Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASYIM Muzadi, 60 tahun, terpilih kembali. Ia ditetapkan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2004-2009 dalam Muktamar NU Ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah, Kamis pekan lalu. Bersaing dengan tokoh muda NU, Masdar Farid Mas?udi yang meraih 99 suara, Hasyim memenangi dukungan besar warga nahdliyin dengan menangguk 346 suara. Ia mendampingi K.H. Sahal Mahfudz, 67 tahun, yang juga dipercaya kembali menjabat rais am. Di rumahnya yang terletak di dalam area Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, Hasyim menerima wartawan Tempo, Abdi Purnomo. Menggunakan kemeja lengan pendek cokelat dan sarung krem, Hasyim tampak santai berbaring di ruang tamunya. Berikut petikan wawancara itu.
Anda terpilih untuk kedua kalinya. Komentar Anda?
Saya bersyukur atas suksesnya muktamar, sekalipun melalui liku-liku yang melelahkan. Pertanggungjawaban saya diterima secara aklamasi. Saya juga bersyukur atas terpilihnya K.H. Sahal Mahfudz sebagai Rais Am Syuriah PBNU. Figur Kiai Sahal dikenal luas. Ia juga ahli fikih sekaligus pendidik karena mempunyai pesantren. Ia juga figur panutan, baik di bidang kepribadian maupun perilaku, serta ucapannya. Ucapan seorang rais am untuk organisasi adalah aturan dan untuk agama adalah fatwa. Karenanya, tak mungkin dipegang oleh orang yang tak konsisten dan pendapatnya berubah-ubah. Rais am merupakan rujukan terakhir semua masalah. Itu jabatan semi-sakral. Karenanya, harus ditempati orang yang bersih. Sekalipun dipilih langsung, saya tetap di bawah kendali rais am. Itu sebabnya, ketika hendak dipilih, saya menandatangani kontrak jam?iyyah. Saya tak dibolehkan, langsung atau tidak langsung, melakukan kegiatan politik praktis dan politik kekuasaan selama memimpin NU. Sehingga, tak mungkin lagi saya ditarik-tarik ke kiri dan ke kanan untuk lima tahun ke depan.
Mengapa tarik-menarik dua kubu (pro-Gus Dur dan Hasyim?Red.) begitu kencang di muktamar kemarin?
Setiap muktamar NU selalu begitu. Setahu saya sejak 1984. Itu terjadi karena faktor besarnya NU dan banyaknya kepentingan. Di Situbondo, 1984, terjadi antara Gus Dur dan Pak Idham Chalid. Yang aman itu hanya waktu di Lirboyo karena Gus Dur waktu itu menjadi presiden. Nah, sekarang ini sebenarnya bukan hanya antara Gus Dur dan saya, tapi antara Gus Dur dan bukan Gus Dur. Mudah-mudahan tidak berlanjut setelah muktamar berakhir. Mudah-mudahan itu proses demokrasi, bukan merupakan proses kristalisasi.
Gus Dur mau membentuk NU tandingan?
Jika tetap dilakukan, yang rugi Gus Dur sendiri karena areal yang ditempatinya menyempit. Kalau NU-nya sih tidak akan apa-apa. PKB juga rugi karena, sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menempatkan partai itu di tempat terbatas sehingga tidak cair di lingkungan NU secara luas, apalagi di luar NU. Pengalaman tandingan itu tak pernah awet. Dulu, waktu Abu Hassan membuat NU tandingan, saya berada dalam posisi membela Gus Dur habis-habisan. Karena ada sengketa di pengadilan, saya, Kiai Sahal, dan Kiai Ilyas Ruchiyat itu dipanggil polisi bolak-balik, sampai bosen. Toh, akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Gerakan kultur tidak dapat ditandingi dan NU tidak sekadar organisasi, tapi sudah sikap keagamaan. Ketika dua sikap itu berdampingan, pasti tidak akan ada yang sepadan.
Bagaimana hubungan NU-Partai Kebangkitan Bangsa (yang dilahirkan NU) mendatang ini?
Secara institusi, kita menjaga jarak. Secara personal, NU tak bisa menghalangi warganya untuk seneng pada PKB atau yang lainnya. Bagi PKB, sebenarnya caranya gampang saja, para tokohnya berbuatlah sesimpatik mungkin kepada NU. Kalau ini dilakukan, selesai. Kalau diwacanakan dan dipolemikkan, malah tidak akan selesai. Tak usah bertele-tele. Lho, belakangan malah mau membentuk NU, itu gimana ceritanya?
Siapa yang akan dirugikan?
Yang seperti itu sebenarnya merugikan diri sendiri. Akhirnya PKB berada dalam alienasi. Mestinya homogen saja secara personal. Toh yang dipisahkan itu hanya pengurus harian. Saling membantu tetap jalan. Kuncinya, antara PKB dan NU bukan formulasi, tapi relasi. Dan ini tergantung bagaimana PKB memperbaiki behavior-nya. Kalau PKB merasa dilahirkan NU, lalu apa yang telah diperbuat kepada NU? Kalau partai itu keras kepada NU, sering mencaci, ya orang NU semakin tak mau mencoblos. Mereka yang harus proaktif mendekati NU.
Pada pemilihan presiden lalu, Anda tak patuh pada khitah dengan maju sebagai kandidat wakil presiden. Bagaimana sekarang?
Sekarang saya sudah meneken kontrak jam?iyyah dan saya tidak ragu-ragu. Dulu saya nyalon karena pencalonan itu dimungkinkan oleh aturan NU. Sekarang ini sudah tidak mungkin. Mencalonkan diri itu kebutuhan, tapi jabatan di NU kan jabatan hakikat. Saya dituduh mempolitisasi NU dan yang menuduh juga orang politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo