Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menjerat Windu Aji Sutanto dalam kasus tambang ilegal.
Penyidik menduga kerugian negara Rp 5,7 triliun.
PT Antam ditengarai ikut berperan.
KANTOR PT Lawu Agung Mining di kompleks Citra Land Bluestone, Kendari, Sulawesi Tenggara, tertutup pada Jumat sore, 21 Juli lalu. Dari balik kaca jendela, hanya terlihat meja dan kursi yang kosong. Tak ada satu pun karyawan di dalam rumah berlantai dua itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Lawu Agung tengah menjadi sorotan dalam kasus tambang nikel ilegal Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kejaksaan Agung menangkap pemilik perusahaan, Windu Aji Sutanto, pada Selasa, 18 Juli lalu. Jaksa menuduhnya menikmati keuntungan penjualan nikel ilegal di kawasan konsesi PT Aneka Tambang Tbk atau Antam. “PT Lawu juga menjadi broker perusahaan lain yang tidak memiliki izin untuk ikut menambang,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Patris Yusrian Jaya kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para jaksa menggeledah kantor PT Lawu Agung di Kendari pada 5 Juni lalu. PT Lawu Agung juga berkantor di Telesindo Tower di persimpangan Jalan Gadjah Mada dan Jalan KH Zainul Arifin di Jakarta Barat pada 2021. Kejaksaan juga menggeledah kantor PT Lawu di lantai delapan gedung tersebut. Namun para penyidik pulang dengan tangan hampa. Seorang karyawan mengatakan PT Lawu Agung sudah tak lagi berkantor di sana. “Sudah lama pindah,” katanya.
Pada hari penggeledahan itu, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan tiga tersangka tambang nikel ilegal Blok Mandiodo. Mereka adalah General Manager PT Antam Unit Bisnis Pertambangan Nikel Konawe Utara Hendra Wijayanto; pelaksana lapangan PT Lawu, Glen Sudarto; dan Direktur Utama PT Kabaena Kromit Prathama Andi Andriansyah.
Penyidik baru memeriksa Windu Aji Sutanto di Kendari pada Kamis, 22 Juni lalu. Pada pemeriksaan pertama itu sebenarnya penyidik sudah merasa cukup bukti untuk menetapkan Windu sebagai tersangka. Namun mereka menunda penetapan status tersangka hingga pemeriksaan kedua pada Rabu, 12 Juli lalu. Pada hari yang sama, jaksa menetapkan Direktur Utama PT Lawu Agung Mining Ofan Sofwan sebagai tersangka keempat.
Windu Aji Sutanto tidak datang pada pemeriksaan kedua. Pengusaha 47 tahun itu meminta penundaan sampai 14 Agustus nanti. Jaksa menolak. Windu diminta datang ke Gedung Bundar, kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, pada Selasa, 18 Juli lalu. Menjelang magrib, jaksa mengumumkan Windu sebagai tersangka kelima.
Patris Yusrian Jaya memastikan keuntungan akibat penambangan ilegal Blok Mandiodo mengalir secara penuh ke PT Lawu, yang 99 persen sahamnya dimiliki Windu lewat PT Khara Nusa Investama.
Di Gedung Bundar, jaksa menghadapkan Windu dan Ofan ke publik dengan rompi tersangka berwarna merah muda. Seperti Windu, Ofan juga diboyong dan ditahan di Jakarta. “Kerugian negara seluruhnya dari penambangan ilegal itu Rp 5,7 triliun,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.
Baca: Bersih-bersih Blok Mandiodo
Blok Mandiodo merupakan bagian kawasan konsesi pertambangan PT Antam di Konawe Utara. Untuk menambangnya, PT Antam membentuk kerja sama operasi (KSO) dengan perusahaan lain guna mengeruk 7 juta ton cadangan nikel pada 2021. KSO ini dikoordinasikan oleh PT Lawu Agung Mining.
Deforestasi akibat penambangan nikel di Blok Mandiodo, Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, 24 Maret 2022/Tempo/Budhy Nurgianto
Liputan investigasi majalah Tempo berjudul “Pencahar Nikel Ilegal” pada edisi 23-29 Januari 2023 mengungkap PT Lawu Agung Mining bahkan menambang nikel di wilayah hutan tanpa izin. Mereka menjual nikel tersebut ke smelter dengan menggunakan dokumen yang membuatnya seolah-olah hasil tambang resmi. Para penambang menyebut dokumen-dokumen asli tapi palsu itu sebagai "dokter", kependekan dari "dokumen terbang".
Beberapa bagian kawasan tambang berada di kawasan hutan. Untuk menambangnya, perusahaan harus memiliki izin pinjam-pakai kawasan hutan. PT Antam ternyata belum mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut. Tapi PT Antam berkilah bahwa mereka dan perusahaan KSO telah mengantongi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Mereka mengklaim lokasi penambangan berada di luar kawasan hutan.
Klaim itu bertolak belakang dengan analisis citra satelit Greenpeace Indonesia bersama Tempo. Rekaman satelit menunjukkan luas tambang nikel di Blok Mandiodo selama 2022 mencapai 228,58 hektare. Padahal luas tambang dalam RKAB PT Antam tahun lalu yang disetujui Kementerian Energi hanya 40 hektare. Analisis citra satelit juga memindai 90 persen area yang sudah ditambang berada di kawasan hutan.
Tempo pernah bertemu dengan Windu dan Glen Sidarto, pemilik lama sekaligus tenaga lapangan PT Lawu Agung Mining, pada Maret 2022. Keduanya menceritakan duduk perkara tuduhan penambangan ilegal di sana. Tapi kala itu mereka menolak isi wawancaranya dikutip. Tempo lalu mewawancarai lagi Windu pada Februari lalu. Ia tetap membantah tudingan terlibat penambangan ilegal. “Saya ini cuma buruh yang kerja lalu dibayar PT Antam,” ujarnya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Patris Yusrian Jaya mengatakan Glen sudah menjadi tersangka dan ditahan. Windu membeli PT Lawu Agung dari Glen sebelum mengikat KSO dengan PT Antam. Dalam operasinya, Glen bertugas sebagai tenaga lapangan penambangan meski bukan lagi pemilik PT Lawu.
Patris menyebutkan PT Lawu Agung memanfaatkan status KSO dengan PT Antam sebagai landasan mengeruk nikel di Konawe Utara selama tiga tahun. Sesuai dengan perjanjian, PT Lawu Agung seharusnya beroperasi di lahan 22 hektare yang disepakati dalam KSO. Kenyataannya, area yang ditambang PT Lawu Agung tak terkontrol. “Bertambah lagi menjadi 40 hektare, lalu bertambah lagi menjadi 157 hektare,” ucap Patris, memberi konfirmasi ihwal temuan investigasi Tempo.
PT Lawu Agung melibatkan hampir 39 perusahaan di Blok Mandiodo. Sebagian besar perusahaan itu juga tidak punya izin usaha pertambangan (IUP). Hanya tiga perusahaan yang benar-benar menyetorkan bijih nikelnya kepada PT Antam. Sisanya dijual ke smelter nikel di Morosi di Konawe Utara hingga Morowali di Sulawesi Tengah. Padahal, karena berstatus KSO, PT Lawu Agung tak berhak menjual nikel kepada pihak lain. “Dijual pakai dokumen terbang,” tutur Patris.
Patris mengatakan PT Lawu Agung menggunakan dokumen terbang dari beberapa perusahaan. Di antaranya PT Kabaena Komit Prathama, PT Tristaco, dan PT Cinta Jaya. Dengan dokumen itu, nikel hasil penambangan ilegal seolah-olah menjadi resmi saat dijual ke smelter.
Saat ini penyidik baru menciduk Direktur Utama PT Kabaena Komit Prathama Andi Andriansyah. Kejaksaan sudah memeriksa petinggi dan pemilik PT Tristaco dan PT Cinta Jaya. Patris menambahkan, mereka akan diperiksa ulang. “Kami akan periksa semua penambang, dijual ke mana,” katanya.
Kejaksaan Agung sebenarnya menerima aduan ihwal penambangan ilegal di Konawe Utara dari PT Antam sejak September 2022. Lewat jawaban tertulis, Sekretaris Perusahaan PT Antam Syarif Faisal Alkadrie mengatakan pihaknya menghormati proses hukum yang berlaku dan akan bekerja sama dengan penyidik. “Kami senantiasa mematuhi peraturan yang berlaku dalam setiap lini bisnis perusahaan,” tulisnya.
Rupanya, para jaksa juga tengah membidik peran PT Antam. Penyidik sudah menetapkan tersangka dan menahan mantan General Manager PT Antam Unit Bisnis Pertambangan Nikel Konawe Utara, Hendra Wijayanto. Perusahaan milik negara itu, Patris menjelaskan, ditengarai membiarkan lahannya ditambang dan bijih nikelnya di jual ke smelter lain. “Penyalahgunaan ini ditoleransi oleh pemilik IUP, yaitu PT Antam,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rosniawanti Fikry Tahir dari Kendari dan Eka Yudha Saputra Jakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Bawah Naungan Dokumen Terbang"