Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STAF Khusus Menteri Pertahanan (Menhan) di bidang Komunikasi Sosial dan Publik, Deddy Corbuzier, mengunggah video pernyataan terkait aksi aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang memprotes pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di Hotel Fairmont, Sabtu, 15 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deddy menyebut bahwa tindakan aktivis tersebut bukan bagian dari kritik melainkan tindakan melanggar hukum. “.....namun yang terjadi kemarin bukanlah sebuah bentuk kritik atau masukan yang membangun, tapi merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum yang mengancam sebuah proses demokrasi,” kata dia dalam video yang diunggah di Instagram DC_Kemhan [arsip], 16 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya, Deddy mengatakan bahwa rapat revisi UU TNI tersebut tidak membahas Dwifungsi TNI. “Bahkan Bapak Menteri Pertahanan Pak Sjafrie Sjamsoeddin itu sudah berkali-kali menegaskan kalau ditanya juga bahwa dwifungsi TNI itu sudah dikubur sejak dulu, arwahnya sudah tidak ada, bahkan jasadnya pun sudah tidak ada.”
Artikel ini akan memverifikasi dua hal mengenai pernyataan Deddy tersebut:
1) Benarkah tindakan aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil yang memprotes rapat Komisi 1 dan Pemerintah di Hotel Fairmont melanggar hukum dan mengancam demokrasi? 2) Benarkah rapat revisi UU TNI tidak membahas Dwifungsi TNI yang sudah lama dikubur?
PEMERIKSAAN FAKTA
Tim Cek Fakta Tempo memverifikasi dua klaim tersebut dengan memeriksa ketentuan perundang-undangan dan mewawancarai sejumlah pakar hukum dan politik di Indonesia.
Klaim 1: Tindakan protes aktivis melanggar hukum dan mengancam demokrasi
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung, Profesor Susi Dwi Harijanti, mengatakan, tindakan aktivis yang memprotes rapat di Hotel Fairmont karena ada sejumlah prosedur yang tidak dipenuhi oleh Pemerintah dan DPR RI saat membahas RUU TNI. Dengan demikian, kata dia, tindakan protes tersebut harus dilihat sebagai upaya untuk memperjuangkan hak prosedural atas pembentukan undang-undang yang seharusnya demokratis.
Menurut Susi, prosedur yang tidak dipenuhi dalam revisi UU TNI antara lain, pertama, tidak adanya partisipasi masyarakat. Padahal, mandat untuk menjamin partisipasi masyarakat telah tertuang pada Pasal 96 ayat 1 hingga 8, Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pemerintah dan DPR, kata dia, harus memenuhi hak tersebut agar masyarakat dapat berpartisipasi secara bermakna. Pembentuk undang-undang juga harus memiliki akuntabilitas dan pertanggungjawaban politik kepada publik. “Jika hak-hak partisipasi tersebut dipenuhi, publik tidak akan melakukan tindakan [protes] seperti itu,” kata Susi dihubungi Tempo, Senin, 17 Maret 2025.
Kedua, menurut Susi, agar publik dapat berpartisipasi, ia harus dapat mengakses informasi mengenai proses pembentukan undang-undang. Akan tetapi, publik selama ini kesulitan untuk mengakses RUU TNI. Pembahasan yang seharusnya dapat berlangsung terbuka di gedung DPR, pun dilakukan di hotel yang tertutup untuk publik. “Persoalannya hotel itu bukan ruang publik, tapi ruang privat. Sementara yang dibahas adalah isu publik,” kata Susi.
Selain minim partisipasi publik, juga terdapat kejanggalan dalam prosedur pembentukan RUU TNI. Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, RUU TNI tidak masuk daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 serta tidak ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045.
RUU TNI tiba-tiba dibahas setelah Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin mengajukannya masuk ke Prolegnas 2025 melalui surat bernomor B/244/M/II/2025 kepada Ketua Komisi I pada 7 Februari 2025, sekaligus mengirimkan naskah akademik rancangan itu. Padahal dalam dokumen Prolegnas jangka menengah 2025-2029, RUU TNI adalah usul inisiatif DPR yang seharusnya naskah akademik dan draft RUU disiapkan oleh DPR. DPR kemudian memutuskan revisi UU TNI dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang ke-13 pada 18 Februari 2025.
Protes terhadap pembahasan RUU TNI tidak hanya dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang beranggotakan 192 organisasi. Setidaknya, terdapat 12 ribu warga yang telah menandatangani petisi untuk menolak revisi UU TNI.
Guru Besar Hukum dan Pembangunan pada Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro, mengatakan, yang dilakukan aktivis itu bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Selain pasal UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, secara spesifik kemerdekaan berpendapat di muka umum ini diatur dalam UU 9/1998.
Masyarakat boleh menyampaikan pendapat di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital nasional, serta pada hari besar nasional.
“Jadi protes di rapat tertutup di hotel mewah itu tidak melanggar hukum. Sanksi bagi pihak yang menghalangi penyampaian pendapat ini bisa dipidana dengan pidana penjara,” ujarnya.
Klaim 2: Benarkah revisi UU TNI tidak membahas dwifungsi TNI karena sudah lama dikubur?
Secara historis, menurut Virdika Rizky Utama dalam artikelnya Indonesian military back in the bureaucracy: the return of dual function? (2023), Dwifungsi TNI adalah di mana angkatan bersenjata dan kepolisian Indonesia memainkan peran ganda selama Orde Baru Soeharto yang otoriter, menjalankan fungsi militer dan sipil sekaligus.
Doktrin tersebut menjadi inti rezim Orde Baru, dengan melibatkan militer secara mendalam dalam pemerintahan, membantu Soeharto mempertahankan kekuasaan dan menjaga kendali di masa-masa yang penuh gejolak. Dwifungsi kemudian dicabut setelah Soeharto lengser. Di era reformasi, keterlibatan militer dan polisi dibatasi dalam pemerintahan sipil.
Sesuai Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, melarang TNI menduduki jabatan sipil di luar 10 institusi yakni: koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Di luar 10 institusi tersebut, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Kekhawatiran atas kembalinya Dwifungsi TNI tersebut mengemuka di tengah revisi UU TNI oleh Pemerintah dan DPR RI. Pasalnya, pemerintah mengusulkan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif, termasuk di: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut dan Kejaksaan Agung. Pemerintah juga mengusulkan perpanjangan masa pensiun prajurit hampir di semua level.
Sebelum revisi UU TNI terjadi, militer telah banyak terlibat dalam wilayah sipil. Dalam program Makan Bergizi Gratis misalnya, TNI terlibat dalam dapur dan mendistribusikan makanan. TNI juga dilibatkan dalam penyelesaian konflik hutan. LSM Imparsial juga menyebut, saat ini terdapat 2.500 tentara aktif yang menduduki jabatan sipil pada 2023.
Peneliti politik ISEAS–Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, menilai Dwifungsi ABRI belum sepenuhnya terkubur sebab pada praktiknya, masih ada. Sejak kabinet Jokowi pada tahun 2015, 50.000 personil dikerahkan untuk terjun ke desa-desa menjadi tenaga penyuluh pertanian. Menteri Pertanian Amran Sulaiman meneken Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/Permentan/Ot.140/3/2015 tentang Pedoman Pengawalan Dan Pendampingan Terpadu Penyuluh, Mahasiswa, dan Bintara Pembina Desa Dalam Rangka Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai.
Selama ini, publik terpaku pada Dwifungsi di pemerintahan. TNI, kata dia, memang tidak lagi duduk di kursi legislatif dari DPR, DPRD I, maupun DPRD II, tapi kehadirannya tidak pernah hilang di ranah sipil. Bahkan kini, kekuatan politiknya dapat dilakukan dalam bentuk pengaruh (influence).
“Jadi sebenarnya Dwifungsi itu sudah dipraktikkan tahun 2015, khususnya di bidang pangan, dan sekarang bertambah lagi. Kalau tidak Dwifungsi itu apa artinya? Pengaruhnya masih kuat sekali,” kata Made saat dihubungi Tempo.
KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan fakta Tempo menyimpulkan, klaim Deddy Corbuzier bahwa aksi aktivis memprotes pembahasan revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Sabtu 15 Maret 2025 sebagai tindakan melanggar hukum dan mengancam proses demokrasi adalah keliru. Protes tersebut sebagai upaya untuk memperjuangkan hak prosedural atas pembentukan undang-undang yang seharusnya demokratis namun tidak dipenuhi dalam revisi UU TNI.
Klaim Deddy yang mengutip pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bahwa revisi UU TNI tidak membahas dwifungsi TNI yang sudah lama dikubur, juga keliru. Revisi UU TNI memperluas jabatan sipil yang diduduki oleh prajurit aktif. Selain itu, revisi beleid tersebut dapat menjadi pintu bagi aktifnya militer di lebih banyak sektor sipil. Sebelumnya militer telah banyak dilibatkan dalam program pertanian, makan bergizi gratis, sektor kehutanan, dan telah banyak menduduki jabatan sipil.
Atas kesimpulan tersebut, Tempo meminta tanggapan Stafsus Menhan Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo alias Deddy Corbuzier. Menurut Deddy, ia meminta Tempo untuk menanyakan langsung kepada DPR karena proses pembahasan panja menjadi kewenangan Komisi I DPR. “Untuk lebih jelas bisa langsung ditanyakan kepada DPR. Kalau ke saya nanti salah,” ujarnya singkat kepada Tempo, Selasa, 18 Maret 2025.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR RI telah melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU TNI. Pembahasan sudah dilakukan sesuai dengan mekanisme yang berlaku, termasuk ketika Komisi I DPR menggelar rapat konsinyering panja RUU TNI bersama pemerintah pada 14 dan 15 Maret lalu. Dia pun mengklaim rapat di hotel itu bersifat terbuka untuk publik. "Tidak ada rapat terkesan diam-diam. Konsinyering dalam setiap pembahasan undang-undang itu memang ada aturannya," ucap Dasco.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]