulster Unionist Party pada abad ke-20, yang membatasi terlibatnya penganut Katolik dalam kekuasaan politik. Di bawah tekanan seperti itu, IRA berkembang menjadi kelompok militan, walaupun cikal bakalnya pada tahun 1913 adalah Irish Volunteers, suatu kelompok sukarelawan yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak sipil penganut Katolik. Dan setelah Irlandia Selatan merdeka, IRA melancarlan aksi-aksi terornya untuk memperjuangkan cita-cita bergabung dengan tetangga mereka, Republik Irlandia. Akibat aksi-aksi itu IRA kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tapi larangan itu sepertinya justru memicu kemarahan IRA, yang makin meningkatkan aksi terornya sampai akhirnya satuan-satuan tentara Inggris ditempatkan di Irlandia Utara. Waktu itu, tahun 1969, diputuskan bahwa semua kekuatan militer di Irlandia Utara berada di bawah komando tentara Inggris. Sementara itu, kekerasan terus meningkat dan kehadiran tentara Inggris membuat dewan pemerintahan daerah di Irlandia Utara mengundurkan diri. Baru pada tahun 1973 diselenggarakan plebisit, yang hasilnya 60% penduduk Irlandia Utara memilih tetap bergabung dengan Inggris. Jelas, keadaan ini membuat IRA makin gencar melaksanakan aksinya. Sebaliknya, kelompok militan Protestan yang khawatir dengan gerakan IRA membuat aksi tandingan dengan meneror penduduk Katolik. Dan kebencian antarkelompok itu terus dipelihara sambil diwariskan ke generasi-generasi mudanya. Seorang teroris Protestan yang sempat diwawancari majalah The Economist, misalnya, tak tahu apa yang membuat ia memburu orang-orang Katolik. "Bagaimana saya bisa membenci orang Katolik, aku tidak mengenal penganut Katolik satu orang pun," katanya. Ia hanya tahu bahwa ia hanya melaksanakan tugasnya. "Yang saya bunuh adalah tentara musuh yang juga akan melaksanakan tugas yang sama seperti aku." Agaknya, yang membuat perjuangan tanpa tujuan itu bisa berkembang karena umumnya para teroris direkrut ketika masih berusia 20-an tahun. Kelompok usia itu memang merupakan kelompok yang masih belum punya tujuan hidup jelas, sehingga relatif gampang diindoktrinasi. Jika seseorang sudah bergabung dengan salah satu kelompok, praktis ia tak mudah keluar. Sistem hierarki di antara para pengikut yang sengaja dibuat juga menyebabkan orang-orang merasa dihargai sehingga terdorong untuk terus menunjukkan prestasinya lewat aksi teror. Seorang psikiater di Belfast, Dr. Hugh Lyons, pernah melakukan penelitian terhadap pembunuh politik dan pembunuh kriminal. Ia mendapatkan fakta bahwa hanya 10% pembunuh politik yang melakukan aksinya di bawah pengaruh alkohol, sedangkan pembunuh kriminal yang dipengaruhi alkohol mencapai 57%. Lantas hanya sekitar 16% dari pembunuh politik yang terganggu secara mental, dan 58% pembunuh kriminal menghadapi gangguan mental. Data di atas mencerminkan bahwa pembunuh politik memang punya motivasi yang kuat untuk melakukan aksinya, sekaligus lebih terencana. Ada kesan, IRA jauh lebih kuat dari kelompok teroris lainnya. Itu antara lain disebabkan orang-orang IRA secara tak langsung juga mendapat dukungan dari keluarga. Di samping itu IRA punya tujuan paling jelas: bergabung dengan Republik Irlandia. Dan itu diakui oleh seorang bekas teroris Protestan, Gusty Spence, yang berpendapat bahwa orang-orang IRA lebih terorganisasi. "Kami hanya tahu siapa yang kami lawan, tapi kami tidak tahu untuk apa. Orang-orang IRA tahu keduanya," kata Spence, yang pernah mendekam di penjara selama 18 tahun. IRA juga bisa lebih kuat karena disiplin yang kuat. Tidak ada uang yang masuk ke kantong pribadi orang-orang IRA jika mereka terlibat dalam suatu perampokan bank atau lewat usaha yang mereka jalankan. Padahal, orang-orang UVF kabarnya mendapat sekitar 30% dan UFF mendapat 70% dari pencarian dana mereka. Itu yang membuat UVF dan UFF sebenarnya sudah hampir hancur sebagai organisasi militan sehingga aksi-aksi UVF maupun UFF cenderung bersifat reaktif saja. IRA masih terorganisasi dengan baik dan mendapat dukungan keuangan dari beberapa pengusaha Irlandia yang bersimpati. Bahkan anggota IRA mendapat uang saku 20 hingga 40 poundsterling setiap minggunya. Jika seorang anggota IRA masuk penjara atau mati, keluarga mereka masih mendapat dukungan keuangan. Kelebihan IRA lainnya yang penting, menurut seorang pastor di Irlandia, Cahal Daley, adalah keandalan dalam membuat orang menjadi "buta". Menurut Cahey, setelah bergerak selama puluhan tahun, IRA berhasil mengembangkan teknik untuk menghapuskan moral seseorang. "Mereka berhasil memisahkan isu agama dan politik dengan baik dan memaafkan aksi kekerasan lewat konsep perang," kata Cahey. Artinya, orang IRA yang melakukan aksi teror tak semata-mata dianggap jahat, tapi hanya sekadar melakukan perang. Dengan sistem seperti itu, sepertinya memang tak mudah membasmi kekuatan IRA. Pemerintahan John Major, selain membuka jalan perundingan, tetap juga menempuh tindakan keras hadap IRA. Pertengahan April lalu, misalnya, pasukan pemerintah Inggris menyerbu beberapa tempat di daratan Inggris dan di Irlandia Utara untuk menghancurkan jaringan keuangan IRA. Agaknya, pemerintah Inggris ingin menggembosi kekuatan IRA, yang akan membuat mereka makin terpojok. Dan walaupun penyerbuan itu cukup berhasil, jelas tak melumpuhkan kekuatan IRA. Lagi pula, tak ada jaminan jika IRA menghentikan aksi teror, kedamaian di Irlandia Utara langsung terwujud. Kelompok militan Protestan, walau tak lagi berkekuatan besar, sudah mengeluarkan pernyataan bahwa tindakan teror mereka yang dilancarkan setelah pertemuan Major dan Reynolds hanya merupakan reaksi terhadap IRA. Namun, mereka juga menyatakan kampanye kekerasan tidak akan berhenti walau IRA sudah meredam aksinya. Mereka, katanya, akan terus berjuang selama "Ulster berada dalam keadaan bahaya". Dan definisi dari keadaan bahaya itu terletak pada pikiran mereka sendiri. Padahal, tak seperti IRA, pergerakan mereka tak punya kerangka politik, yang jelas membuat perundingan bakal sulit.Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini