Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berdamai dengan Luka

Sebuah film yang meledak di Festival Film Sundance sekaligus meraih empat nominasi di Academy Awards tahun ini, termasuk Film Terbaik.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LITTLE MISS SUNSHINE Sutradara: Jonathan Dayton, Valerie Faris Skenario: Michael Ardnt Pemain: Abigail Breslin, Greg Kinnear, Paul Dano, Alan Arkin,Toni Collete, Steve Carell Produksi: Fox Searchlight

Inilah gambaran sebuah keluarga nun di Arizona: Sheryl (Toni Collete) yang tengah mencoba menyetop kebiasaan merokok; Richard (Greg Kinnear), seorang pecundang yang bekerja sebagai pembicara pendorong motivasi (motivational speaker) yang kuliahnya hanya diminati tiga orang pengunjung; Dwayne (Paul Dano), remaja sulung yang dalam tahap ”I hate everyone”, yang memutuskan untuk membisu sampai cita-citanya menjadi pilot tercapai, dan si kecil Olive (Abigail Breslin), berusia tujuh tahun yang polos, montok, dan ekspresif. Di keluarga yang babak belur ini, kita kemudian ketumpuan dengan si Opa (Alan Arkin) yang doyan menyerot kokain, doyan mengomel dan gemar majalah porno, serta Om Frank (Steve Carrell), seorang dosen sastra, seorang lelaki gay yang baru saja patah hati dan mencoba bunuh diri. Nah, masukkan seluruh isi anggota keluarga itu ke sebuah VW Combi bobrok yang gemar mogok dalam sebuah perjalanan panjang ke California untuk mencapai sebuah gelar impian si cilik Little Miss Sunshine. Apa yang akan terjadi?

Inilah sebuah film ”kecil” dengan bujet kecil dan meledak di Sundance Film Festival setahun silam, dan kini sudah berada di deretan nominasi bersama film-film besar lainnya dalam Academy Awards yang akan berlangsung pada akhir Februari ini. Alan Arkin yang berperan sebagai si Opa mesum, Abigain Breslin yang berperan sebagai si kecil Olive, penulis skenario Micahel Ardnt, semua mendapatkan nominasi Oscar tahun ini. Yang mengagumkan, film ini juga masuk dalam nominasi sebagai Film Terbaik bertanding dengan film-film besar seperti The Departed (Martin Scorsese) dan Babel (Alejandro Gonzalez Inarritu).

Cerita ini bermula dari si kecil Olive yang masuk final sebuah kontes kecantikan anak-anak dan upaya seluruh keluarga untuk mendukung keinginannya. Dengan latar belakang setiap anggota keluarga yang memiliki luka dalam hidup masing-masing, perjalanan dalam VW kombi kuning yang doyan mogok itu menjadi sebuah perjalanan menjenguk darah yang bercucuran. Di jalan yang panjang, melalui si kecil Olive—sungguh lega ada pemain cilik lain yang cemerlang di luar Dakota Fanning—kita mengetahui setahap demi setahap mengapa Om Frank berupaya mengakhiri hidupnya; bagaimana Dwayne akhirnya terpaksa bicara setelah mengetahui kenyataan fisiknya; bagaimana sang Opa yang mesum secara sembarangan melontarkan segala sumpah serapah dan majalah porno miliknya ternyata menyelamatkan seluruh keluarga. Semakin jauh mereka berjalan, semakin biru bilur-bilur dalam tubuh mereka dan semakin deras kucuran darahnya. Semakin jauh mereka berjalan, sang ayah yang selalu berkhotbah tentang kehebatan ”sang pemenang” dalam hidup malah menyadari bahwa dialah si pecundang terbesar dalam hidup.

Keistimewaan utama film ini terutama pada skenario yang ditulis dengan rapi, dialog yang cerdas sekaligus penuh humor yang sekaligus merobek hati. Sosok-sosok yang penuh persoalan itu dilempar ke peristiwa yang jauh lebih pahit lagi, tapi toh pasangan sutradara Jonathan Dayton dan Valeri Faris mampu untuk membuat kita percaya bahwa seluruh peristiwa ini begitu nyata; begitu meyakinkan. Terlalu banyak peristiwa yang sinting (meletakkan jenazah di dalam mobil, misalnya), tapi kita toh tak protes. Karena semua itu disajikan dengan segala kepahitan sekaligus kemampuan untuk menertawakan penderitaan itu.

Membuat film tentang perjalanan (road movie) memang sebuah tantangan yang unik. Sejauh ini, jenis film ini dianggap begitu ”mudah” karena ada semacam prasangka bahwa dengan melontarkan ide perjalanan (dari satu kota ke kota lain); sebuah mobil; sepasang atau lebih pemain dan cukup melemparkan persoalan romansa dan gangguan di jalan, maka jadilah road movie itu. Jenis film ini justru sangat sulit karena penonton dipaksa untuk terus memperhatikan sebuah perja-lanan yang tak hanya bersifat fisik.

Akhir film ini melengkapi semua luka di tubuh seluruh keluarga. Tapi yang terpenting, seperti akhir kisah dari keluarga berantakan yang mencoba membangun puing-puing yang runtuh, adalah sebuah pemahaman perjalanan itu. Sebuah perjalanan yang membuat mereka berdamai dengan luka masing-masing dalam tubuhnya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus