Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mania mulai menjalar di pelosok negeri

Bagi fifa, amerika serikat adalah masa depan untuk komersialisasi sepak bola. impian henry kissinger menjadi kenyataan. dan cerita suram itu tinggalsejarah.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMPIAN Henry Kissinger jadi kenyataan. Menteri Luar Negeri AS di zaman Presiden Nixon ini sejak tahun 70-an menginginkan AS menjadi tuan rumah Piala Dunia. Kini impiannya terwujud. Pencandu bola itu giat melobi para pejabat FIFA, dan dilanjutkan Cyrus Vance -- menlu di zaman Presiden Carter.Pada tahun 1983, AS menjadi calon potensial merebut penyelenggaraan Piala Dunia XIII 1986. Pesaingnya Meksiko, yang ekonominya sedang kedodoran. Namun,sidang FIFA memenangkan Meksiko, padahal di tahun 1970 sudah menjadi tuan rumah Piala Dunia.Keinginan AS untuk menjadi tuan rumah tak pernah pudur alias padam. Begitu ada kampanye memperebutkan tempat penyelenggaraan kegiatan paling bergengsi -- setelah Olimpiade musim panas -- ini dimulai beberapa tahun yang lalu, AS paling agresif merayu pejabat FIFA ketimbang dua calon lainnya: Brasil dan Maroko.Ronald Reagan mengundang orang nomor satu di organisasi sepak bola dunia (FIFA), Joao Havelange, ke Gedung Putih. Sejumlah perusahaan AS yang biasa mensponsori kegiatan FIFA, seperti Coca-Cola, ikut pula menekan FIFA agar AS ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994. Federasi Sepak Bola AS (USSF) menjanjikan stadion mewah sebagai ajang pertandingan. Juga ada yang berkapasitas sampai seratus ribu penonton, yang atapnya dapat dibuka dan ditutup secara otomatis.Juga fasilitas serbawah: hotel menampung pemain dan wartawan yang meliput, transportasi, dan telekomunikasi paling mutakhir. Total biaya promosi itu US$ 1,4 juta. Padahal, sepak bola tidak berakar di AS dan FIFA pernahmenganggapnya anak bawang. FIFA khawatir penyelenggaraan turnamen berantakan dan sepi dari penonton. Namun, kini diperkirakan, penonton di sembilan stadion yang menggelar 52 pertandingan mencapai 3,5 juta. Kini karcis sudah habis dengan harga rata-rata Rp 125 ribu untuk satu pertandingan. Bandingkan dengan Piala Dunia 1990 di Italia yang dihadiri sekitar 2,5 juta penonton. Menurut majalah Economist dari Inggris, hajatan kali ini mengail uang sekitar US$ 4 miliar, atau lebih dari Rp 8 triliun. Dari jumlah itu, Alan Rothenberg, Ketua Penyelenggara Piala Dunia XV 1994, menaksir panitia sedikitnya panen US$ 20- 25 juta. Ada yang mengatakan sampai US$ 75 juta atau sekitar Rp 150 miliar. Alasan uang ini kabarnya yang menjatuhkan pilihan pada AS. Bagi Havelange, AS adalah masa depan strategis buat kepentingan komersialisasi sepak bola, khususnya dari penjualan hak siar televisi. Dari sponsor, setidaknya FIFA mendapat sedikitnya US$ 20 juta -- selain uang jaminan US$ 7 juta dari tuan rumah. FIFA agaknya belajar dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Salah satu jaringan TV kelas kakap di AS, TV NBC, membayar US$ 456 juta kepada IOC untuk mendapatkan hak siar eksklusif Olimpiade musim panas di Atlanta, AS, tahun 1996. Tawaran ini sekaligus menyingkirkan ABC, rival NBC, yang menawarkan US$ 450 juta. Perang tarif hak siar Olimpiade AS ini ada kaitan antara komersialisasi olahraga dan gairah pemirsa. FIFA berhasil merayu TV ABC membeli hak siar Piala Dunia XV ini. Bersama jaringan TV kabel ESPN yang berminat membeli hak siar Piala Dunia, mereka punya jangkauan pemirsa sekitar 70 juta di AS. Sponsor seperti Coca-Cola, Snickers, dan Master Card sedang berunding dengan ABC dan ESPN agar ketiga logo perusahaan itu bergantian terpampang di pojok layar kaca selama pertandingan. Di negara berpenduduk 250 juta ini USSF mengklaim kini sekitar 10 juta