Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kampus Ambon Tak Lagi Manise

Ribuan mahasiswa Ambon mencari suaka akademik di perguruan tinggi di luar Ambon. Nasib mereka masih menggantung.

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Siti Ramlah, gadis berkerudung yang berkulit kuning langsat, Ambon adalah sebuah lembaran hitam. Gadis 18 tahun yang duduk di semester ketiga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura itu sudah bertekad hengkang dari kampusnya setelah nyawanya nyaris melayang. Ini adalah ekor dari kerusuhan yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan. Apalagi tempat indekos Ramlah terletak di kawasan Perumnas Poka, daerah jantung kerusuhan. "Saya tidak bisa belajar dengan ledakan bom setiap hari," kata Ramlah, yang mengurus kepindahan belajar ke Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Ramlah tidak sendirian. Ribuan mahasiswa di Ambon memutuskan meninggalkan kampusnya, mencari "suaka akademik" ke perguruan tinggi seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Sam Ratulangi, Manado, atau Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Dari Universitas Pattimura saja tercatat sekitar 2.500 mahasiswa yang bereksodus ke luar Ambon. Mereka membawa trauma dengan kerusuhan berkepanjangan di Ambon. "Saya masih sering bermimpi mendengar suara bom, tembakan, dan orang menjerit," kata Jefri Christian, mahasiswa Universitas Pattimura yang mengungsi ke Universitas Sam Ratulangi. Sebenarnya, Jefri sudah pulang dengan kapal laut dan merapat di Pelabuhan Halong, Ambon, akhir Juli lalu. Tapi dia urung turun setelah melihat kerusuhan kembali berkobar dan arus pengungsi membeludak memadati kapal yang ditumpanginya. Kepulauan yang dulu digambarkan sebagai kawasan yang aman, damai, dan manise itu menjadi rusuh dan berdarah sejak pertengahan Desember 1998. Pemicu pertamanya adalah perseteruan antara warga Desa Wailete dan warga Desa Hative Besar, yang berubah menjadi kekerasan. Kemudian, terjadi kerusuhan yang melebar dan menjalar tak kenal batas hingga berbulan-bulan. Kekacauan sempat mereda satu-dua bulan, tapi kerusuhan tersebut tersulut lagi Agustus lalu. Salah satu "limbah" kerusuhan itu adalah para mahasiswa yang mencari suaka akademik. Menurut Prof. Boetje H. Moningka, Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Sam Ratulangi, sebenarnya universitasnya tidak keberatan menerima eksodus mahasiswa Ambon. "Torang (kami) membuka diri kapan saja. Cuma, harus disesuaikan dengan kalender akademik," katanya. Bagi pihak Universitas Sam Ratulangi, mahasiswa Ambon yang mengungsi itu dianggap membutuhkan bukan saja pendidikan, tapi juga keamanan. Untuk itulah Universitas Sam Ratulangi sudah mempersiapkan program mahasiswa titipan dengan kredit transfer. Contohnya, seorang mahasiswa Universitas Pattimura diberi kesempatan belajar dua semester di jurusan yang sama atau mirip di Universitas Sam Ratulangi. Kredit yang diperoleh di kampus Manado itu bisa ditransfer kembali ke buku akademik di Universitas Pattimura bila sang mahasiswa sudah kembali ke Ambon. Para mahasiswa yang pindah kuliah juga harus membayar sejumlah uang. Universitas Sam Ratulangi, misalnya, menyelenggarakan dua macam kepindahan, yaitu yang permanen dan titipan. Mahasiswa yang pindah secara permanen harus membayar berbagai uang iuran dan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama satu semester, yang jika dijumlahkan akan mencapai sekitar Rp 2 juta. Sedangkan mahasiswa yang berstatus titipan hanya wajib membayar uang SPP satu semester dan biaya administrasi yang jumlahnya sekitar Rp 200 ribu. Pihak perguruan tinggi yang mendapat limpahan mahasiswa dari Ambon tampaknya lebih memilih agar mahasiswa Ambon menjadi mahasiswa titipan saja. Menurut Natsir Nessa, Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Hasanuddin, kampusnya tak mempermasalahkan mahasiswa eksodus Ambon yang menumpang kuliah saja. Sebab, mereka hanya cukup mengurus izin masuk ke jurusan yang sama, tanpa repot dengan akreditasi dan penyesuaian peringkat. "Kalau Ambon aman, cukup dengan permisi dengan menunjukkan kartu rencana studi, mahasiswa Ambon itu sudah bisa kembali," katanya. Pihak pemerintah pun sebetulnya sudah mengantisipasi masalah eksodus mahasiswa Ambon. Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur telah membuat beberapa pertemuan untuk membicarakan nasib ribuan mahasiswa yang terkatung-katung itu. Pintu pun segera terbuka lebar. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Juwono Sudarsono, mahasiswa pindahan dari Ambon sama sekali tidak akan dipersulit. Tapi tunggu dulu. Tentu saja ini bukan film Hollywood yang serba gampangan. Kenyataan selalu lebih rumit dibandingkan dengan retorika pejabat. Misalnya, kenapa hanya ada 60 mahasiswa yang tercatat meminta suaka akademik? Padahal, jumlah mahasiswa yang bereksodus ke Universitas Hasanuddin saja mencapai 500 orang. Belum lagi yang masuk ke perguruan tinggi lainnya. Apalagi daya tampung perguruan tinggi yang dimintai suaka ternyata sangat terbatas. Universitas Sam Ratulangi, yang berkapasitas 13 ribu mahasiswa, hanya mampu menampung suaka untuk 150 orang, sementara Universitas Hasanuddin hanya mau menampung 200 mahasiswa. Belum lagi untuk urusan administrasi. "Ngurus-nya susah," tutur Saharuddin, mahasiswa IAIN Ambon yang berkampung halaman di Sulawesi Selatan. Apalagi mahasiswa pengungsi itu tetap dibebankan untuk membayar SPP. Tentu saja itu wajar. Tapi, harap ingat, namanya keadaan sedang darurat, wajar pula jika kebanyakan mahasiswa eksodus itu sudah tak punya uang. "Kita pindah ke sini sudah tidak punya apa-apa," kata seorang mahasiswa pengungsi di Universitas Hasanuddin. Lalu, bagaimana nasib mahasiswa Ambon yang masih tak jelas status suakanya? Itu sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Mudah-mudahan mimpi dalam tidur para mahasiswa itu tak berubah dari mendengar ledakan bom menjadi dikejar-kejar petugas kampus untuk membayar SPP. Bina Bektiati, Verrianto Madjowa (Manado), Tomi Lebang (Ujungpandang), Friets Kerlely (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus