Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR burung terus beterbangan dari Cilangkap, Markas Besar TNI. Yang paling anyar datang dari harian terkemuka Singapura, The Straits Times. Rabu pekan lalu, koran itu menurunkan berita utama yang menyentak Republik. Panglima TNI Jenderal Wiranto dikabarkan akan mundur untuk maju memperebutkan kursi kepresidenan. Mengutip seorang sumber dekat sang panglima, tongkat komando bakal diserahkan ke wakilnya, Laksamana Widodo, setelah hari jadi TNI, 5 Oktober mendatang.
Mundur sebagai panglima tapi posisi menteri pertahanan dan keamanan masih di tangan. Langkah ini diambil untuk melempangkan jalan sang Jenderal ke istana, khususnya menyongsong pelaksanaan Musyawarah Nasional Golkar sekitar 14-15 Oktober mendatang, saat calon final presiden Beringin akan ditetapkan. Maklum, kandidat nomor satu Golkar sebelumnya, B.J. Habibie, kansnya kini makin mengempis terkena isu Timor Timur dan Baligate.
Tapi info itu dibantah Asisten Perencanaan Umum TNI, Mayjen Agus Wirahadikusumah. Ia mengatakan bahwa Wiranto selalu mengatakan tidak berambisi menjadi presiden. Dan jika spekulasi itu benar, ''Saya orang pertama yang akan bilang, Pak Wiranto ibarat menelan ludahnya sendiri," katanya kepada TEMPO. Jenderal Agus sendiri berpendirian bahwa TNI harus konsisten mendukung terwujudnya masyarakat madani. Seorang perwira tinggi bahkan melihat lebih jauh. Menurut dia, isu itu sengaja diembus-embuskan kalangan intelijen untuk menggembosi kredibilitas panglimanya. ''Ini semacam jebakan," katanya lagi.
Raba-Raba Malioboro Ala Kang Jupri |
PENJAJA lesehan di Jalan Malioboro, Yogyakarta, baru mengemasi jualannya pada Senin pekan lalu, pukul 3 dini hari, ketika sebuah kegegeran terjadi. Seorang pria berkulit putih tampak berlari masuk ke Hotel Mutiara dengan hidung dan tengkuk berdarah-darah. Ternyata, lelaki bule yang semula mengaku bernama Peter itu tak lain adalah Profesor Jeffrey Winters, ahli Indonesia terkemuka dari Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat.
Berita yang tersebar kemudian menyudutkan Winters, yang pernah lama tinggal di Yogya dan fasih berbahasa Jawa. Tiga pemuda yang menyerangnya itu menuding sang profesor telah melakukan pelecehan seksual. Kepada TEMPO, salah seorang di antaranya, Tri Apri Untoro, 19 tahun, memang mengaku telah menghajar Winters karena ia diperlakukan tak senonoh saat diajak jalan-jalan di sekitar Alun-Alun Utara. ''Dia meraba-raba saya," kata mahasiswa sebuah perguruan tinggi itu. Pengakuan yang sama juga datang dari Guntoro, 17 tahun, seorang penarik becak yang mengantar Winters setelah bertemu Tri.
Winters membantah versi itu. Ia justru mengaku menjadi korban percobaan pencolengan. Lebih jauh, ia bahkan melihat ada upaya untuk menggelembungkan insiden ini dan mempolitisasinya. ''Terutama dari kelompok status quo," katanya lagi. Akhir tahun lalu, pengarang buku Dosa-Dosa Orde Baru ini pernah bersuara keras soal korupsi Freeport dan menyentil dugaan keterlibatan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita.
Demo Keadaan Bahaya |
Demo demi demo mahasiswa terus mengalir menuju Senayan. Di situlah para wakil rakyat sibuk menggodok masalah gawat: RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Jika kelak disahkan DPR, beleid itu dinilai bakal memberangus kebebasan pers, memasung hak asasi manusia, dan mengusung kembalinya militerisme. Pelbagai kelompok mahasiswa turun ke jalan. Mereka melakukan orasi dan melawan pentungan aparat.
Rabu lalu, Goenawan Mohamad, seorang tokoh pers nasional yang biasa dipanggil GM, sedang berada di tengah-tengah demonstrasi menentang pembahasan rancangan yang semula bernama UU Keamanan dan Keselamatan Negara itu. Siang itu, berlangsung aksi demonstrasi yang melibatkan ratusan aktivis Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan sejumlah kelompok mahasiswa.
Tapi penanganan petugas rupanya makin sangar saja. Bersama GM, 19 belas demonstran ikut ditangkap. Tak sampai 24 jam kemudian mereka semua akhirnya dilepas. Nasib nahas menimpa enam orang demonstran. Mereka babak-belur dihajar bogem dan sepatu lars tentara. Salah seorang di antaranya, Edwin, dari Himpunan Mahasiswa Islam, sampai akhir pekan kemarin masih terbaring di rumah sakit.
Tak jelas, kenapa aparat memburu para demonstran. Padahal, saat insiden di kawasan Pejompongan itu meletus, para demonstran justru sedang berjalan pulang. ''Dan jaminan keamanan dari aparat juga sudah diberikan," kata Nong Mahmada, koordinator aksi dari ISAI.
Ingar-bingar itu tak menggoyahkan DPR untuk ngebut merampungkan aturan penting ini. Saat ini draf itu sudah kelar dari meja panitia kerja dan siap disodorkan ke rapat paripurna sebelum 23 September 1999, untuk kemudian disahkan. Jadi, jika demo-demo itu bisa diatasi, target pengesahan sebelum sidang umum bakal tercapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo