Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Historian (Sang Sejarawan) Penulis: Elizabeth Kostova Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 2007 Tebal: 768 halaman
Tahun 1462. Seorang bangsawan bernama Vlad Tepes dengan keberanian luar biasa menyeberangi Sungai Danube. Ia memimpin pasukan berkuda menyerang perkemahan Sultan Mahmud II , penguasa Istanbul.
Sultan hampir tewas. Ribuan prajuritnya yang diberi tugas menyerang Wallachia, daerah yang berbatasan dengan Transilvania itu (keduanya kini wilayah Rumania), ”disalib” dengan kayu runcing. Tubuh mereka disudet dari anus atau kemaluan sampai kayu runcing itu tembus ke mulut atau kepala. Termasuk tubuh Hamza, jenderal kesayangan sang sultan. Pasukan Ottoman yang tersisa bergidik melihatnya.
Setelah Konstantinopel jatuh di bawah Sultan Mahmud II pada 1453 dan namanya menjadi Istanbul, pasukan Ottoman makin merambah Eropa Timur. Perlawanan kesatria Hungaria, Bulgaria, Yunani, atau wilayah Balkan saat itu bagai David melawan Goliath. Novel karya Elizabeth Kostova ini mengisahkan perlawanan seorang tokoh dari Wallachia: Vlad Tepes.
Vlad Tepes inilah yang menurut Kostova, 41 tahun, merupakan sosok yang menjadi muasal kisah Drakula. Selama ini gambaran kita tentang Drakula datang dari pengarang Abraham Stroker. Stroker, menurut Kostova, menggambarkan Drakula sebagai vampir—tanpa pergi ke Transilvania. Sampai kini semua versi populer komik hingga film Hollywood menampilkan Drakula sebagai sosok pria perlente, berjubah, yang memiliki taring pengisap darah—dalam Srimulat pun demikian. Kostova menampik. Risetnya di Bulgaria membuatnya berpendapat bahwa asal-usul Drakula harus dilacak dari dokumen dunia Ottoman.
Maka novelnya berkisah tentang seorang sejarawan yang memburu biografi Vlad Tepes. Sejarawan itu meneliti arsip-arsip tua perpustakaan Istana Topkapi di Istanbul yang pada masa lalu menjadi pusat dinasti Ottoman—dari manuskrip, surat gulung, hingga perkamen berbahasa Slavonis di sejumlah perpustakaan biara tua Bulgaria dan Hungaria. Ia juga mengunjungi Targoviste, bekas ibu kota Wallachia.
Dan inilah temuannya: Vlad Tepes adalah penguasa Wallachia yang naik takhta pada usia ke-25 pada 1546. Ia dilahirkan di Sighisora, Transilvania. Ayahnya bernama Vlad Dracul. Itulah makanya Tepes dipanggil Dracula, yang berarti anak laki-laki. Tepes memang dikenal sebagai penguasa bengis. Karena alasan politik, ia membunuh ribuan rakyatnya dengan cara keji, seperti dipanggang. Watak biadabnya ini tapi ada hubungannya dengan kekejaman Turki.
Sang ayah adalah pejabat dari organisasi pertahanan Kekaisaran Romawi. Ketika Tepes masih anak-anak, ayahnya melakukan tawar-menawar politik dengan Sultan Mahmud II dengan menyerahkan Tepes sebagai sandera. Dari Galipoli, Tepes dibawa ke Anatolia dan ditahan pada 1442-1448. Dalam tahanan itu Tepes kecil menyaksikan seni dan metode menyiksa para algojo Ottoman, yang kemudian menjadi inspirasinya.
Tepes tewas pada awal Januari 1477. Sekelompok pangeran di Wallachia berbelot berpihak ke Sultan Mahmud II—karena muak melihat kekejamannya. Leher Tepes dipotong dan dibawa ke Bizantium, diserahkan ke Sultan Mahmud II.
Tapi ternyata kematiannya pun masih menakutkan Sultan. Penguasa Istanbul itu pada 1478 mengirim surat ke penguasa baru Wallachia untuk mengirim dokumen apa saja berkenaan dengan Tepes. Entah kenapa, Sultan ingin membuat perpustakaan yang berisi kisah-kisah tentang Tepes. Dan ”aneh”-nya Sultan kemudian juga mengumpulkan banyak buku tentang kekerasan. Di antara koleksinya ada karya Herodotus: The Treatment of Prisoners of War, karya Pheseus: On Reason and Torture, Uethymus the Elder: The Fate of the Damned, Giorgio of Padua: The Damned, Erasmus: Fortune of an Assassin.
Inilah tafsir menarik oleh Elizabeth Kostova. Kita tak tahu seberapa jauh persentase fakta di situ. Semenjak novel-novel Umberto Eco dan Jose Louis Borges, memang muncul tren ”novel” yang menggabungkan fiksi dan sejarah. Novel Kostova yang menggarap dunia Ottoman makin memperkaya hal itu. Ia merampungkan novel itu selama 10 tahun. Novelnya itu bakal diangkat ke layar perak oleh Douglas Wick, produser film Memoirs of a Geisha dan Gladiator.
Dapat kita bayangkan film itu pasti kolosal. Membaca novel ini terasa unsur wacana yang bertolak dari riset lebih dominan daripada menampilkan situasi-situasi yang hidup. Itu terutama pada halaman-halaman saat sang sejarawan berdiskusi dengan para profesor dari Universitas Bukarest, Akademi Keilmuan Bulgaria, British Library, sampai Universitas Istanbul.
Pada titik ini lebih asyik, misalnya, membaca Balthasar’s Odyssey (telah diterjemahkan Serambi, 2006) karya Amin Maalouf, yang mengisahkan seorang pedagang buku di Genoa keturunan Libanon bernama Baldassare Embriaco. Ia berkeliling mengarungi separuh benua hanya untuk mencari kitab yang membahas nama Tuhan yang keseratus.
Imajinasi pembaca bisa dibawa menyusuri hal-hal menakjubkan di Genoa, Libanon, Maroko, Turki, Yunani, Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, sampai Prancis. Juga demikian saat membaca Mystery Solitaire karya Jostein Gaarder— (telah diterjemahkan oleh Jalasutra, 2005) yang menceritakan perjalanan keliling Eropa seorang ayah dan anak mencari sang ibu. Kita seolah diculik ke dalam petualangan penuh keajaiban kecil yang mempesona.
Akhir novel The Historian agak mengganggu. Tiba-tiba Kostova memasukkan kemungkinan Vlad Tepes hidup. Legenda mengatakan tubuh Tepes kemudian dibawa ke sebuah biara di Bulgaria. Sedangkan kepalanya tetap di Istanbul. Bila kedua bagian tubuh itu disatukan, ada yang percaya ia bakal hidup lagi. Sang sejarawan sendiri juga tertarik mencari kuburan atau sarkofagus Tepes. Novel yang awalnya ”dekonstruktif” ini seolah berujung pada khayal. Unsur sejarah yang kaya menjadi agak kendur. Bila ia ingin membuat klimaks di akhir cerita, itu tak tersampaikan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo