Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Atas nama Irlandia utara

Gerilyawan irlandia utara, IRA, melakukan serangkaian pengeboman di londonm dan belfast. mereka menuntut agar Irlandia utara terpisah dari Inggris. kisahteroris itu diangkat dalam layar perak" in the name of the father.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA tidak memaki Anda. Sungguh," kata Emma Thompson. Dia mengucapkan kalimat ini dengan aksen aneh, tak ada intonasi British seperti yang diajarkan di kelas-kelas. Logatnya mirip dengan gaya London pinggiran.Emma Thompson rupanya sudah larut dengan perannya, sehingga logatnya pun, tanpa sadar, seperti ia di depan kamera. Yang ia bintangi itu adalah In the Name of the Father (Demi Nama Bapa), film yang mengundang kontroversi sehingga menimbulkan geger di koran-koran Inggris. Film itu kini sedang diputar di seantero jagat termasuk di Indonesia. Sutradaranya adalah Jim Sheridan, pembuat My Left Foot, film yang banyak mendapat penghargaan. Sheridan juga pembuat The Field, film yang juga mendapat pujian. In the Name bertutur tentang 11 orang yang tak tahu apa-apa tapi tiba-tiba dipaksa mengaku sebagai teroris, tukang mengebom dan membunuh, pada pertengahan dasawarsa 1970-an di London. Empat orang dari mereka disebut sebagai kelompok Guildford (nama daerah di pinggiran London) dan tujuh dari kelompok Maguire (diambil dari nama keluarga). Sejak awal, orang-orang ini memprotes penangkapan yang mereka alami. Tapi pemerintah Inggris ngotot. Segala usaha dilakukan untuk memaksa mereka. Dan mereka akhirnya dihukum. Ketika belakangan tuduhan terbukti salah, mereka sudah telanjur mendekam di penjara belasan tahun. Kelompok Guildford baru keluar dari bui tahun 1989. Sisanya, yang dari keluarga Maguire tadi, kecuali Guiseppe Conlon yang mati dalam penjara, menjalani penuh hukumannya. Film itu diputar pertama kali di Amerika Serikat setelah Natal tahun kemarin. Tapi keguncangan di media massa Inggris sudah marak sejak syuting pada musim semi tahun lalu. Tampaknya, film ini telah menyentuh isu yang sangat sensitif: Irlandia. Media massa memandang Sheridan terlalu berpihak pada gerilyawan. Film ini dipandang terlalu menjelek-jelekkan pemerintah Inggris. Padahal, ini versi koran, gerilyawan Tentara Republik Irlandia (IRA)-lah yang jelas-jelas menyebabkan serangkaian bom meluluhlantakkan Irlandia Utara. Gelombang bom terakhir dimulai Oktober lalu, dan telah mencabut nyawa 10 orang di Belfast, di antaranya dua bocah cilik dan 60 orang yang sedang berbelanja. Rangkaian banjir darah itu makin mengukuhkan pandangan pihak Inggris bahwa orang Irlandia Utara adalah teroris yang setiap saat siap menyalakkan bom. Ini pandangan yang, menurut sutradara Sheridan, dipupuk oleh pers Inggris. Di tengah suasana demikian, tiba-tiba Maret lalu, Satuan Tugas Aktif (semacam Kopasusnya IRA) meledakkan pusat belanja di Inggris Utara. Dua anak mati. Beberapa saat kemudian, London yang dihajar. Segera pers punya senjata: Emma Thompson dan semua pendukung film In the Name dianggap turut bertanggung jawab atas makin meruaknya pengeboman. EMMA Thompson juga mendengar tuduhan itu. Tapi ia percaya bahwa tindakan IRA itu muncul akibat proses ketidakadilan hebat yang telah berjalan sekian lama. Untungnya, Thompson adalah artis di peringkat paling atas di negaranya, sehingga media massa tak ramai-ramai menghantamnya. Koran konservatif Evening Standard dengan nada seperti orang putus asa menulis, "Saya yakin, ini bukanlah keputusan bijaksana yang bisa diambil oleh seorang artis Inggris. Saya merasa, seorang kekasih telah dirampas, diambil seorang perampok." Tapi Thompson hanya mengangkat bahu mendengar reaksi itu. "Saya telah mengambil peran dalam sebuah film yang secara politik tak menyimpang," katanya. Thompson bermain sebagai Gareth Pierce, seorang pengacara yang membela Gerry Conlon, salah satu anggota kelompok empat Guildford. Pada akhir musim gugur 1974, Conlon, Paul Hill, Paddy Armstrong, dan seorang anak 17 tahun dari kelompok pekerja di London, Carole Richardson, dituduh sebagai anggota tentara separatis IRA. Mereka, menurut pemerintah Inggris, menanam bom di dua pub di Guildford. Hill dan Armstrong juga dituduh telah melempar bom ke sebuah tempat minum di Woolwich. Mereka berempat sebetulnya tak punya tampang teroris. Conlon dan Hill bekerja di tempat pembangunan gedung pada siang hari, dan malamnya menjadi pelayan di sebuah pub, asyik menuangkan bir dan minuman keras lainnya, liter demi liter. Sedangkan Armstrong dan Richardson tinggal di London Utara, menikmati ganja, LSD, hidup menggelandang sebagai hippie. Banyak yang berpendapat, tak mungkin pasukan khusus IRA punya anggota dengan latar belakang yang beragam seperti itu. "Bila benar, alangkah tidak disiplinnya pasukan yang elite itu," kata orang-orang. Jadi? Intinya, banyak yang menilai polisi asal main tangkap. Tapi polisi rupanya menutup kuping mendengar pendapat samping itu. Mereka benar-benar sedang menghadapi tekanan berat untuk menghentikan pengeboman. Adanya penangkapan empat "teroris", demikian dalih polisi, bisa membuat lega masyarakat. Pemeriksaan pun dimulai. Mereka terpaksa mengaku setelah melewati serangkaian penyiksaan dan ancaman. Gerry Conlon berkata, selama interogasi, polisi meremas-remas buah zakarnya, memukul tepat di posisi ginjal, sesekali membanting. "Sakitnya tak terbayangkan. Saya takut, sampai menangis," katanya. Mula- mula Conlon, yang merasa tak tahu persoalan itu, menolak tuduhan. Rupanya, polisi kehilangan kesabaran. Akhirnya, keluar ancaman, bila Conlon tak mengaku, saudara dan ibunya bakal dihabisi. "Di sini saya tak bisa apa-apa. Saya mengaku dengan perasaan tercabik-cabik," tutur Conlon. Tak lama setelah penangkapan kelompok empat itu, sejumlah anggota keluarga Conlon diciduk, termasuk ayahnya, Guiseppe, dan juga keluarga Maguire. Mereka didakwa meracik bom untuk kelompok empat. Penangkapan kali ini, sebetulnya, juga kelihatan dibuat-buat. Paddy dan Annie Maguire adalah anggota kelompok konservatif lokal, dan pendukung fanatik monarki Inggris. Dua anaknya, Vincent, 15 tahun, dan Patrick, 13 tahun, lahir di London dan tak punya minat sama sekali terhadap politik atau soal Irlandia. Bahkan ambisi Patrick adalah menjadi seorang anggota pasukan komando militer Inggris. Kelompok empat itu akhirnya divonis seumur hidup. Beberapa bulan kemudian, kelompok tujuh, yang dari keluarga Maguire itu, dihukum. Patrick, yang masih hijau itu, dihukum empat tahun atas tuduhan membawa dan merakit peledak. "Pengadilan," tulis pengarang Robert Kee, yang melaporkan kasus ini dengan intensif, "bertanggung jawab atas ketidakadilan yang tak terhingga ini." AKHIR musim semi lalu, tiga petugas yang dulu memeriksa kelompok Guildford, yakni detektif John Donaldson, Thomas Style, dan Vernon Attwell, bebas dari penjara. Tiga orang ini, pada saat kelompok Guildford dibebaskan pada 1989, oleh hakim dijatuhi hukuman. Mereka dianggap telah melakukan kebohongan dan memaksa Paddy Armstrong dan anggota kelompok empat lainnya membuat pengakuan palsu. Ketika petugas itu dibebaskan, kebetulan syuting In the Name baru dimulai. Media massa, yang memang sedang giat menghajar pembuatan In the Name, seperti mendapat amunisi baru. Koran- koran pun seperti kor. Mereka menyanyikan lagu yang senada: membela petugas dan sistem peradilan Inggris. Pembelaan itu kadang ditulis dengan kalimat yang keterlaluan. Beberapa koran, misalnya, menulis bahwa dibebaskannya tiga aparat negara itu berarti empat terpidana Guildford dapat dimasukkan lagi ke dalam bui. "Cukup banyak alasan untuk mencurigai kelompok Guildford, terutama Patrick Armstrong dan Gerry Conlon. Sangat mungkin dua orang ini benar-benar bersalah," tulis The Daily Telegraph. Koran The Times mengibaratkan sutradara film, Sheridan, hanya semata-mata mengomersialkan Guildford. "Sheridan melihat peristiwa Guildford tidak dengan nurani keadilan, tapi dengan hati yang bersimbah darah." JIM Sheridan, sang sutradara film, tampak kesal melihat komentar simpang-siur yang dirasakannya tak layak itu. "Membaca koran membuat saya muak dengan propaganda," tuturnya. Ia kemudian membanting koran itu. "Anda dapat melihat di sini. Tak ada perang melawan ketidakadilan. Yang ada kepentingan politik belaka." Ia membantah bahwa cerita yang ia angkat ke layar lebar akan mengobarkan kekerasan. "Setiap orang yang membaca naskah pasti tahu bahwa tuduhan itu tak berdasar. Saya justru ingin membuktikan bahwa kekerasan tak bakal mencapai hasil." Sheridan saat ini sedang berpikir untuk menyeret beberapa koran ke meja hijau. Beberapa bulan lalu, menyambut dibebaskannya petugas pemeriksa, koran-koran ramai menuntut Sheridan menulis ulang naskahnya. "Petugas ternyata dibebaskan. Jadi, apa lagi yang mau ditulis Sheridan?" tulis koran. "Saya sama sekali tak menyesal bahwa tiga petugas itu dilepas," kata Sheridan. "Siapa yang menyuruh tiga orang berpangkat rendah itu bertanggung jawab untuk kesalahan yang dilakukan oleh perwira yang jauh lebih di atas?" Sheridan balik bertanya. Siapa yang benar, Sheridan ataukah koran, sulit dibuktikan dengan gamblang. Persoalannya, kasus ini berawal sejak lebih dari 15 tahun lalu. Dan selama itu, semua bukti, termasuk yang menunjukkan kelompok empat tak bersalah, dipegang pemerintah Inggris. Pemerintahlah yang memutuskan nilai sebuah kesaksian. Seorang saksi, misalnya, tahu bahwa Conlon tidur di sebuah penginapan pria di London Utara ketika kejadian berlangsung. Tapi saksi penting ini tak dianggap oleh pemerintah. Beberapa saat kemudian, dua tentara Irlandia Utara ditangkap, dan mereka menjelaskan bahwa penahanan kelompok Guildford adalah hal yang keliru. Tapi penguasa menganggap informasi ini sebagai upaya gerilyawan Irlandia Utara melindungi anggotanya. "Kita menghadapi begitu banyak persoalan yang harus dibuktikan," kata Sheridan. "Tapi ternyata sistem hukum kita tak menjawab persoalan itu. Apakah ini berarti sistem hukum kita harus dirombak total? Bila kita menjawab ya, orang akan mengatakan kita orang gila. Selama ini kita memandang sistem hukum Inggris sebagai yang paling mapan dan menjadi dasar dari sistem hukum modern. Barangkali kita perlu meninjau kembali." DANIEL Day-Lewis tampak berdiri di bawah rintik gerimis musim semi di Liverpool. Aktor dalam film The Last of the Mohicans ini main sebagai Gerry Conlon dalam film In the Name. Pandangannya menyorot bangunan pengadilan. Terlihat ratusan figuran mengerubungi gedung. Merekalah yang akan berperan sebagai orang yang menyambut kebebasan Gerry Conlon dari penjara. "Action!" sutradara Sheridan berteriak. Day-Lewis melangkah, mengangkat jarinya tinggi, kemudian menyeberangi jalan, menuju ratusan penyambutnya. Di situ ia berpidato. "Saya seorang laki-laki tak berdosa. Selama 15 tahun saya di penjara untuk hal yang tak saya ketahui. Saya menyaksikan ayah saya mati di penjara untuk hal yang dia juga tak mengerti. Dia orang agung, orang jujur. Sampai semua terbukti bahwa saya, keluarga saya, tak bersalah, saya akan terus berjuang ... demi ayah saya dan untuk kebenaran." Cut! Selagi Day-Lewis rileks, dua gadis tiba-tiba menyeruak maju, merangkul dengan lengannya. "Hei, kenapa badanmu? Di Last of the Mohicans kau tampak begitu gagah. Kenapa sekarang begini?" Remaja itu memandang tubuh kurus bintang pujaannya dengan mata prihatin. Day-Lewis memang berubah. Di Mohicans, ia tampak begitu perkasa. Badannya kekar, ototnya menonjol, sehingga ketika ia berjalan memanjat tebing, mengarungi sungai, perawakannya pas benar. Tapi di film ini ia harus tampil sebagai seorang pesakitan yang kering kerontang. Maka, Day-Lewis harus mengurangi bobotnya 15 kilogram. Untuk itu, dia makan bubur dingin menu penjara, menggunakan air kotor, dan bahkan dia menikmati rasanya diinterogasi oleh polisi Irlandia. Sementara partner mainnya, Emma Thompson, bergurau dengan para figuran, dia tampak duduk di pojok, merenung. Selama tiga bulan terakhir ini dia hanya bicara dengan aksen Belfast Barat agar lebih menjiwai perannya. FILM Jim Sheridan yang pertama sejak The Field ini didasari buku Conlon, Terbukti Tak Bersalah. Di bukunya, Conlon bertutur mengenai hubungannya yang sangat baik dengan ayahnya, Guiseppe, yang mati di penjara tahun 1980. Hubungan inilah yang membuat Sheridan tertarik. Setelah filmnya My Left Foot, Sheridan mencari naskah yang bercerita tentang ayah yang baik. Kebetulan seorang temannya di New York mengirim naskah film yang didasari buku Conlon ini. "Yang saya cari pun ketemu," katanya. Bagi Sheridan, cerita ini mengingatkan kembali pada kenangan masa lalunya. Lewat ayahnya, ia mengenal panggung teater, masa remaja yang indah, dan dunia puisi. Ayah dan anak dalam cerita Conlon itu menghadapi ketidakadilan yang diciptakan pemerintah Inggris. "Pemerintah Inggris seolah sedang berperang melawan keluarga Guiseppe," kata sang sutradara. Yang dilibatkan pemerintah bukan hanya Guiseppe dan anaknya, tapi juga termasuk tante dan paman serta dua keponakan perempuannya. "Pemerintah seperti berkata, inilah keluarga teroris yang mengganggu masyarakat Irlandia," tutur Sheridan. Film itu dimulai dengan munculnya Conlon, yang saat itu masih remaja, sebagai maling kelas teri. Setelah beberapa kali bersentuhan dengan "polisi