pemain sepak bola profesional ataupun amatir. Kompetisi sepak bola profesional saat ini tidak seperti lazimnya di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Latin. Ada American Professional Soccer League yang beranggotakan 7 klub -- tiga di antaranya dari Kanada -- tapi tidak berlaku degradasi. Jadi, tak ada pembagian divisi. Lalu ada liga mahasiswa yang amatir. Dan liga sepak bola lapangan tertutup yang setiap tim menurunkan enam pemain, dan bermain di lapangan karpet yang ukurannya tak sebesar lapangan sepak bola seperti biasanya. Aturan mainnya mengadaptasi permainan hoki es. Misalnya pemain yang main kasar dikenai hukuman tak boleh bermain dua menit. Selama menjalani hukuman ia tak boleh diganti pemain cadangan. Bagaimana tim nasional dibentuk, padahal di AS tidak ada basis klub profesional yang memadai? Menghadapi Piala Dunia XV, USSF mengontrak penuh sejumlah pemain lokal dan memanggil pemainnya di mancanegara untuk menetap dalam kamp latihan di Mission Viejo, yang dibuka sejak awal tahun 1993. Selama ini, jika ada pemain AS yang "jadi" biasanya hijrah ke Eropa, memperkuat klub di liga Inggris, Jerman, dan Yunani. Ada juga yang ke Meksiko, Arab Saudi, dan Jepang (lihat Tim Negeri Koboi dan Piala Dunia). Sepak bola di AS sebenarnya pernah mengkilap di tahun 1970- an. Ketika itu ada North American Soccer League (NASL). Sejumlah jutawan dan konglomerat bersedia menjadi investor untuk membiayai klub. Bintang sepak bola dari mancanegara didatangkan. Di antaranya Pele, Carlos Alberto (Brasil), George Best (Irlandia), Bobby Moore, Gordon Banks (Inggris), Franz Beckenbauer (Jerman), Johan Cruyff, Johan Neeskens (Belanda), Chiro Chinaglia (Italia). Mereka pernah meniti dan sekaligus menutup kariernya di liga AS itu. Klub New York Cosmos, misalnya, berani mengeluarkan US$ 10 juta setahun untuk membayar sejumlah pemain inti. Ini tidak termasuk gaji Pele, yang waktu itu dibayar US$ 4,5 juta per tahun. Belum lagi pengeluaran lainnya seperti pembuatan kostum pemain yang harganya US$ 400 per buah. Puncaknya terjadi pada awal tahun 1980-an. Anggota NASL mencapai 24 klub, dan rata- rata setiap pertandingan disaksikan sekitar 70 ribu penonton. Ternyata, ongkos pengelolaan yang besar itu tak didukung iklim bisnis AS yang sangat komersial. Para investor kedodoran untuk menghidupi klub-klub yang tergabung dalam NASL, yang besar pasak daripada tiang. Hanya mengadalkan pemasukan karcis dari penonton tak cukup untuk menutupi ongkos. Setahun rata- rata tiap klub anggota NASL rugi US$ 1 juta. Akhirnya satu per satu klub rontok. Tahun 1984 tinggal 8 klub yang mencoba bertahan. Pada tahun berikutnya NASL bubar dan meninggalkan utang sekitar US$ 600 juta. Sebagian menuding manajemen buruk membuat NASL gulung tikar. Padahal, ada faktor lain yang juga berperan: jaringan TV swasta tidak punya minat membeli hak siar. Pertandingan sepak bola yang 2 kali 45 menit itu tak bisa disisipi iklan dalam siaran langsung. Ketika Olimpiade musim panas 1984 di Los Angeles, pertandingan sepak bola dilihat sekitar 1,4 juta penonton. Namun, di saat final sepak bola antara Prancis dan Brasil hanya ditayangkan 10 menit oleh jaringan TV swasta ABC. Lain kalau meliput pertandingan bola basket atau American Football yang memiliki beberapa kali time-out -- inilah saat menjejali iklan. Artinya, duit masuk untuk stasiun TV. Kini, cerita suram tentang sepak bola di AS itu tinggal sejarah. Soccermania mulai menjalar di pelosok negeri itu. Seperti kata Kissinger, "Sepak bola adalah permainan yang secara hebat melibatkan perasaan." Dan perasaan tersebut kini mulai dimiliki sebagian bangsa Negeri Koboi itu.Ahmed Kurnia Soeriawidjaja (Los Angeles)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum