Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Joyo Winoto: "Reforma Agraria Tak Boleh Sembrono"

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, rela "wayangan" semalam suntuk untuk menjelaskan program reforma agraria di Medan, pertengahan November lalu. Padahal, paginya ayah dua anak ini harus kembali ke Jakarta. "Saya harus berkeliling Indonesia untuk mensosialisasi program reforma agraria," kata pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, ini. Joyo menemui, antara lain, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, para ahli di universitas, sampai petani di dusun-dusun.

Joyo Winoto memang harus bergegas melaksanakan proyek besar reforma agraria. Akhir tahun ini, BPN harus sudah bisa mendapatkan model reforma agraria yang pas untuk Indonesia sebelum dilaksanakan dalam lima tahun ke depan. Program ini akan mencakup pembagian lahan seluas 8,15 juta hektare atau 114 kali Singapura bagi sekitar empat juta keluarga. "Tapi, ini bukan sekadar program bagi-bagi tanah," kata doktor ekonomi lulusan Universitas Michigan, Amerika Serikat, ini.

Menurut Joyo, reforma agraria sudah mendesak dilaksanakan untuk memotong laju kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. Sebagian besar tanah di Indonesia kini dikuasai para pemilik modal, sementara kepemilikan tanah para petani semakin ciut. Badan Pusat Statistik mencatat, tanah sawah di pedesaan Jawa berkurang 4.000 sampai 30 ribu hektare setiap tahun dalam kurun waktu 1981-2005. Tak mengherankan jika kemiskinan hebat melanda pedesaan. Saat ini, 67 persen orang miskin ada di pedesaan.

Kerumitan soal tanah semakin me-nemukan bentuknya saat ia digenggam spekulan. Tak jarang tanah membusuk sebagai jaminan bank. Kondisi ini yang membuat ribuan bidang tanah telantar. Joyo Winoto menjelaskan persoalan ini dengan fasih kepada M. Taufiqurohman, Cahyo Junaedy, dan fotografer Ramdani dari Tempo di kantornya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pertengahan November lalu.

Benarkah program land reform yang dicanangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN)saat ini tak lebih dari proyek bagi-bagi tanah?

Saya harus meluruskan bahwa program reforma agraria bukanlah program bagi-bagi tanah. Program yang dicanangkan ini adalah reforma agraria yang didefinisikan sebagai land reform plus, artinya land reform yang sesuai dengan kerangka undang-undang, ditambah dengan access reform.

Maksud land reform plus?

Sejak 1960-an Indonesia sudah melakukan redistribusi tanah seluas 1,15 juta hektare. Tapi pada kenyataannya penerima tanah itu hidupnya tidak menjadi lebih sejahtera. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa setelah mereka memperoleh sertifikat, pemilik tanah ini tidak memiliki akses ke finansial, usaha, pasar, hingga teknologi pertanian. Nah, di sinilah bedanya. Land reform yang kami cetuskan ini membuka akses kepada masyarakat pada sumber-sumber ekonomi tanah dalam satu paket.

Mengapa baru sekarang?

Karena saat ini kami menyadari ada ketimpangan dalam pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan tanah yang parah di Indonesia. Selain itu, ada kenyataan bahwa rakyat miskin 67 persen ada di pedesaan dan di sektor pertanian. Padahal, 90 persen dari mereka bekerja. Lalu kenapa mereka tetap miskin? Setelah kami pelajari, masyarakat ternyata tidak punya akses pada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah. Pola pewarisan dalam masyarakat cenderung makin mendorong fragmentasi lahan sehingga penguasaan lahan oleh petani semakin kecil. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan lahan. Nah, karena itulah kami melakukan penataan tanah lewat reforma agraria.

Berapa luas tanah yang dapat dijadikan obyek reforma agraria?

Pemerintah telah mengalokasikan 8,15 juta hektare tanah atau setara dengan 114 kali luas Singapura. Ini pekerjaan besar pemerintahan sekarang. Agar mulus, saat ini saya sebagai pelaksana lapangan reforma agraria sedang mengkampanyekan program ini kepada pemangku kepentingan (stake holders) di seluruh pelosok Tanah Air untuk mencari desain terbaik.

Angka 8,15 juta hektare ini dari mana?