lokal" IRA, Conlon mencoba lari meninggalkan Belfast, daerah yang baginya dirasa terlalu keras. Ia mencoba peruntungannya ke London. Di situ ia masuk dalam kelompok hippie London Utara. Pada Oktober 1974, gerilyawan Republik Irlandia mengebom pub The Horse, Groom, dan Seven Stars, di daerah pinggiran Guildford. Lima orang mati dan 70 luka berat. Beberapa pekan kemudian, dua korban lagi meninggal setelah pub Woolwich diledakkan. Ini rupanya menjadi teror yang paling gencar sepanjang sejarah IRA. Dari sekitar 50 pengeboman dan penembakan, 30 orang mati dan ratusan lainnya cacat atau kehilangan anggota badan. Jutaan poundsterling harta benda terbuang sia-sia. Ledakan tetap berlanjut meski polisi telah menangkap kelompok empat Guildford, yang dianggap sebagai gembong pengeboman. Rupanya, ledakan yang masih berlanjut itu membuat polisi penasaran. Operasi penangkapan pun dilanjutkan. Pada Juli 1975, ketika kelompok empat sedang menunggu pengadilan, dinas rahasia Scotland Yard berhasil menangkap beberapa anggota satuan tugas aktif IRA, di antaranya Brendan Dowd, gerilyawan yang terkenal sebagai tokoh garis keras. Dowd segera mengaku bahwa dirinya terlibat dalam pengeboman di Guildford dan Woolwich. Di London, satgas IRA juga dapat digulung, dan pemimpinnya, Joe O'Connell, juga mengakui peranannya dalam pengeboman di Guildford dan Woolwich. Kedua satgas ini sama-sama mengakui bahwa "kelompok empat Guildford sebetulnya tak bersalah." Entah kenapa, pengakuan dari bos IRA itu tak dianggap. Tuduhan terhadap empat orang itu tetap berlanjut. Pada September 1975, ditemukan bukti forensik bahwa ledakan bom yang terjadi sebelum dan sesudah kelompok empat ditangkap ternyata sama. Ini bukti kuat bahwa si empat ini tak terlibat meledakkan bom seperti yang dituduhkan. Tapi hakim tetap memutuskan mereka bersalah. Oktober tahun itu mereka divonis penjara seumur hidup. Padahal, kalau dihitung-hitung, ada lebih dari seratus tuduhan yang tak diakui: mereka tak mengaku sebagai penanam bom, tak tahu siapa yang menyetir mobil, di mana bom disimpan, dan sebagainya. Hakim rupanya berpegang teguh pada pengakuan empat orang itu di depan polisi. Di depan penyidik, mereka memang mengaku bersalah. Tapi yang tak dilihat oleh hakim adalah proses mengapa empat orang itu mengaku. Conlon, misalnya, mengaku sampai dua kali karena, "Pengakuan itu saya ucapkan agar ayah saya yang sakit bisa dibebaskan .... Saya pikir, setelah mengaku, semuanya selesai." Sementara itu, Carole Richardson berkata bahwa pernyataan yang dia tulis itu didiktekan oleh polisi. "Saya tinggal menulis apa yang dia ucapkan. Saya takut makin disiksa kalau saya membantah." Hakim seolah mengabaikan fakta adanya penyiksaan, pemukulan, dan ancaman terhadap keluarga. Di sebuah restoran Indonesia di Liverpool, sutradara Sheridan tampak termenung menyimak naskah di depannya. "Dapatkah Anda membayangkan keadilan macam apa yang dialami empat orang itu? Inilah fakta kehidupan orang Irlandia." Sambil memegang gelas berisi minuman California Merlot, dia berkata, "Ketika kehidupan sudah ditindas penguasa, orang hanya tinggal memiliki kata-kata." Tapi, bagi empat anggota Guildford itu, demikian juga bagi tujuh anggota Maguire, kata-kata pun tak mereka punyai. Iwan Qodar Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus