Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan terakhir adalah hari-hari yang bersejarah bagi Hidayat Nur Wahid. Lewat proses dramatis, ia memenangi pemilihan pimpinan MPR 2004-2009. Hidayat mengalahkan pesaingnya, Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto, dengan selisih dua suara.
Lalu, tibalah hari-hari sarat drama. Ia menolak dua tradisi politik kita: jabatan rangkap pimpinan partai-pucuk legislatif, dan fasilitas khusus pimpinan MPR. Ia menampik jatah mobil dinas Volvo dan penginapan di kamar hotel kelas royal suite room. "Kami justru ingin agar ada penghematan anggaran. Apalagi negara sedang mengalami kesulitan seperti ini," ujarnya.
Sehari-hari, Hidayat menumpang mobil Mitsubishi Lancer warna perak keluaran tahun 2000. Jumat petang lalu, Rommy Fibri dari Tempo mewawancarai dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Asy-Syafi'iyah, dan Universitas Muhammadiyah, Jakarta, itu. Wawancara berlangsung di mobilnya yang meluncur pulang dari Gedung MPR/DPR Senayan ke rumahnya di bilangan Jatimakmur, Pondok Gede, Bekasi. Berikut petikannya.
Kenapa Anda menolak mobil dinas Volvo?
Awalnya, berkembang isu dan fitnah bahwa MPR memperpanjang sidang yang bertele-tele hanya untuk menambah fasilitas menginap di hotel, meraup uang saku, dan menghabiskan anggaran negara. Dengan sinis mereka katakan bahwa ujung semua ini hanya rebutan Volvo.
Nah, saya jawab secara konkret dengan menolak Volvo dan kamar hotel mewah. Tujuannya, agar MPR dapat meraih kepercayaan dari rakyat. Kita harus punya komitmen untuk berpihak pada rakyat. Kalau MPR sudah coreng-moreng mukanya dan tidak dipercaya publik, bagaimana kita bisa melakukan pengawasan politik secara efektif?
Pemerintah sudah mengatakan tidak akan membeli mobil baru untuk pejabat negara. Bagaimana jika mobil Volvo lama yang akan diberikan kepada pimpinan MPR?
Saya tetap akan menolak. Masalahnya bukan lama atau baru, melainkan simbolisasi dan persepsi masyarakat tentang Volvo. Saya juga tidak pernah mengatakan kepada pemerintah jangan yang bekas atau harus beli yang baru. Jangan beri kami sesuatu yang justru akan membebani kami dalam bekerja.
Lantas, mobil Volvo yang lama akan ditaruh di mana?
Ada cara yang lebih elegan, tarik saja mobil Volvo itu, kemudian dilelang secara transparan kepada publik. Hasilnya dibelikan mobil yang lebih murah. Terserah mau Kijang atau merek apa saja, yang penting kami tidak menginginkan kemewahan merek Volvo merajalela. Juga kami tidak ingin membebani anggaran negara.
Tapi, bukankah memakai mobil lama sama saja dengan menghemat keuangan negara?
Ini terkait dengan persepsi publik atas kemewahan Volvo. Kalau nanti saya terima yang bekas atau lama, masyarakat tetap saja akan berpikiran itu mobil mewah. Dan saya tidak mau rakyat berpersepsi demikian.
Anda kemudian juga menolak kamar hotel royal suite yang biasa disediakan bagi pimpinan MPR?
Kita tolak karena pemborosan. Menginap di hotel papan atas seperti Hotel Mulia memang tidak bisa kita hindari karena jaraknya yang dekat (dengan gedung DPR). Tapi standar harga kamarnya harus diturunkan. Kalau bisa, yang lebih murah. Hotel dan Volvo kami tolak agar tidak dituduh menghambur-hamburkan uang negara.
Tapi sepertinya langkah MPR tidak diikuti lembaga negara lainnya. Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih menggunakan fasilitas kamar hotel yang paling mahal.
La Ode Ida dan Irman Gusman sudah menyatakan dukungannya kepada saya. Yang penting, tinggal menunggu waktu pimpinan DPD akan mengikuti langkah serupa.
Setidaknya Ketua DPR Agung Laksono tidak secara tegas mendukung Anda?
Kita melihat Ketua DPR Agung Laksono sudah menangkap esensinya. Katanya, kalau sekadar menolak, Volvo tidak akan efektif karena terkait dengan masalah mikro. Tapi, sebagai sebuah terobosan yang terkait dengan masalah moral, beliau mengatakan langkah ini pantas didukung.
Apa, sih, sebenarnya tujuan Anda?
Sedari mula, kita ingin memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa MPR sekarang sudah berbeda dari apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Kami tidak ingin bergelimang dengan fasilitas, kemewahan, dan penghamburan duit negara.
Langkah apa lagi yang sedang Anda perjuangkan?
Kami menolak tunjangan-tunjangan yang tidak perlu, termasuk pengelolaan gedung di sekitar Senayan yang selama ini dikelola sekretariat MPR/DPR. Masalahnya, selama ini pemeliharaannya sangat berliku-liku. Padahal ini bagian dari duit negara yang harus dipertanggungjawabkan pada rakyat.
Apa fasilitas lain yang juga Anda tolak?
Ketika ada urusan pribadi di Yogyakarta, ada staf sekretariat yang menawari tiket dan segala akomodasinya. Dia mengatakan, pimpinan MPR punya jatah perjalanan dinas. Saya tolak. Ini urusan pribadi, tidak layak dibiayai pakai duit negara.
Bagaimana dengan pemborosan di rumah-rumah dinas anggota DPR yang tiap pergantian anggota parlemen harus direnovasi?
Saya amat prihatin dengan masalah itu. Tapi mungkin bukan karena si wakil rakyat yang mencuri atribut-atribut di rumah dinas itu. Masa, sih, wakil rakyat mencuri kloset, engsel pintu, dan segala macam. Saya pernah tanya ke salah seorang anggota DPR yang baru saja keluar dari rumah dinas. Dia mengaku hanya membawa pulang barang-barang pribadinya. Tapi toh barang-barang mewah di rumah dinasnya hilang juga.
Di zaman Amien Rais, MPR sangat vokal dan berkuasa. Bagaimana konsep MPR di masa Anda?
Sama dengan lembaga negara yang lain. Tapi MPR kini punya ciri khas. Misalnya, ada unsur anggota DPR dan DPD yang semuanya dipilih rakyat. Kemudian, dalam hubungannya dengan lembaga eksekutif, hanya di hadapan MPR seorang presiden dilantik dan membacakan sumpahnya. Juga, MPR yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengukuhkan wakil presiden menjadi presiden, jika terjadi apa-apa dengan presiden.
Jika presiden dan wakil presiden meninggal, tampuk kepemimpinan nasional berada di tangan MPR. Yang akan dikukuhkan adalah pemenang pertama dan kedua pemilu. Jadi, bukan ke tangan KPU atau yang lain-lain. Dan yang paling penting, kewenangan mengubah undang-undang ada di tangan MPR.
Dengan konsep ini, tetap saja MPR sangat strategis. Lembaga ini pula yang berkemampuan membuat harmoni di antara sesama lembaga tinggi negara.
Harmoni, kata Anda. Bukankah itu membuat MPR seperti "tukang stempel" di masa Soeharto?
Bukan begitu. Kami harus menjaga agar masing-masing lembaga berjalan sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan undang-undang. Saya sudah mencoba dari diri sendiri. Misalnya, saya menolak berkomentar tentang segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan MPR. Pernah ada yang bertanya soal penyusunan kabinet SBY. Saya tidak berwenang. Bahkan pertanyaan soal PKS saja tidak saya jawab.
Banyak yang menilai, akan muncul konflik kekuasaan antara MPR, DPR, dan presiden, karena sama-sama dipilih oleh rakyat....
Saya tidak melihat begitu. Rakyat kecil saja bisa berdemokrasi. Kenapa para pimpinannya tidak? Tengok saja di kampung-kampung, ketika kampanye, mereka punya pilihan partai politik sendiri-sendiri. Tapi, ketika perhelatan usai, seluruh penduduk kompak lagi. Tidak ada rasa permusuhan dan pertikaian gara-gara berbeda partai. Saya yakin tidak akan terjadi disharmoni antara MPR, DPR, dan lembaga kepresidenan yang kesemuanya dipilih rakyat. Jangan sampai kearifan pemimpin kita lebih rendah dari kearifan rakyat.
Bisakah memimpin sebuah lembaga tertinggi negara yang sangat berkuasa secara politik hanya melandaskan diri pada kearifan?
Ujung dari kearifan adalah komitmen. Salah satu usaha yang kami lakukan adalah menolak mobil dinas Volvo, hotel, dan fasilitas lainnya.
Posisi sebagai Ketua MPR dinilai membuat mandul daya kritis yang selama ini dilakukan MPR terhadap Presiden Yudhoyono?
Meski sama-sama di Koalisi Kerakyatan, semua orang tahu bahwa kritik akan dilakukan di DPR, bukan MPR. Kami tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk mengkritik presiden. Kalau sampai DPR mengeluarkan impeachment, dan disampaikan ke Mahkamah Konstitusi, pasti juga akan sampai ke MPR. Kalau sudah begitu, saya sebagai Ketua MPR tidak mungkin menolak.
Jangan sampai MPR menjadi sangat berkuasa seperti dulu. Tidak selayaknya MPR punya inisiatif melakukan impeachment. MPR hanyalah benteng terakhir. Yang penting, presiden harus menjalankan pekerjaannya sesuai dengan konstitusi, agar tidak terkena impeachment.
Dalam konteks Koalisi Kerakyatan, Anda justru menjadi peredam politik bagi Presiden Yudhoyono jika DPR melakukan kritik keras?
Tidak begitu. Ketua MPR tidak mempunyai kewenangan istimewa untuk mengatakan "jangan" jika DPR dan DPD sudah mengatakan "ya". Tapi tentu saja impeachment jangan sampai dilakukan dengan cara-cara yang inkonstitusional.
Anda bisa menjamin tetap berani mengkritik Presiden Yudhoyono kendati berada dalam Koalisi Kerakyatan?
Kami sudah menyampaikan hal itu kepada Pak SBY, dan beliau sangat memahami prinsip kami. Walau begitu, saya tidak akan keluar dari khitah PKS, yakni mendukung siapa pun yang benar entah itu muslim atau bukan. Sebaliknya, kami tidak akan mendukung siapa pun jika salah.
Apakah Anda sepakat dengan sidang tahunan seperti kebiasaan sebelumnya?
Itu hanya ada pada periode kemarin. Ke depan, kami tidak harus bersidang setahun sekali. Undang-undang hanya menyebutkan, MPR bersidang minimal sekali dalam lima tahun. Soal ini akan kita tentukan pada rapat paripurna MPR bulan depan.
Jika Anda memilih mundur dari posisi Presiden PKS, bagaimana Anda akan merangkai informasi dari arus bawah?
Fakta membuktikan bahwa partai merupakan salah satu faktor yang bisa menyambungkan antara tokoh dan rakyat. Tapi kejadian belakangan sangat berbeda. Lihat saja SBY, rakyat jauh lebih mengenal dia daripada partainya. Jangan membayangkan hanya partai yang menjadi pintu masuk kita dengan rakyat. Ketika sistem berpolitik mulai mengarah pada pemilihan secara langsung, ketokohan menjadi sangat penting.
Ini jangan dipahami sebagai semangat untuk melemahkan partai. Yang penting, jangan sampai melakukan dikotomi antara partai dan rakyat. Kalau figur baik dan dicintai rakyat, tanpa partai pun dia akan didatangi rakyat. Begitu pula, jika partainya bagus tapi tokohnya tidak disukai rakyat, rakyat tidak akan datang.
Apa pesan politik yang penting sehingga Anda keluar dari kepengurusan partai?
Agar terjadi kaderisasi di dalam partai. Jika seseorang sudah menjadi pejabat publik, sudah selayaknya tidak merangkap jabatan di partai. Kalau ini dilakukan, pasti menghambat kaderisasi. Buktinya, begitu saya lepas jabatan Presiden PKS, muncul tokoh baru menggantikan. Ini artinya kaderisasi berjalan lancar. Salah satu kritik kita pada Orde Baru, Soeharto mematikan banyak kader bangsa karena dia tidak mau turun. Yang lebih penting, agar tidak terjadi konflik kepentingan. Rakyat perlu keseriusan wakilnya untuk menjalankan negeri ini. Kalau harus rangkap jabatan, padahal badannya cuma satu, mana mungkin bisa optimal bekerja.
Dari memimpin sebuah partai yang homogen, sekarang Anda memimpin lembaga yang sangat heterogen. Apakah Anda akan menerapkan pola yang berbeda?
Sukses mengelola PKS akan saya jadikan contoh mengelola. Yang penting, bagaimana berkomunikasi secara efektif dengan semua pihak. Dengan cara begitu, akan membuat semua pihak percaya pada komitmen kita.
Bukankah, dengan menjadi Ketua MPR, Anda seperti masuk "kotak", padahal Anda bisa melakukan banyak hal jika di luar posisi itu?
Kalau saya Ketua DPR, justru makin membuktikan isu bahwa SBY tak ingin dikritisi karena kami berasal dari kelompok yang sama. Kalau masuk di lembaga kepresidenan, misalnya penasihat presiden, justru tidak bisa tampil ke publik. Bahkan akan terkena dampak negatif jika presidennya berbuat aneh-aneh. Justru di sini (sebagai Ketua MPR) saya bisa belajar mengelola komunitas yang heterogen.
Anda yakin langkah pribadi semacam itu bisa berefek secara nasional?
Saya yakin. Buktinya, dengan contoh positif dan bersih korupsi yang dilakukan PKS, kita mendapat dukungan dari rakyat. Insya Allah, dengan pendekatan-pendekatan individu yang baik seperti itu, masyarakat bisa terbebas dari korupsi sistemik.
Hidayat Nur Wahid
Tempat/tanggal lahir: Klaten, Jawa Tengah, 8 April 1960 Pendidikan:
- Pondok Pesantren Walisongo, Ponorogo (1973)
- Pondok Pesan-tren Gontor, Ponorogo (1978)
- Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1979)
- S2-S3: Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (1983-1987)
- Dosen Pascasarjana Universitas Muhammad-iyah, Jakarta
- Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Dosen Pascasarjana Universitas Asy-Syafi'iyah, Jakarta
- Ketua Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam Yayasan Al-Haramain, Jakarta
- Ketua PII Arab Saudi (1983-1985)
- Presiden Partai Keadilan Sejahtera (2000-2004)
- Ketua Umum MPR RI (2004-2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo