R.M. Roy Suryo*)
*) Dosen dan konsultan multimedia, tinggal di Yogya
Wenas Agusetiawan, 17 tahun, seorang remaja Indonesia, ditangkap polisi Singapura setahun silam karena membobol jaringan komputer di Universitas Nasional Singapura. Dan belum lama ini petugas kepolisian Semarang dan Yogyakarta menciduk sejumlah nama lain karena kejahatan serupa. Kasus hacker (pembobol jaringan komputer) memang banyak mencuat di media massa nasional belakangan ini. Tapi apakah mereka semua yang ditangkap polisi ini layak disebut hacker?
Hal ini penting diluruskan karena sebutan hacker bisa bermakna positif dan membanggakan walau sering pula disalahgunakan untuk tujuan negatif. Hal ini perlu ditegaskan sejak awal karena salah kaprah istilah ini kian mengemuka. Predikat hacker bisa diberikan kepada seseorang yang memiliki kepiawaian membuka (baca: membongkar) suatu sistem atau jaringan komputer untuk maksud dan tujuan tertentu. Si pembobol pasti memiliki wawasan pengetahuan dan kemampuan yang memadai mengenai sistem sekuriti yang dibukanya.
Seorang hacker juga dapat memulihkan sistem yang telah dibobolnya. Sehingga perusahaan atau instansi tertentu bisa memanfaatkan kemampuan mereka untuk menguji tingkat keamanan suatu jaringan komputer. Dalam beraksi, para pembobol jaringan komputer ini memegang semacam kode etik: hacker sejati tidak akan melakukan perusakan berarti. Maksimal mereka hanya "memindahkan" sebagian tampilan sistem tersebut ke tempat lain sehingga pemiliknya bisa memulihkan kerusakan dengan cepat tanpa biaya perbaikan yang serius.
Beberapa pembobol ada kalanya cuma "meninggalkan jejak". Dengan begitu, pemiliknya akan tahu bahwa ada pihak lain telah berhasil menembus jaringan komputernya. Dengan begitu, si pemilik akan lebih waspada. Hacker sejati selalu berpegang teguh pada kode etik?walau kode etik itu tidak tertulis. Tujuan pembobolan mereka cenderung untuk pencapaian pengetahuan teknis. Terkadang, mereka bekerja ala Robin Hood: masuk ke jaringan, mencari kelemahan sekuriti, lalu memperbaikinya.
Steven Levy, seorang penulis masalah hacker, pernah memaparkan hal ini dalam bukunya. Klub hacker Jerman papan atas, seperti Computer Chaos Club (CCC)?berdiri pada 1980?juga cukup ketat memegang etika pembobolan jaringan. Tetapi, bila seorang pembobol situs mulai merusak demi kepentingan pribadi, mereka lebih tepat disebut cracker (perusak sistem jaringan komputer). Bobolnya beberapa situs yang merugikan kepentingan publik menunjukkan kecenderungan ke arah vandalisme seorang cracker ketimbang sikap budiman hacker sejati.
Contoh lain, serangan cracker ke situs-situs internet pernah merugikan sejumlah organisasi di Amerika Serikat sebesar US$ 266 juta (setara dengan Rp 266 miliar pada kurs Rp 10 ribu), tahun silam. Apa alasan seseorang menjadi hacker atau bahkan cracker? Ingin terkenal adalah salah satu motif kuat. Dan media massa adalah sarana yang membuat mereka menjadi populer.
Di lain pihak, pers juga kerap salah kaprah menggunakan istilah. Umpama, menyebut carder sebagai hacker. Padahal, carder tak lebih dari pencuri biasa yang menggunakan sarana komputer untuk beraksi. Salah julukan itu akan membuat para pencuri kartu semakin bangga, sementara tindakan mereka sangat nista, jauh dari etika para hacker. Modus operandi dan kemampuan teknis para pencuri kartu ini cukup berbeda dengan seorang pembobol atau perusak sistem jaringan komputer.
Seorang pencuri kartu terkadang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang sistem sekuriti. Tindakan mereka juga mengkhianati konvensi yang berlaku dalam internet, yakni kepercayaan dan jaringan (trust and network). Tindakan itu membuat mereka pantas dipersona-non-gratakan dari komunitas internet serta diadili dengan hukuman setimpal. Apalagi, modus operandi seorang carder memang amat sederhana.
Mereka tinggal mengisi 16 digit nomor kartu kredit, tanggal kedaluwarsa, nama pemilik, dan alamat surat e-mail si pemesan. Untuk menjalankan aksi ini, para carder bahkan tak perlu mencuri kartu. Mereka cukup meminta salinan gesekan kartu tersebut dari hotel, toko, atau restoran. Ada kalanya, mereka cukup menyalin data-data nomor yang disediakan oleh sesama pencuri kartu, baik secara langsung maupun melalui sarana chatting di internet.
Ironisnya, ada saja pengguna warung internet yang sengaja "meninggalkan" data-data tersebut di terminal komputernya. Sistem sekuriti untuk transaksi di internet sebenarnya sudah diupayakan seaman mungkin dari upaya pembobolan. Namun, apa jadinya kalau para pencuri itu bisa menyalin nomor-nomor tersebut dari tempat lain? Karena itu, tindakan kepolisian Jawa Tengah, DIY, dan Mabes Polri, yang berniat menggulung para carder, patut mendapatkan dukungan semua pihak, terma-suk dari para ahli hukum, dan tentu saja masyarakat umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini