Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
SEBUAH konten di Instagram [arsip] memuat pidato Dharma Pongrekun tentang Pandemic Treaty (Perjanjian Pandemi). Menurutnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sedang berusaha mengajak 194 negara untuk bergabung dalam perjanjian tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pengunggah konten menulis bahwa potensi “plandemic” sangat besar akan terjadi lagi. Negara yang bergabung dengan Pandemic Treaty akan memberikan sanksi pada warga yang menolak menerima vaksinasi dan memakai masker dengan denda sebesar Rp 500 Juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Benarkah Pandemic Treaty mendenda Rp500 juta bagi warga yang menolak vaksin?
PEMERIKSAAN FAKTA
Tempo memverifikasi klaim tersebut dengan bantuan Yandex Image Reverse dan wawancara Epidemiologi Indonesia dari Griffith University Australia, Dicky Budiman.
Potongan video di atas berisi saat Dharma Pongrekun berpidato pada acara silaturahmi Alim Ulama Se-DKI Jakarta. Saat itu Dharma menjadi bakal calon Gubernur DKI Jakarta. Video versi lebih Panjang pernah diunggah di akun YouTube Suardin Laila pada 29 Maret 2024.
Dalam pidatonya, Dharma menyampaikan alasan maju sebagai calon gubernur DKI 2024-2029 karena akan diberlakukannya WHO Pandemic Treaty. Program asing tersebut berpotensi menghilangkan kedaulatan Indonesia.
Menurut Epidemiolog Dicky Budiman, Pandemic Treaty adalah sebuah instrumen hukum internasional yang saat ini sedang dirancang oleh negara-negara anggota WHO. Tujuannya untuk menciptakan sistem global yang lebih adil, tangguh dan siap dalam menghadapi pandemi masa depan.
“Mengapa Pandemic Treaty dibentuk? Karena pengalaman pahit saat pandemi COVID-19, dimana dunia termasuk Indonesia sadar bahwa sistem kesiapsiagaan pandemi global dan nasional ini masih sangat rapuh. Kemudian juga ada ketimpangan akses terhadap vaksin dan alat Kesehatan,” kata Dicky kepada Tempo, Kamis, 10 April 2025.
Perjanjian tersebut memiliki dampak positif sekaligus tantangan. Dampak positif akan membuka akses yang lebih adil terhadap vaksin, alat kesehatan, dukungan finansial, teknologi, peningkatan kapasitas SDM kesehatan, termasuk pelatihan tenaga kesehatan, dan sistem perekrutan SDM saat darurat di masa pandemi.
Sedangkan tantangannya, menurut Dicky, Indonesia harus menyiapkan regulasi nasional yang kompatibel dengan isi dari Pandemic Treaty. Kedua, dibutuhkan komitmen politik dan anggaran yang kuat untuk memperkuat sistem kesehatan nasional. Ketiga, perlu strategi komunikasi risiko untuk menghadapi potensi resistensi di masyarakat terhadap pandemi.
Terkait klaim denda Rp500 juta bagi masyarakat yang menolak vaksin, Dicky menegaskan bahwa klaim tersebut tidak benar. “Itu informasi keliru dan konspirasi yang berkembang yang perlu diluruskan,” kata Dicky yang dalam 20 terakhir terlibat dalam penanganan kasus-kasus flu burung. Dicky juga membantah bahwa WHO akan memaksa vaksinasi ke seluruh warga dunia.
Dilansir dari laman Kementerian Kesehatan, delegasi untuk perundingan Pandemic Treaty, Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D, mengatakan, pembahasan Pandemic Treaty sedang berlangsung antara negara anggota WHO.
Pasal 24 ayat 2 rancangan Pandemic Treaty mengatur, WHO tidak dapat mengarahkan, memerintahkan, mengubah atau menentukan kebijakan nasional domestik saat terjadi krisis kesehatan. Rancangan perjanjian pandemi ini berlandaskan pada prinsip penghormatan penuh terhadap martabat, hak asasi manusia, dan kebebasan mendasar setiap orang.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Pandemic Treaty mendenda Rp500 juta bagi warga yang menolak vaksin adalah klaim keliru.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]