Tanah ini ada yang berasal dari tanah negara, tanah absentee (tanah kelebihan dari batas maksimum), atau tanah partikelir. Luas 8,15 juta hektare ini berasal dari lahan hutan konversi yang diperuntukkan bagi penggunaan lain yang telah disaring dan layak digunakan (lahannya tidak berbukit) dan bersih dari penguasaan pihak-pihak tertentu. Petanya sudah kami miliki. Saat ini BPN sedang mengirimkan tim ke lapangan untuk menguji peta tersebut-alhamdulillah, benar.

Mekanisme program ini seperti apa?

Sebenarnya banyak model yang bisa dijadikan contoh. Untuk itu, saat ini BPN sedang mengirim tiga tim ke Venezuela, Thailand, dan Taiwan untuk melihat bagaimana reforma agraria di sana, karena ketiga negara ini menggunakan pendekatan dan model berbeda. Taiwan menggunakan mekanisme pasar-ada voluntary exchange-di antara anggota masyarakat. Di Venezuela menggunakan mekanisme negara, sedangkan Thailand memakai mekanisme campuran. Yang perlu dicatat adalah, model-model yang berhasil di negara lain tidak otomatis berhasil di Indonesia. Proses historis dan peta sosial masyarakat Indonesia harus juga menjadi pertimbangan.

Katanya BPN sedang membuat proyek percontohan land reform?

Betul. Ada dua lokasi yang sedang kami uji sejak 2006. Pertama, di Ban-ten dan Jawa Tengah. Di Banten, kita terapkan di Pandeglang di atas tanah negara seluas 300 hektare. Di sana sudah ada masyarakat yang turun-menurun mengelola tanah itu dengan baik dan kami sedang mempertimbangkan untuk memberikan hak sekaligus akses pada pengembangan ekonominya. Di Jawa Tengah membentuk model dengan bekerja sama dengan pihak yang memiliki teknologi-nonpertanian pangan-di atas tanah yang telah disiapkan. Hingga saat ini belum ada hasilnya karena masih dalam proses. Tahun depan kami telah menganggarkan dana untuk menggelar proyek percontohan di dua-tiga lokasi di setiap provinsi di Indonesia. Jadi, modelnya tidak tunggal.

Jadi, model land reform ini belum final?

Belum. Justru sekarang kami sedang mencari desain terbaik, karena kami tidak ingin mengulang kegagalan land reform sebelumnya. Ini adalah kesempatan besar dan belum tentu akan datang lagi. Toh, dalam sejarah Indonesia yang 50 tahun ini, pemerintah baru memberikan tanah seluas 1,15 juta hektare dan itu pun tidak diikuti dengan program lanjutannya, pascareforma agraria. Saya sendiri melihat, mood masyarakat menyambut ini cukup baik.

Berapa target masyarakat miskin yang akan dijangkau lewat program ini?

Kami memperkirakan 8,15 juta hektare itu, paling tidak, akan dapat dinikmati oleh 4 juta keluarga. Kalau satu keluarga terdiri dari sekurang-kurangnya tiga jiwa, maka jumlah orang yang terlibat dalam proyek ini mencapai 12 juta orang. Ini sudah signifikan untuk menurunkan kemiskinan dan pengangguran. Harapannya dengan program ini nanti jumlah pengangguran (10,8 persen) dapat diturunkan di bawah enam persen.

Apakah program ini solusi tepat untuk menebas pengangguran?

Saya pikir tepat. Ini merupakan salah satu mekanisme untuk menata kembali ketimpangan. Meski kepemilikan tanah di Indonesia terserak, konsentrasi aset cukup tinggi dimiliki oleh sekelompok orang. Ini yang perlu ditata. Yang paling jelas dapat dilihat dari data besaran masyarakat miskin yang berada di pedesaan tadi. Ketimpangan itu perlu dibenahi.

Berapa luas tanah yang dimiliki satu keluarga petani di Indonesia saat ini?

Di Jawa, sebagian besar petani hanya memiliki tanah 0,2 hektare (2.000 meter persegi). Luas ini tidak dapat menopang kehidupan keluarga petani dengan layak. Di luar Jawa, kepemilikan tanah rakyat juga kian susut sampai di bawah 0,5 hektare. Idealnya setiap keluarga petani di Jawa memiliki 1-2 hektare.

Kenapa hal itu terjadi?

Karena tanah di Indonesia kerap dijadikan (obyek) spekulasi. Tanah yang dulunya dimiliki rakyat ini banyak yang pindah tangan. Yang sering terjadi tanah ini dikuasai oleh sekelompok tertentu, terutama oleh developer yang mendapat informasi bahwa lokasi tersebut akan dikembangkan. Persoalan lain di Indonesia adalah banyak sekali kepemilikan lahan berskala besar yang dijadikan collateral (jaminan bank). Akibatnya, tidak semua tanah tersebut termanfaatkan dengan baik, bahkan telantar. Pada saat yang sama masyarakat tidak dapat memiliki akses untuk menggunakan lahan tersebut karena sudah bukan haknya lagi. Ini yang akan ditata. Saya sendiri akan mengajukan revisi peraturan pemerintah mengenai pengendalian dan penggunaan tanah-tanah telantar.

Kesuksesan reforma agraria di sejumlah negara karena diikuti oleh program penunjang. Bagaimana Indonesia?

Proyek ini lebih ideal dari itu, karena reforma agraria yang kita kembangkan berusaha memberikan akses seluas-luasnya kepada para petani pada sumber-sumber ekonomi untuk mengembangkan lahannya. Proyek ini kalau berhasil sekaligus akan merevitalisasi pertanian dan pedesaan serta mendiversifikasi ekonomi di pedesaan. Jadi, selain pertanian, sektor nonpertanian juga berkembang, juga industri pertanian, jasa pertanian, hingga teknologi. Diharapkan para petani bisa mandiri, bisa hidup berkelanjutan dan berkembang.

Kapan reforma agraria selesai?

Diharapkan tiga tahun ke depan hasilnya harus sudah signifikan. Saya sendiri melihat program ini baru selesai pada tahun kelima, karena reforma agraria ini tidak boleh sembrono. Lebih baik berjalan lambat asal matang.

Apa syarat kesuksesan reforma agraria?

Ya, kalau sekadar membagi lahan me-mang mudah. Karena itu, syarat reforma agraria kali ini harus serius mencermati program pascareforma, khususnya akses petani kepada sumber ekonomi. Selain itu, yang mengakibatkan kegagalan land reform pada masa lalu lantaran petani tidak memiliki kepastian akan hak mereka. Maka, tak mengherankan jika belakangan meretas menjadi sengketa. Ini yang harus diantisipasi sejak awal.

Sebenarnya apa penyebab tidak mulusnya reforma agraria pada era 60-an?

Dalam analisis yang kita lihat mengenai retribusi lahan: setelah petani dapat penetapan tanah, lahan itu banyak yang dijual. Yang menarik malah sejak awal mereka sudah memprakondisikan bahwa nanti setelah mendapat tanah dengan hak yang jelas, lahan-lahan itu langsung beralih kepemilikannya kepada pemilik uang. Nah, ini tidak boleh terjadi. Karena itu, kami akan mempersiapkan mekanisme hukum, apakah obyek reforma ini hingga sekian tahun tidak boleh dipindahtangankan atau dipecah. Saya melihat harus ada penataan ulang atas sistem politik dan hukum pertanahan di Indonesia.

Jadi, sistem politik dan hukum pertanahan di Indonesia belum berjalan baik?

Di Indonesia hingga saat ini terdapat 24 undang-undang yang terkait soal pertanahan. Belum lagi peraturan-peraturan di bawahnya seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, hingga keputusan menteri. Kami melihat banyak aturan itu yang tumpang-tindih sehingga penataan tanah belum memberikan kontribusi mendasar bagi kesejahteraan rakyat. Inilah yang akan kita tata kembali. Padahal, Indonesia memiliki sistem politik pertanahan yang kuat yang bersumber pada UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Tap MPR Nomor 9 Tahun 2001 soal reforma dan penguatan agraria, serta Keppres 10 Tahun 2006 soal penataan kembali substansi pertanahan.

Jika Indonesia memiliki sistem dan politik hukum pertanahan yang kuat, mengapa pelaksanaan reforma agraria di Indonesia beringsut bagai siput?

Inilah pertanyaan saya pertama kali saat menjabat kepala BPN. Setelah saya dalami ada beberapa hal, yang perta-ma saya melihat peraturan pelaksanaan tidak dibuat sehingga tidak ada mekanisme untuk operasionalisasi prinsip-prinsip itu. Kalaupun peraturannya ada, tidak konsisten dengan UU Pokok Agraria, bahkan tumpang-tindih. Penyebab lain adalah komitmen si penyelenggara pemerintahan dan yang terakhir ada degradasi proses penyelenggaraan pertanahan menjadi sekadar soal administrasi pertanahan.

Ini pula yang membuat BPN tak lebih dari badan sertifikasi tanah?

Seolah-olah begitu. Kami sendiri menyadari ada degradasi fungsi BPN seperti itu. Karena itu, pada awal menjabat Kepala BPN saya melakukan penataan kelembagaan dan organisasi pertanahan karena saya tahu persis banyak sengketa dan konflik pertanahan di Indonesia. Tapi, di BPN sendiri tidak ada lembaga khusus yang menangani masalah konflik tanah. Saya juga tahu baru 11 persen dari tanah Indonesia yang terpetakan di BPN. Bahkan BPN tidak memiliki lembaga khusus dan sistematika untuk memetakan tanah di Indonesia. Maka itu BPN harus berubah total.

Berubah jadi seperti apa ?

Secara internal dan struktural, BPN berubah wajah. Misalnya, sekarang ada deputi yang menangani sengketa dan konflik pertanahan. Kita juga memperluas fungsi Deputi pengendalian dan pemberdayaan masyarakat yang tugasnya mengontrol kebijakan dan menangani tanah telantar. BPN juga akan membentuk komite pertanahan pada akhir tahun ini untuk mendalami persoalan politik dan hukum pertanahan.

Jadi, masyarakat yang bersengketa tanah bisa langsung melapor ke BPN?

Betul. Mekanismenya ada dua, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 10, pertama lewat pengadilan dan mediasi. Artinya, BPN memiliki portofolio untuk melakukan mediasi mengatasi konflik pertanahan. Langkah ini dapat mengatasi mafia tanah masih banyak beroperasi di Indonesia.

Berapa jumlah konflik tanah yang tercatat di BPN?

Hingga saat ini tercatat 2.865 kasus besar yang belum tertangani. Ini membuktikan ada persoalan tanah yang begitu besar dan tidak tertangani dengan baik. Saya juga melihat kasus konflik tanah semakin membengkak karena banyak lembaga yang tidak berwenang turut campur, seperti mengeluarkan surat kepemilikan tanah. Ini memperumit persoalan. Contohnya dalam pelayanan pengurusan sertifikat gratis untuk rakyat. Ternyata di lapangan tidak gratis. Banyak kepala desa mengutip uang administrasi. Ini kan harus disisir dan ditata ulang.

Berapa luas bidang tanah yang sudah terdaftar?

Dari 85 juta bidang tanah di Indonesia, baru disertifikatkan 30 persen. Yang terpetakan baru 11 persen. Jika skema lama organisasi BPN dipertahankan, maka kita butuh 100 tahun untuk membuat sertifikasi tanah di Indonesia. Ini harus dipotong.

Caranya?

Ada tiga skema percepatan. Pertama untuk rakyat miskin dan usaha kecil dan menengah yang dulunya berasal dari Prona (Program Nasional) sebanyak 80 ribu bidang tanah ditingkatkan menjadi 350 ribu bidang tanah. Kedua melalui ajudikasi sebanyak 650 ribu bidang tanah. Jadi, pada 2007 akan ada satu juta bidang tanah yang telah disertifikasi untuk rakyat miskin dan UKM. Biaya pendaftaran dan sertifikasinya gratis. Seluruh anggarannya sudah ada dan program ini sudah disetujui oleh DPR. Program kedua SMS (sertifikat massal swadaya) yang bekerja sama dengan lembaga keuangan dengan target 1,5 juta tanah pada 2007. Program terakhir program khusus untuk merespons pemerintah pusat dan pemerintah daerah di kabupaten dan provinsi (seperti transmigrasi dan pembangunan perumahan rakyat) targetnya 600 ribu bidang tanah. Total ada tiga juta bidang tanah yang akan disertifikasi pada 2007. Kalau ini terus dilaksanakan atau malah bertambah, maka kita hanya butuh 18 tahun untuk melakukan sertifikasi tanah.

Joyo Winoto

Lahir: Mojekerto, 16 November 1961

Pendidikan:

  • Doktor untuk ekonomi kebijakan pengembangan pembangunan regional
  • Fakultas ekonomi Universitas Michigan, Amerika

Karir:

  • Direktur Senior Brighten Institute, Bogor, Indonesia (2005-sekarang)
  • Direktur Brighten Institute, Bogor, Indonesia (2002-2005)
  • Kepala bagian bidang pangan, pertanian dan irigasi Bappenas (2000-2001)
  • Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen di IPB (2001-sekarang)
  • Pengajar program paska sarjana di Universitas Borobudur (2000-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus