Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Iran, mereka terbang ke Jakarta. Miranda alias Vava Sa Baori, Neissi Ahmad, Ghate Honia, Masoeh Ibrahim, dan Mohammad Nesni punya satu tujuan di Indonesia: membuat paspor palsu dari sosok bernama AL. Akhir September silam, mereka berniat melancong ke Italia dan Spanyol. Tapi, apa daya, di Bandara Sukarno-Hatta, paspor palsu mereka langsung terungkap oleh petugas. Maka berakhirlah petualangan mereka. Tapi, sebetulnya banyak sekali pengguna paspor palsu yang telah berhasil lolos dari pintu imigrasi.
Nah, agar paspor tak gampang dipalsukan, pemerintah Indonesia berniat menerapkan paspor elektronik. ”Paling telat tahun 2010,” kata juru bicara Direktorat Imigrasi Departemen Hukum dan HAM, Supriyatna Anwar. Jalan menuju paspor elektronik telah dirintis. Sejak Februari 2006 silam, pemerintah memberlakukan paspor berbasis data biometrik, yaitu sidik jari dan foto wajah.
Dengan data biometrik ini, petugas bisa melacak apakah pembuat paspor baru pernah membuat paspor dengan identitas yang lain. ”Tapi tujuan utama paspor biometrik adalah mencegah paspor ganda, bukan pemalsuan,” kata Christian Gani, arsitek solusi untuk sektor publik di Hewlett-Packard (HP) Asia Pacific Pte. Ltd.
Untuk menangkal aksi para pemalsu paspor, pilihan yang tersedia adalah paspor elektronik. Paspor ini sulit ditiru karena dilindungi berbagai pengaman digital. Pelindung pertama adalah sistem otentifikasi paspor. Sistem ini berupa penanda digital (digital signature) yang diproteksi dengan enkripsi atau sandi, dan disimpan dalam chip penyimpan data biometrik. Apa pun perubahan yang dilakukan pada data biometrik, ujar Christian, ”Akan meninggalkan jejak pada penanda digital ini.”
Kedua, penanda digital ini hanya dapat dibuka dengan menggunakan ”kunci” digital yang disimpan di Public Key Directory yang dikelola oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Pelindung terakhir adalah cetakan khusus—seperti halnya uang—pada paspor. ”Perlindungan berlapis ini membuat paspor elektronik tersegel ketat,” ujar Christian kepada Tempo.
Toh, Lukas Grunwald, peretas (hacker) dari Jerman, menjungkirkan kehebatan paspor elektronik dalam menangkal pemalsuan. Di depan peserta konferensi para peretas, BlackHat, awal Agustus lalu, Lukas mendemonstrasikan bagaimana cara menyadap dan menggandakan data paspor elektronik. Modalnya hanya komputer, pembaca chip RFID, serta peranti lunak sederhana.
Maka, pengaman baru harus ditambahkan pada paspor elektronik. Salah satu di antara pelindung itu adalah pelat logam tipis untuk memastikan sinyal chip ”kedap” dari pengintip, selama paspor tertutup rapat. Lukas pun mengakui keandalan pengaman ini. Dia berkata, ”Saya sanggup menyadap paspor berlapis logam itu jika terbuka satu sentimeter.”
Masih ada keuntungan lain dari paspor elektronik, tidak hanya sukar dipalsukan. Paspor ini terbukti mempercepat proses keimigrasian di bandara atau perbatasan. Mari mengunjungi pintu imigrasi di Singapura, yang penduduknya telah memakai paspor jenis ini. Para pemegang paspor elektronik di negeri jiran itu cukup menyapukan paspor serta menempelkan sidik jari ke perangkat khusus, dan proses imigrasi beres sudah.
Namun, sebelum ke era paspor elektronik, masih ada pekerjaan rumah yang harus dibereskan, yaitu membangun sistem data identitas nasional—data kependudukan, data pajak, data sosial, perbankan, dan imigrasi—yang terintegrasi. Kalau itu terwujud, ujar Direktur Sektor Publik HP Indonesia, Firmansyah, ”Pengemplang utang tidak lagi bisa seenaknya kabur ke luar negeri.”
Sapto Pradityo, Joniansyah, CNET
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo