Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayah kalau mati jadi setan.”
Ucapan itu keluar dari mulut anak berusia hampir empat tahun. Ini bukan kutuk-serapah. Nadanya terdengar sok tahu. Setelah diselidiki, si kecil mendapat ”ilmu pengetahuan” itu dari televisi.
Kisah semacam ini tak asing bagi Budi Adjie, Ketua Komunitas Peduli Tayangan Televisi (Kompetisi). Karena itulah Budi memutuskan melahirkan alat penyensor tayangan televisi. ”Ibarat dalam perang, alat ini adalah antirudal,” kata lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung angkatan 1980 itu mengenai barang buatannya. Antirudal?
Demikianlah Budi memisalkan ciptaannya yang diberi nama Senta TV—kependekan dari sensor tayangan TV. Ini bukan tanpa sebab. Bagi Budi, tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan, pelecehan, hingga mistik berbalut agama mirip benar dengan rudal.
Tayangan itu mengunjungi setiap rumah, mengebom otak seluruh keluarga tanpa pandang bulu. Acara televisi itu datang dengan leluasa, tanpa halangan, sungguhpun tak diinginkan. ”Alat ini menghadang tayangan yang tidak tepat itu. Caranya dengan menangkis dan merusak sinyal televisi yang datang.
Ibarat antirudal, Senta menem-bak sinyal yang datang sampai rusak, hingga tak dapat dipakai pesawat televisi. Masih akan ada sisa-sisa sinyal yang muncul di layar, tapi tak bisa ditonton.
Budi mengutak-atik sensor televisinya selama tiga setengah tahun, sejak pertengahan 2003. Tentu saja dia tak memiliki laboratorium mewah, tapi di bengkel kerja berukuran 2x3 meter di samping rumahnya di Bekasi, Jawa Barat.
Kini ia sudah mengantongi hak paten untuk Senta TV, selain paten untuk mekanisme penyensorannya. Toh ia belum puas. Ia mengatakan, alat seukuran telepon meja itu masih bisa dibuat lebih kecil lagi. ”Jika diproduksi massal, kelak ukurannya menyusut separuhnya,” katanya. Bahkan, jika ada produsen televisi yang berminat bekerja sama, alat ini akan dirakit langsung dalam pesawat televisi, dan dioperasikan melalui remote control.
Gagasannya mencipta Senta TV memercik saat di televisi ramai polemik goyang ngebor penyanyi dangdut Inul Daratista. Kelompok pendukung dan penentang Inul sama-sama berunjuk rasa. Bagi Budi, cara itu tidak elok. Ia memilih merespons dengan cara lain. ”Saya punya keahlian. Ini yang bisa saya sumbangkan,” ujar pendiri Kompetisi ini.
Senta TV terdiri dari empat komponen: perusak sinyal, penyimpan data, aktivator, dan layar penunjuk operasi (lihat infografik). Komponen utama pada alat ini, yakni perusak sinyal, diaktifkan aktivator berdasarkan perintah yang tersimpan pada perekam.
Mula-mula data tentang tayangan yang perlu disensor dimasukkan ke perekam melalui seperangkat tombol di bagian atas alat ini. Untuk memudahkan penyimpanan data itu, alat ini bisa dihubungkan dengan komputer melalui sambungan kabel sembilan port. Data tersebut berisi saluran televisi, jam, dan hari tayang (untuk sensor mingguan) dan tanggal tayang untuk sensor acara non-reguler. ”Pemilik Senta TV bisa mengatur sendiri data sensor itu,” kata Budi.
Alat penyensor ini mampu menghancurkan 40 kanal siaran televisi dalam waktu bersamaan selama 24 jam. Karena ukurannya kecil dan terhubung ke televisi dengan kabel, alat ini juga bisa disembunyikan dari anak-anak, sehingga mereka merasa tidak ada campur tangan orang tua pada ”gangguan” di televisi.
Budi yakin, para pengelola televisi dan rumah produksi film atau sinetron akan berpikir lebih panjang untuk menyiarkan atau membuat acara, jika alat ini sudah dimiliki setiap rumah. ”Mereka akan meminta badan sensor untuk menilai apakah acara yang akan digarap layak ditayangkan,” kata Budi.
Badan sensor yang dimaksud Budi bukan semata Lembaga Sensor Nasional milik pemerintah. Kelak, kata Budi, Senta TV akan mendorong lahirnya agen sensor swasta, baik perorangan yang kompeten maupun organisasi masyarakat—seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama—maupun media massa. Badan sensor inilah yang akan menjadi pemasok data sensor untuk direkomendasikan ke masyarakat.
Ia mengatakan, orang atau lembaga yang punya perhatian mendalam terhadap tayangan televisi memberikan penilaian dalam bentuk data sensor. Data dari berbagai versi itu, misalnya versi MUI atau NU, nantinya akan disebarluaskan oleh distributor untuk dimasukkan ke Senta TV sesuai dengan pilihan pemilik.
Memasukkan data sensor ke Senta TV yang terdiri dari rincian acara untuk belasan bahkan puluhan kanal tentu sangat merepotkan. Apalagi data tersebut bisa berubah sewaktu-waktu, mengikuti perubahan jadwal tayangan televisi. Tapi jangan khawatir. ”Justru oleh karena itu, data sensor bisa menghasilkan uang,” ujar Budi.
Data tersebut bisa diunduh melalui Internet atau telepon. Waktu pengunduhan, kata Budi, diperkirakan berlangsung dua hingga tiga menit. Nah, pemilik akan dikenai tarif pulsa premium Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per menit. Bayangkan jika ada satu juta pemilik Senta TV, miliaran rupiah bisa terkumpul setiap pekan. Sebagian dana ini akan digunakan untuk membayar orang-orang yang mengamati dan membuat rekomendasi sensor itu.
Budi percaya, jika ada uang mengalir, sistem itu akan hidup. Tapi, harapan itu baru bisa terwujud jika Senta TV sudah diproduksi massal. Di sinilah masalahnya.
Pernah ada tawaran untuk memproduksi Senta secara massal. ”Ada pengusaha di Cina, Senta TV akan diproduksi di sana, tapi saya belum yakin,” katanya.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Said Djauharsyah Jenie, menganjurkan Budi menghubungi kalangan industri agar bisa memproduksi alat itu. Budi sudah melakukan itu, tapi hingga saat ini belum ada investor yang berminat.
Sambil menunggu, Budi terus menyempurnakan alat yang sudah menguras koceknya hampir Rp 150 juta itu. Kalau nanti tidak ada yang berminat, ”Saya akan berusaha memproduksi sendiri alat ini,” ujarnya. Apa boleh buat, kendali untuk sementara masih di stasiun televisi. Tapi, jika sukses, tampaknya alat swasensor ini akan lebih efektif bila tak dilembagakan dalam sebuah kantor pemerintah.
Adek Media
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo