Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cekfakta

Keliru: Klaim bahwa PKI Tidak Ingin RUU TNI Disahkan

Sebuah video berisi pernyataan dari mantan anggota militer bernama Ruslan Buton mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI)

21 Maret 2025 | 21.54 WIB

cek-fakta
Keliru: Klaim bahwa PKI Tidak Ingin RUU TNI Disahkan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH video berisi pernyataan dari mantan anggota militer bernama Ruslan Buton mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), beredar di WhatsApp, Instagram, dan Facebook.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam video berdurasi empat menit tersebut, Ruslan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia tidak ingin RUU TNI disahkan sebab beleid itu akan memberikan kewenangan militer menyelamatkan negara. “Yang benci tentara hanyalah PKI. Waspada, PKI tidak ingin RUU TNI disahkan, “ demikian narasi dari Ruslan Buton. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tempo menerima permintaan pembaca untuk memeriksa kebenaran narasi tersebut. Benarkah klaim-klaim dalam video itu, termasuk yang mengatakan PKI tidak ingin RUU TNI disahkan?

PEMERIKSAAN FAKTA

Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa PKI sudah lama dibubarkan jauh sebelum lahirnya UU TNI. Sehingga menyamakan mereka yang menolak RUU TNI sebagai PKI menjadi tidak relevan.

Siapa Ruslan Buton yang berbicara dalam video itu? Dilansir Detik.com, Ruslan Buton adalah mantan tentara yang pernah membunuh seorang petani bernama La Gode di Ternate, Maluku Utara. Kasus tersebut membuatnya dipenjara tahun 2017 lalu dipecat dari TNI. 

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, PKI sejatinya telah dibubarkan pada 12 Maret 1966. Sejak saat itu, ideologi komunis dilarang di Indonesia. Pada 1966, Indonesia belum memiliki UU TNI karena saat itu masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). 

“Zaman PKI belum ada UU TNI. Sekarang juga tidak ada PKI,” kata Zainal melalui pesan WhatsApp, Jumat, 21 Maret 2025.

ABRI adalah nama sebelum TNI yang digunakan sejak 1962. Saat itu, pemerintah Orde Lama menyatukan angkatan perang dengan kepolisian negara agar lebih efektif dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari kelompok politik tertentu.

Gejolak politik di masa itu, membuat PKI dibubarkan melalui Keputusan Presiden No. 1/3/1966. Pemerintahan Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto dari kalangan militer yang mempertahankan ABRI hingga akhir masa kekuasaannya. Di masa Orde Baru tersebut, ABRI memiliki dwifungsi di mana ABRI menjalankan perannya sebagai kekuatan pertahanan di Indonesia sekaligus sebagai pengatur negara.

Dwifungsi ABRI kemudian dilegalkan oleh Soeharto pada 1982 melalui Undang-undang nomor 20 tahun 1982. Berangkat dari gagasan tersebut ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Orde Baru. Sejak era 1970-an, sudah banyak perwira aktif ABRI yang menduduki kursi di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi sosial dan kehidupan politik di Indonesia.

Pada 1998, setelah Orde Baru dan Soeharto runtuh, berpengaruh terhadap keberadaan ABRI. Gerakan Reformasi menuntut pencabutan dwifungsi ABRI yang kemudian berhasil terjadi pada 1 April 1999. Saat itu, TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI. DPR dan Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berlaku pada 16 Oktober 2004. 

Masyarakat yang menolak perubahan UU TNI bukan PKI, melainkan berasal dari lembaga swadaya masyarakat, akademisi, mahasiswa, dan selebritis.  Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, Made Supriatma, mengatakan revisi UU TNI secara jelas dapat mengembalikan pemerintahan Indonesia pada sifat militeristik dan otoriter seperti pada zaman Orde Baru. “Masyarakat trauma (pada dwifungsi ABRI),”  kata Made melalui telepon, 21 Maret 2025.

TNI, kata dia, seharusnya berfokus pada pertahanan dengan menjadi tentara yang profesional dan tidak memunculkan konflik kepentingan di ranah sipil. “Jangan bertani, berbisnis, kami rakyat akan mendukung mereka memberikan kesejahteraan,” kata Made.

Poin-poin penolakan

Terdapat sejumlah poin penolakan masyarakat sipil terhadap RUU TNI yang disahkan Kamis, 20 Maret 2025. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) merinci, pertama penempatan anggota TNI aktif di jabatan sipil tersebut akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.

Kedua, UU TNI itu bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). 

Ketiga, dampak impunitas yang dimiliki anggota TNI yang akan berpengaruh terhadap tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi.

Keempat, pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil dapat mengancam supremasi sipil, membuka ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara, hingga menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang. Kelima, kebebasan akademik juga akan terancam.

Segera setelah disahkan, hasil revisi UU TNI diprotes kalangan mahasiswa dan masyarakat umum dengan berdemonstrasi di berbagai daerah, dengan jumlah massa aksi puluhan sampai ratusan di masing-masing titik, pada Kamis 20 Maret 2025, sebagaimana dilaporkan BBC.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi Ruslan Buton yang mengatakan PKI tidak ingin RUU TNI disahkan dan klaim-klaim lainnya dalam video yang beredar adalah keliru.

PKI sesungguhnya telah dibubarkan dan ideologinya dilarang tahun 1966. Saat itu belum ada TNI dan UU TNI.  

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected] 

Artika Rachmi Farmita

Artika Rachmi Farmita

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus