Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH semestinya tak tinggal diam terhadap temuan yang menyebutkan sejumlah pejabat negara tercantum dalam Panama Papers. Presiden Joko Widodo tak cukup hanya memanggil dan mendengarkan penjelasan pejabat yang memiliki perusahaan di negara-negara suaka pajak-seperti terungkap dalam bocoran dokumen firma Mossack Fonseca di Panama. Presiden harus mengambil tindakan yang lebih drastis: membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki motif sesungguhnya di balik pembukaan perusahaan di kawasan tax haven itu. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme jelas mengamanatkan hal itu.
Bocoran dokumen itu menaksir tak kurang dari Rp 2.300 triliun uang orang Indonesia ditanam di sejumlah yurisdiksi bebas pajak. Data di semua negara berkembang menyebutkan lebih dari satu triliun dolar uang ilegal disedot keluar setiap tahun. Ini jauh lebih besar daripada seluruh investasi luar negeri yang masuk ke negara-negara itu setiap tahun. Alangkah memalukannya jika pejabat publik yang semestinya mencegah aliran dana itu keluar justru menjadi salah satu aktor di dalamnya.
Tindakan mereka patut diduga sebagai upaya melawan hukum. Paling tidak, mereka punya niat yang patut dipertanyakan. Sebagai penyelenggara negara, mereka jelas memiliki kewajiban melaporkan hartanya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi tak satu pun pejabat yang menjadi klien Mossack Fonseca itu melaporkan perusahaan cangkang yang mereka dirikan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, menurut Panama Papers, merupakan Direktur Mayfair International Ltd yang terdaftar di Republik Seychelles pada 2006. Selain Luhut, dalam kasus dan berkas yang berbeda ada nama mantan anggota staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Heru Lelono, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Airlangga Hartarto dan Johnny G. Plate.
Nama Luhut terungkap dalam empat berkas. Setiap file memuat akta pendirian perusahaan cangkang Mayfair, penunjukan Luhut sebagai Direktur Mayfair, serta saham Mayfair yang dimiliki PT Buana Inti Energi dan PT Persada Inti Energi. Buana merupakan salah satu anak perusahaan Toba Sejahtra milik Luhut. Direktur Utama Buana pernah dijabat putra Luhut.
Luhut memang bukan pejabat negara saat namanya didaftarkan sebagai Direktur Mayfair. Tapi, ketika diangkat sebagai Kepala Staf Kepresidenan dan kemudian Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, ia semestinya melaporkan posisinya di Mayfair kepada KPK. Apalagi kemudian ditemukan fakta bahwa Persada merupakan anggota konsorsium yang memenangi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2 Bengkayang di Kalimantan Barat, yang bernilai lebih dari setengah triliun rupiah.
Pejabat lain yang tersangkut Panama Papers adalah Harry Azhar Azis. Dalam laporan harta kekayaan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu, tak tercantum catatan pendirian perusahaan Sheng Yue International Limited. Sheng Yue adalah perusahaan cangkang yang didaftarkan Harry di British Virgin Islands pada 2010. Tindakan ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, yang mewajibkan pejabat melaporkan harta kekayaan sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Tidak hanya tak melaporkannya ke KPK, Harry pada awalnya menyangkal temuan hasil investigasi 370 jurnalis dari 76 negara-termasuk Tempo-itu. Jika pemenuhan standar umum soal keterbukaan harta saja tidak dilakukan oleh pejabat, bagaimana mungkin ia bisa dipercaya memimpin lembaga tinggi negara yang mengedepankan prinsip transparansi?
Harus diakui, perangkat hukum kita masih sangat longgar mengatur pejabat publik yang berbisnis. Di Thailand dan Filipina, soal ini bahkan diatur dalam konstitusi. Kita memang pernah punya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta. Tapi peraturan ini sudah tak relevan karena sekadar melarang pejabat negara secara langsung memiliki atau memimpin perusahaan swasta-sama sekali tak melarang mereka memiliki saham perusahaan.
Pemerintah dan DPR jelas perlu bersegera merancang undang-undang yang mengatur pejabat negara berbisnis. Undang-undang ini amat penting untuk menghadang "perselingkuhan bisnis" para pejabat yang nyata-nyata telah menggerus kepercayaan publik.
Presiden hendaknya tidak memaklumi apologi pejabat yang tercantum dalam Panama Papers. Selayaknya ia tak pula memandang kasus ini sekadar kegaduhan sesaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo