Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Widjojo, 57 tahun, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Letjen (Purn.) Agus Widjojo adalah salah satu sosok yang ikut secara intens menggagas perubahan di tubuh TNI saat awal gerakan reformasi dikumandangkan. Pria lulusan Akabri tahun 1970 ini lebih dikenal prajurit meja ketimbang jenderal lapangan. Ia adalah orang yang mendukung TNI hengkang dari jabatan sipil.
Karier kemiliteran yang pernah dijabatnya antara lain Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Ia juga tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI, menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan terakhirnya sebelum pensiun (2003) adalah Wakil Ketua MPR dari Fraksi TNI/Polri.
Lahir di Solo pada 8 Juni 1947, Agus adalah putra (almarhum) Brigjen Sutoyo, salah seorang jenderal yang menjadi korban tragedi 1965. Gelar master ia peroleh dari George Washington University, AS. Ia termasuk salah satu perwira yang terkenal memiliki pemikiran kritis. Entah kebetulan atau tidak, gaya bicaranya pun mirip SBY, teratur disertai dengan gerakan-gerakan tubuh.
Saat TEMPO meminta komentarnya seputar pencalonannya itu, buru-buru ia menjawab, "Saya tak berani berandai-andai karena itu versi Tempo," ujarnya terbahak. Lalu? "Ya, kita serahkan kepada beliau saja," katanya.
Imam B. Prasodjo, 44 tahun, Menteri Sosial Direktur Yayasan Nurani Dunia ini tertegun sejenak ketika tahu dirinya terpilih menjadi kandidat Menteri Sosial versi Tempo. Sambil mengucapkan terima kasih karena mendapat kehormatan, dosen sosiologi Universitas Indonesia ini menolaknya. Bagi doktor lulusan Brown University, Rhode Island, AS ini, kelemahan manusia ada dua macam: uang dan jabatan. Karenanya, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini tak ingin berandai-andai. "Takut orang mengira saya mencari jabatan," ujarnya serius.
Imam lebih memilih berkiprah di CERIC (Center for Research on Inter-group Relations and Conflict Resolution), sebuah LSM yang bergerak dalam penanganan konflik sosial. "Bergerak dalam NGO memberikan kebebasan karena tak tersekat politik kewenangan maupun politik anggaran. Itu penjara bagi saya," katanya.
Menantu pengamat politik Miriam Budiardjo ini tak menampik bahwa jabatan menteri tetap bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat. "Akan bermanfaat bila Presiden mau memberikan fasilitas sehingga menteri dapat bergerak melakukan perubahan. Kalau tidak, percuma saja," katanya.
Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada Februari 1960, Imam menamatkan sarjananya di FISIP UI, 1986. Empat tahun kemudian, ia mengambil master di Kansas State University, AS. Gelar doktornya diperoleh dari Brown University, Rhode Island, AS, 1997. Kini ia mengabdikan ilmunya di almamaternya.
Marsekal Chappy Hakim, 57 tahun, Panglima TNI Sejak TNI berdiri, hanya Angkatan Udara yang belum pernah memegang posisi Panglima TNI. Angkatan Laut sudah pernah mencicipi jabatan itu. Selebihnya, selalu dipegang oleh prajurit berbaju hijau lumut alias Angkatan Darat.
Dalam Undang-Undang TNI, para politisi Senayan sudah membuka celah agar rotasi di pucuk pimpinan TNI itu sebisa mungkin dilakukan secara bergilir oleh tiga angkatan.
Marsekal Chappy Hakim lahir di Yogyakarta pada 17 Desember 1947. Ia menjadi KSAU sejak 2002. Berbagai jabatan strategis pun pernah ia pegang. Sebelum memimpin TNI AU, ia menduduki jabatan Komandan Jenderal (Danjen) Akademi TNI sejak 2000.
Di lingkungan TNI berbagai posisi penting pernah dijabat prajurit lulusan Akademi Angkatan Udara 1971 ini. Jabatan sebagai gubernur Akademi Angkatan Udara juga pernah ia pegang sejak 1997. Dua tahun kemudian (1999), ia dipercaya menjabat Asisten Personel (Aspers) KASAU.
Pada 1979 Chappy pernah diberi tugas di PT Mandala Airlines. Jabatan Komandan disandangnya sejak 1985, ketika ia dipercaya menjadi Komandan Flight Operasi "B" SKAD 31. Pada 1989 ia dipercaya menjadi Komandan SKADUD 31 La-pangan Udara Halim Perdana Kusuma.
Ryaas Rasyid, 55 tahun, Menteri dalam Negeri Sosok Ryaas identik dengan otonomi daerah. Dialah arsitek Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999, saat dirinya menjabat Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD). Melalui undang-undang itu kebijakan yang bersifat sentralistis dicabutnya. Tiga paket undang-undang politik (susunan dan kedudukan lembaga tinggi negara, pemilu, dan partai politik) juga lahir dari tangannya.
Pengalaman di pemerintahan dilalui benar-benar dari bawah. Setamat dari Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), 1972, pria kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, tahun 1949 ini diberi tugas menjadi lurah di Kota Anging Mamiri, Ujung Pandang. Ketika itu usianya baru 23 tahun.
Nyaris seluruh perjalanan hidupnya diabdikan di pemerintahan. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini dipercaya menjabat Menteri Negara Otonomi Daerah. Baru satu tahun menjabat, kemudian ia dirotasi ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN).
Lelaki lulusan University of Hawaii dan Northern Illinois University, AS, ini dikenal suka ceplas-ceplos dalam berbicara. Saat dikabari dia dipilih Tempo menjadi menteri, ia terbahak. "Anda telepon kayak orang-orang Cikeas saja," ujarnya. Ia mengaku tak mau berandai-andai. "Nanti saya dikira mau (jabatan itu)," kata mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan itu.
Siti Musdah Mulia, 46 tahun, Menteri Agama Namanya mencuat kala ia menjadi ketua tim penyusun counter-legal draft Kompilasi Hukum Islam. Dialah Siti Musdah Mulia, saat ini staf ahli Menteri Agama. Ia juga menjadi dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Draf yang disusunnya mengundang banyak kontroversi, bahkan ada yang mengatakan ia murtad. Tak terbayangkan sebelumnya: Musdah dan kawan-kawan mengusulkan agar poligami dilarang dan perempuan boleh menceraikan suaminya.
Semasa mudanya, Musadah pernah menjadi Ketua Fatayyat NU?organisasi onderbouw Nahdlatul Ulama. Ketika diminta tanggapannya mengenai pencalonannya itu, ia mengatakan, "Untuk masa sekarang, rasanya tidak mungkin." Saat ini ada pandangan pemimpin di bidang agama harus laki-laki. Jadi, "Impossible, impossible," katanya terkekeh.
Mas Achmad Santosa, 48 tahun, Menteri Lingkungan Hidup Nama Mas Achmad Santosa tak pernah lepas dari Lingkungan Hidup. Pria kelahiran Jakarta tahun 1956 ini sangat populer karena komentarnya atas isu lingkungan hidup sangat tajam.
Ota, begitu ia biasa dipanggil, ia masuk di Fakultas Hukum UI pada 1975. Selanjutnya ia meneruskan pendidikan di Osgoode Hall Law School, Toronto, Kanada. Disertasinya ia selesaikan di Universitas Leiden, Belanda.
Beberapa posisi yang pernah dijabatnya antara lain anggota tim ahli hukum Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Anggota Komisi Hukum Lingkungan di International for Conservation Network and Natural Resources, 2001. Pada 1990-1996, ia menjabat Ketua Presidium Nasional Wahana Lingkungan Hidup. Jabatan Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (Pusat Hukum Lingkungan Indonesia/ICEL) ia pegang selama delapan tahun (1993-2001).
Kepada Tempo dia mengaku tak membayangkan menjadi menteri. "Selama ini saya tak punya akses ke arah sana," ujarnya. Ota malah mengusulkan Ismid Hadad (aktivis Yayasan Kehati) untuk jabatan itu. "Dia itu father of activists," katanya.
Fajar W.H., Agung Rulianto, Sita Planasari Aquadin, Poernomo G.R. (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo