Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Di Sepanjang Barbes dan Belleville

Di Paris, ada masjid yang selalu diawasi. Juga ada demonstrasi sekelompok perempuan berjilbab, bahu-membahu dengan warga Prancis lainnya.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang lelaki berjanggut, berkopiah putih, berjalan dalam dingin. Tubuhnya berbalut jaket tebal abu-abu, ujung celananya tergantung di atas mata kaki. Di depan sebuah bangunan ia menghentikan langkah dan melepaskan sepatu; melewati pintu kecil berwarna hijau tua, ia memasuki bangunan yang sesungguhnya tak lebih dari sebuah ruangan seluas 6x6 meter.

Tempat itu terletak di pojok jalan Jean P. Timbaut, Belleville, Paris, Prancis. Di luar, sebuah tulisan dengan aksara Arab dan Latin menyebut: Masjid Umar Ibn Khattab.

Siang itu, suatu hari di bulan Desember tahun lalu, bangunan itu tampak sederhana. Tapi itulah sebuah titik yang pernah dilaporkan sebagai tempat terjadinya kekerasan berdarah pada 21 Desember 2002. Ketika itu sekelompok orang merampas uang zakat dan mengancam imam masjid tersebut, Imam Hammami. ”Ada orang dibunuh di dalam masjid oleh seorang fundamentalis,” kata Fredo Rochechart, penduduk setempat.

Masjid Umar bin Khattab adalah sudut kecil di Paris yang selalu dipantau lekat-lekat. Ulama-ulama asal Arab Saudi sering diundang untuk mengajar dan menguji calon mahasiswa yang ingin menuntut ilmu di Mekkah atau di Universitas Madinah. Bahkan, konon, salah seorang pelaku pengeboman 11 September di New York, Amerika Serikat, Zacarias Mousaoui, pernah mondok di situ. ”Benar, kebanyakan kaum fundamentalis itu Wahabi, tapi itu hanya sekelompok kecil dan bukan mayoritas penganut Islam di Prancis,” ujar Imam Masjid Paris, Doktor Dalliel Boubaker.

Belleville tampak tak berbeda dengan tempat lain di Paris. Jalan-jalannya turun-naik, ukurannya hanya pas untuk mobil sedan. Tempatnya cukup bersih dan tenang. Ada beberapa toko yang menjual buku-buku Islam, baju dan perlengkapan muslim. Di toko buku Tawhid, tak jauh dari musala Umar, tampak sebuah notebook untuk anak-anak dengan huruf Arab terpampang dari kaca etalasenya.

Belleville sebenarnya merupakan tempat tinggal dengan komposisi masyarakatnya yang heterogen: ada kaum imigran Yahudi, Cina, Islam, dan orang Paris asli atau Gallic Parisii. Saat Tempo menyusuri daerah itu, Sabtu, beberapa toko milik Yahudi tutup. Padahal, pada saat itu toko-toko lain menyedot banyak pembeli. Belakangan kaum Yahudi semakin sedikit, sementara orang Islam dari Tunisia semakin banyak mendiami daerah tersebut.

Di sudut yang sepi di Belleville, sebuah tempat minum teh tanpa nama tampak buka dengan lampu yang tak begitu terang. Dari dalamnya, sesekali terdengar teriakan dalam bahasa Arab dan bunyi suara siaran sepak bola dari televisi. Suara yang mengundang Tempo mampir untuk sekadar minum teh.

Di dalam ruangan, dua kelompok laki-laki berwajah Timur Tengah asyik bermain kartu remi. Sesekali matanya melihat tayangan sepak bola di dua televisi ukuran 39 inci yang terpampang di dinding. Mulut mereka juga tak berhenti berteriak mengomentari sepak bola atau kartu yang mereka pegang. Beberapa orang di antaranya juga asyik menyedot shisha. Waktu baru pukul lima sore, tapi gelap sudah menggayuti langit Paris di musim dingin.

Tampak tabung-tabung untuk mengisap shisha teronggok di bawah layar televisi. Tempo memesan shisha rasa apel dan sepoci teh dengan daun mint khas Tunisia. Di tempat minum teh itu tak ada minuman beralkohol. Beberapa perempuan berjilbab juga tampak lalu-lalang di depannya. ”Kami senang tinggal di Paris, yang penting saling menghormati perbedaan,” kata Loutfi, 39 tahun, imigran asal Tunisia.

Ayah dari dua anak yang sudah tinggal 20 tahun di Belleville itu tak punya masalah dengan kehidupan ala Prancis. ”Di daerah tempat tinggal saya ini ada masjid, bar, bahkan sex shops, ya, biasa saja, tergantung pilihan orangnya,” ujar Loutfi. Anak-anaknya juga sekolah di sekolah Prancis. ”Istri saya orang Paris juga asal Tunisia. Kuncinya hidup di sini toleransi.”

Belleville pada bulan Ramadan, menurut Loutfi, memang berbeda. Sepanjang jalan penuh dengan gerai penjual kurma, buah zaitun, madu, kacang almond, pistachio, dan berbagai penganan Timur Tengah lainnya. Ali Boudine, imigran asal Tunisia, mengubah restorannya menjadi toko roti selama bulan puasa. ”Pada bulan suci semua orang bergembira. Saya punya pelanggan Yahudi, Katolik, dan muslim, mereka ke sini membeli kue-kue. Kami hidup bersama, menentang perang, kami hidup di Prancis dan kami semua sama,” katanya.

Sepakat dengan Ali, Arlette, perempuan Yahudi asal Tunisia, juga senang dengan suasana di Belleville. ”Di distrik ini kami semua bersaudara, orang Prancis asli, Yahudi, atau Arab,” ujar wanita yang datang ke Paris 40 tahun silam itu.

Hanya berjarak dua stasiun kereta metro, tak jauh dari kawasan lampu merah Paris, Pigalle, ke arah bukit pemakaman Mountmartre, daerah tertinggi di Paris, 130 meter di atas laut, ada kantong muslim lainnya, Barbes.

Barbes-Rochechouart—itulah nama stasiun metronya—dilewati line 2 dan 4. Kata Barbes diambil dari nama Armand Barbes yang tewas dalam kebakaran besar akibat perang pada 10 Agustus 1903 di daerah itu.

Berbeda dengan Belleville yang tenang dan sepi, Barbes yang termasuk arroundisement atau ring 18 lebih ramai, lebih hiruk-pikuk dan agak jorok. Delapan puluh persen penduduk daerah itu imigran asal Aljazair dan negara Afrika lainnya. Tak mengherankan jika tampak lelaki dan perempuan berkulit hitam lalu-lalang di kawasan tersebut. Ayah pemain sepak bola Zinedine Zidane ketika baru datang ke Paris tinggal di Barbes ini, sebelum pindah ke Marseille pada 1960-an.

Di pasar Barbes, suasana persis seperti kaki lima Pasar Jatinegara. Lapak-lapak jualan ikan, kain dan barang-barang elektronik bercampur baur. Beberapa di antaranya menggelar dagangan di atas kap mobil sedan mereka. Lelaki-lelaki menenteng jam tangan dan dompet Louis Vuitton palsu seharga 10 euro dan menawarkannya kepada para pejalan kaki. Warna Afrika lebih kental di daerah ini. Toko-toko menjual kaset dan CD Afrika juga bertebaran. Bahkan Barbes pernah punya kelompok musik Orchestre National de Barbes dan menelurkan sebuah album CD, Poulina. ”Dulu aku suka menonton pertunjukannya. Sekarang entah ke mana, tak pernah muncul lagi,” kata Fredo.

Prancis adalah salah satu ”rumah” orang-orang muslim di Eropa. Sekitar enam juta muslim tinggal di sini, dan sebagian besar tinggal di Paris. Menguatnya aksi kekerasan dan terorisme belakangan ini setelah peristiwa 11 September 2001, memang, menimbulkan ketakutan orang-orang Eropa terhadap Islam. Lalu orang menengok ke Prancis, negeri yang paling banyak ”menampung” orang-orang Islam dari negara-negara bekas jajahannya.

Prancis punya Laicite, sistem sekuler, yang memisahkan agama (yang saat itu diwakili gereja) dengan pemerintah sejak 1905. Dengan Laicite, kebebasan beragama dijamin setara. Untuk mengantisipasi konflik, pemeluk agama apa pun dilarang memakai simbol agama, seperti kalung salib, topi Yahudi, atau kerudung di sekolah-sekolah, rumah sakit, atau kantor-kantor pemerintah. Namun, pemerintah tak melarang para pemeluk agama beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, bahkan menjaminnya selama berada di wilayah pribadi masing-masing.

Saat Tempo berada di Belleville, sekelompok perempuan berjilbab unjuk rasa bersama warga Prancis lainnya, menentang upah buruh murah yang dibayarkan pengelola gerai fesyen Tati. ”Kami menuntut hak yang sama, tak ada perbedaan bila bergaul dengan warga Prancis lainnya. Agama kami berada di dalam hati,” ujar Sekinah, salah seorang perempuan yang ikut berdemo sore itu.

Hampir serupa dengan pernyataan Presiden Dewan Peribadatan Muslim Prancis, Dalie Boubaker: ”Islam bukan alat meraih kekuasaan dan bukan identitas politik, melainkan cara menjalani kehidupan.”

Ahmad Taufik (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus