Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran fotografi World Press Photo 2023.
Menampilkan 30 pemenang dari 60 ribu karya terdaftar.
Tak ada pemenang dari Indonesia.
DITANDU berlapis dengan kain merah bermotif polkadot, perempuan yang luka-luka itu tergolek pasrah. Empat orang berompi dan bersenjata serta relawan sipil mengangkat Iryna Kalinina, 32 tahun, yang terpejam. Tangan kirinya seperti menahan perut buncitnya. Mereka melintas di sebuah lahan kosong di sekitar rumah sakit bersalin di Kota Mariupol, Ukraina, yang porak-poranda karena serangan bom dan mortir Rusia. Seluruh gedung rumah sakit itu compang-camping, semua kaca jendelanya rontok, sebagian bangunannya terkelupas. Asap hitam masih mengepul saat mereka melintas di lahan yang penuh patahan pohon dan ranting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah foto yang sangat menyentuh. Evgeniy Maloletka, fotografer dari Associated Press, memberi judul foto karyanya itu "Mariupol Maternity Hospital Airstrike". Tiga hari setelah Maloletka mengabadikan momen ini, Kalinina meninggal. Dia menyusul bayinya yang bernama Miron, yang berarti "perdamaian", yang meninggal setengah jam sebelumnya saat dilahirkan. Invasi Rusia pada tahun lalu meluas ke semua penjuru Ukraina. Mereka membabi buta menargetkan permukiman warga sipil dan memakan puluhan ribu korban jiwa, termasuk penghuni rumah sakit tempat Kalinina dirawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto karya Evgeniy Maloletka berjudul "Mariupol Maternity Hospital Airstrike" yang memenangkan kategori World Press Photo of the Year. worldpressphoto.org/Evgeniy Maloletka
Maloletka mendapatkan momen tragis itu saat ia hendak mengisi daya baterai kameranya setelah merekam kuburan massal warga sipil. Ketika itu ia tiba-tiba mendengar suara jet dan ledakan bom yang menghancurkan rumah sakit bersalin di Mariupol. Saat berlari menuju rumah sakit itu, ia menangkap momen menyakitkan ini. "Saya berharap bisa melupakan kejadian yang saya rekam ini, tapi ternyata tidak," tuturnya.
Foto tragis ini terasa sekali direkam dengan dingin. Maloletka terasa masih dapat mengambil foto dengan tenang. Unsur artistik pun terekam dalam foto ini dengan terlihatnya ekspresi sedih Kalinina saat ia digotong para tentara dan adanya unsur warna merah bermotif polkadot pada selimut yang menjadi alas tandunya. Warna merah kuat yang berbanding terbalik dengan warna-warna kelam di seputar kehancuran bangunan seolah-olah memaksa pandangan publik langsung tertuju kepada Kalinina yang sedang terbaring lemah.
Bidikan kamera Maloletka ini menyentuh para juri World Press Photo Contest 2023. Maloletka, jurnalis, fotografer, dan pembuat film yang meliput perang di Ukraina sejak 2014, diganjar penghargaan sebagai salah satu pemenang kontes. Juri menilai foto ini menangkap sebuah keabsurdan dan horor perang. Foto ini memperlihatkan bukti kejahatan perang angkatan bersenjata Rusia terhadap masyarakat sipil Ukraina. “Foto ini membangkitkan kenyataan sejarah luka yang sangat menyakitkan dan menyoroti pembunuhan generasi masa depan Ukraina,” demikian komentar juri di situs World Press Photo.
Salah satu foto pemenang World Press Photo Story of the Year berjudul "The Price of Peace in Afghanistan" karya Mads Nissen di pameran World Press Photo 2023, Jakarta. worldpressphoto.org/AMads Nissen
Para juri juga memenangkan foto dengan obyek seorang anak laki-laki yang memperlihatkan sebuah bekas sayatan luka operasi di pinggangnya. Foto dengan warna tanah yang terlihat kelam itu berjudul "The Price of Peace in Afghanistan" karya Mads Nissen, fotografer Politiken/Panos Pictures yang berbasis di Denmark. Bocah itu rela menjual salah satu ginjalnya seharga US$ 3.500 demi bertahan hidup bersama keluarganya di Herat, Afganistan, pada 2022. Ekonomi yang morat-marit serta peningkatan angka pengangguran dan ancaman kelaparan terjadi di Afganistan pada masa pemerintahan Taliban.
Situasi ini memicu penjualan organ tubuh secara ilegal, termasuk yang dilakoni anak itu. Seusai operasi ginjal, ia menderita luka kronis dan tak punya kekuatan untuk sekadar bermain sepak bola dan kriket. Kebahagiaannya telah terenggut. Bukan hanya bocah laki-laki itu, dipajang pula foto anak balita yang mengalami malnutrisi serta para perempuan bernikab dan anak-anak mereka yang tengah mengemis di sebuah toko roti. Tubuh mereka pun terkontaminasi asap plastik yang dibakar untuk memasak. Inilah harga yang harus mereka bayar demi sebuah "perdamaian".
Foto karya Mohamed Mahdy berjudul "Here, The Doors Don't Know Me" di pameran World Press Photo 2023, Jakarta. worldpressphoto.org/Mohamed Mahdy
Ada pula kisah warga Al Max, komunitas nelayan di permukiman kumuh sepanjang Kanal Mahmoudiyah di Alexandria, Mesir. Kanal tersebut menghubungkan wilayah itu dengan Laut Mediterania. Pemerintah setempat mulai menggusur permukiman mereka pada 2020. Fotografer Mohamed Mahdy mendorong komunitas warga memelihara ingatan tentang rumah mereka dengan menuliskan surat cinta, kenangan, yang dimasukkan ke botol-botol yang dihanyutkan.
Mahdy menyuguhkan kisah perjuangan mereka melalui foto berjudul "Here, the Doors Don't Know Me". Terinspirasi percakapannya dengan wanita tua yang tinggal di Olmax, Alexandria, dia mengumpulkan ingatan warga sekitar lewat foto, tentang rumah, waktu senggang, aktivitas, lingkungan, sampai surat yang beralamat di Olmax. Karya ini memenangi kategori Open Format, yang memberikan kebebasan bagi jurnalis dari semua penjuru dunia untuk mengirimkan foto dalam berbagai format.
Salah satu foto karya Anush Babajanyan dalam rangkaian esai berjudul "Battered Waters" di pameran World Press Photo 2023, Jakarta. worldpressphoto.org/Anush Babajanyan
Satu pemenang global lain adalah karya Anush Babajanyan, fotografer wanita dari Armenia. Penyuntingan foto yang detail menjadi salah satu kunci kemenangan Babajanyan dalam kategori Long-Term Project. Ia memotret situasi negara-negara di Asia Tengah yang berada di hulu Sungai Syr Darya dan Amu Darya, yakni Tajikistan dan Kirgizstan, serta di hilir sungai tersebut, yaitu Kazakstan dan Uzbekistan, sejak Agustus 2019 hingga Maret 2023. Karya ini terinspirasi mozaik tentang wanita yang memberikan air sebagai sumber kehidupan pada dinding sebuah bangunan di Mirny, Kazakstan.
“Empat pemenang global mewakili foto dan kisah terbaik dari kisah-kisah paling penting dan mendesak pada 2022,” ujar Brent Lewis, ketua juri global. Lewis menambahkan, mereka juga membantu meneruskan tradisi tentang apa yang dapat dilakukan dengan fotografi dan bagaimana fotografi membantu kita melihat kondisi universalitas manusia.
Foto karya Maya Levin berjudul "Shireen Abu Akleh’s Funeral" di pameran World Press Photo 2023, Jakarta. worldpressphoto.org/Maya Levin
Selain empat karya pemenang global, foto-foto pemenang dari kawasan Afrika, Asia, Eropa, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Oseania dipamerkan. Foto kisruh proses pemakaman jurnalis Al Jazeera yang ditembak tentara Israel berjudul "Shireen Abu Akleh’s Funeral" karya Maya Levin menjadi foto single yang sangat menarik dan memenangi kontes untuk kawasan Asia.
Sementara itu, dari Benua Amerika, Carlos Barria memotret perjalanan seorang ibu dalam "Maria’s Journey". Selama hampir satu tahun Barria menangkap momen perjalanan Maria dari Honduras untuk menemui anaknya di Amerika Serikat. Maria dan anaknya adalah korban kebijakan pemerintah Amerika yang memisahkan anak dari orang tuanya karena pelanggaran aturan izin masuk ke Negeri Abang Sam.
Yang cukup menarik perhatian adalah foto seorang perempuan yang membelakangi sekelompok perempuan berabaya dan berjilbab hitam. Ia duduk di sebuah bangku membelakangi beberapa perempuan berabaya hitam. Perempuan itu mengenakan setelan jas panjang dan celana cokelat, bersepatu kets, duduk menghadap kamera. Siku tangan kirinya diletakkan di atas meja kuning dengan kursi merah di sebelahnya. Wajahnya seperti membeku menatap kamera, tanpa ekspresi, tapi seakan-akan ia sedang berkisah. Rambutnya yang sedikit ikal terurai tanpa tertutup helaian kain. Sekilas foto ini tampak sederhana, tapi kisah di dalamnya sangat dalam. Foto ini diambil saat terjadi demonstrasi menuntut pengusutan kasus kematian perempuan Iran, Mahsa “Jina” Amini, setelah ditangkap polisi moral di Teheran. Foto ini juga menjadi muka katalog World Press Photo Contest 2023.
Foto karya Ahmad Halabisaz berjudul "Untitled" di pameran World Press Photo 2023, Jakarta. worldpressphoto.org/Ahmad Halabisaz
Berjudul "Untitled", foto karya Ahmad Halabisaz ini memenangi Honorable Mentions regional Asia. Menurut Zeynep Özçelik, koordinator pameran World Press Photo, foto yang mendapat anugerah Honorable Mentions adalah foto yang secara teknis dan isu masih sangat menarik, tapi tidak bisa masuk ke sejumlah kategori pemenang World Press Photo Contest 2023.
"Ia bukan pemenang global. Tapi, untuk saya pribadi, foto tersebut memberikan kesan,” ujar Evi Mariani, juri dari Indonesia, mengutip slogan yang tak pernah dia dengar selama ini bergaung: "Perempuan, Hidup, dan Merdeka". Evi menambahkan, karya yang terpilih ini hanya representasi yang lebih baik, lebih mencerminkan dunia, dan lebih beragam.
Beberapa foto pemenang menyangkut isu yang sangat aktual dan faktual mengenai perubahan iklim dan lingkungan. Misalnya bagaimana masalah air menjadi lebih menonjol, upaya produksi energi terbarukan, juga budaya yang tengah berkembang.
Pengunjung di depan foto pemenang World Press Photo Story of the Year berjudul "The Price of Peace in Afghanistan" karya Mads Nissen, di Jakarta. Tempo/Ratih Purnama
Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lambert Grijns, mengatakan foto-foto itu merupakan hasil dedikasi, keberanian, dan komitmen terhadap kebenaran. “Mari kita renungkan juga tantangan yang dihadapi oleh jurnalis dan fotografer, beberapa dari mereka telah mempertaruhkan keselamatan, kebebasan, dan bahkan nyawa mereka untuk mengabadikan momen-momen ini," ucapnya.
Lebih dari 60 ribu foto karya 3.752 fotografer dari 127 negara diterima panitia World Press Photo Contest 2023. Juri juga memilih 24 pemenang dan 6 pemenang kehormatan khusus. Mereka memilih foto-foto dengan beragam isu dan kisah, dari garis depan konflik, masalah budaya, identitas, migrasi, memori masa lalu yang hilang, hingga hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari serta masa depan, termasuk soal lingkungan dan perubahan iklim. Puluhan foto ini sedang dipamerkan di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan, hingga 23 September 2023. Pada 1-23 Oktober 2023, pameran serupa akan diadakan di Pendapa Art Space, Yogyakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Gunawan Wicaksono dan Jati Mahatmaji berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Momen-momen Menyentuh dalam Bidikan Lensa"