Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOHANES Djauhari menunjukkan printer tiga dimensi (3D) rakitan terbarunya. Ia memperlihatkan beberapa contoh benda yang dihasilkan printer itu; ada miniatur hewan, arca, hingga tokoh superhero. Ukurannya tak lebih besar dari sebuah gelas mug. Benda-benda itu terbuat dari plastik ramah lingkungan jenis polylactic acid berbahan dasar biji jagung. Ketika dipegang, hasil printout terasa padat dan solid.
Printer 3D seperti rakitan Johanes ini memang sedang booming. Kemampuannya mencetak benda bervolume dengan presisi tinggi membuat banyak pihak tertarik menggunakannya, terutama perusahaan besar sebagai pembuat benda prototipe. Menyadari ini adalah "gadget masa depan", Johanes mencoba serius menekuni cara merakit printer 3D. Rintangan terbesar dalam proses merakit adalah langkanya komponen yang tersedia di Indonesia.
"Komponen lokal cuma bautnya saja. Meski bahannya ada, banyak yang ukurannya tak tersedia," kata Johanes, master lulusan Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia, ketika ditemui di kantornya di Jakarta, dua pekan lalu. Meski kesulitan mendapatkan bahan baku, ia tak menyerah. Untuk menyelesaikan proyeknya ini, ia harus terbang ke Cina, Inggris, Singapura, hingga Amerika buat berburu komponen.
Hobi Johanes merakit printer 3D berawal pada 2011. Kala itu, gaung printer 3D di Indonesia masih belum terdengar, meski sudah ada beberapa distributor yang memasarkan printer jenis ini. Adalah adiknya, Yopi Djauhari, yang mencetuskan ide untuk merakit printer 3D. Tujuannya untuk menunjang pekerjaan mereka sebagai perancang grafis. Printer rakitan pertama yang mereka hasilkan jauh dari memuaskan. "Merakit printer 3D itu sulit," ujarnya.
Pada rakitan kedua, Johanes mengklaim sudah jauh lebih bagus. Hanya, masih ada satu kendala, yakni mengatur tingkat kalibrasi mesin. Printer rakitan ini memiliki tingkat kalibrasi 0,2 milimeter, yang menunjukkan tingkat toleransi penyimpangan saat proses pencetakan agar obyek tercetak seperti aslinya. Untuk merakit satu printer 3D, Johanes membutuhkan waktu sekitar enam bulan dan dana Rp 12 juta.
Cara kerja printer 3D cukup sederhana. Obyek yang hendak dicetak lebih dulu dibuat menjadi format file tiga dimensi. Ini bisa dilakukan dengan memotret setiap sudut obyek yang akan dicetak, biasanya terdiri atas 50 jepretan. Lalu untuk menerjemahkan ke format 3D digunakan peranti lunak khusus, misalnya Printer Face dan Repetier, seperti yang dipakai Johanes. Ada juga aplikasi 123D Catch, yang bisa diunduh dari Internet.
Setelah itu, komputer dihubungkan ke motherboard printer melalui kabel USB. Motherboard inilah yang memerintahkan gerakan koordinat X, Y, dan Z, menerjemahkan dokumen digital menjadi obyek 3D. "Mereka akan memproses foto-foto tersebut. Setelah kita dapatkan file tiga dimensi, barulah bisa kita print," Johanes menjelaskan.
Sedangkan polylactic acid dipasang ke dalam salah satu motor penggerak yang menjadi tempat melelehkan materi plastik hingga suhu 190 derajat Celsius. Ketika sudah meleleh, polylactic acid berubah menjadi serat halus mirip bihun putih. Lantas, dengan gerakan memutar, serat-serat itu membentuk pola sesuai dengan bentuk obyek yang dikehendaki.
Polylactic acid menjadi materi paling banyak dipilih karena sifatnya yang mudah meleleh dan cukup solid setelah mengeras. Sayang, harganya cukup mahal. Setiap gulungan seberat 2,2 kilogram harganya Rp 1 juta. Umumnya untuk menentukan harga jual benda hasil cetakan dilihat dari jumlah materi yang dibutuhkan. Johanes mencontohkan, untuk obyek berukuran 10 x 10 sentimeter dengan berat 30 gram, harganya dipatok Rp 120 ribu.
"Harga satu gram Rp 4.000. Ini dihitung dari ketebalan obyek karena menentukan banyaknya penggunaan polylactic acid," ujarnya. Meski printer 3D masih terbilang mahal, pria kelahiran 28 Oktober 1981 ini optimistis penggunanya dalam waktu lima tahun mendatang akan tumbuh dua kali lipat. Bahkan, dalam kurun 15 tahun ke depan, printer 3D diyakini menjadi teknologi rumahan seperti halnya printer konvensional.
Tampaknya optimisme Johanes perlahan bakal terwujud. Sebab, tahun ini merupakan tahap pengenalan teknologi printer 3D kepada masyarakat. Pada Pekan Raya Jakarta lalu, misalnya, beberapa perusahaan mulai memperkenalkan printer 3D. "Animo masyarakat terhadap printer jenis ini sangat tinggi," kata Eriska Wibowo, Account Manager PT Kirana Sakti Komputindo, salah satu distributor printer 3D di Indonesia.
Penggunaan printer 3D saat ini memang masih terbatas di lingkungan perusahaan. Harga yang mahal menjadi alasan utama. Eriska menyebutkan, harga termurah printer 3D adalah Rp 20-30 juta. Sedangkan untuk level industri harganya bisa mencapai Rp 500 juta-Rp 2 miliar. Ia berharap printer 3D nantinya bisa digunakan di berbagai bidang, dari pendidikan, desain grafis, kedokteran, arsitektur, hingga rumah tangga.
PT Datascrip, distributor printer 3D lainnya di Indonesia, malah memperkirakan pasar printer 3D di Tanah Air saat ini sudah sebesar US$ 1 juta dan trennya akan terus tumbuh sekitar 10 persen per tahun. Datascrip memasarkan 3D printer merek ProJet, yang menggunakan material komposit khusus dalam bentuk bubuk dengan kemampuan mencetak berwarna.
"Printer 3D mulai masuk Indonesia sekitar awal 2000 dan kami mulai memasarkannya mulai 2007. Setiap tahun kami bisa menjual sekitar lima unit," ucap Andreas Pakasi, Marketing Manager PT Datascrip.
Printer 3D pertama kali diperkenalkan oleh Charles W. Hull pada 1986. Ia pun memegang hak paten stereolithography, teknologi untuk mencetak obyek dalam tiga dimensi. Kini teknologi printer 3D sudah banyak dikembangkan di beberapa negara, antara lain digunakan di bidang pembuatan prototipe perhiasan, alas kaki, industri desain, arsitektur, mesin dan konstruksi, otomotif, penerbangan, industri kesehatan, serta pendidikan.
Di Cina, penggunaan teknologi ini bahkan jauh lebih maju lagi. Pinter 3D mampu mencetak sampel tulang rawan telinga yang terbuat dari sel jaringan asli. Para peneliti di Hangzhou Dianzi University membuat printer jaringan 3D yang diberi nama Regenovo. Printer ini dapat menghasilkan sampel tulang rawan telinga dalam waktu kurang dari satu jam.
Sekitar 90 persen dari sel-sel yang dicetak ini mampu bertahan dan tetap hidup selama empat bulan. Dari keberhasilan itu, para peneliti di Hangzhou sedang mencoba bagian tubuh lain untuk dikembangkan dengan menggunakan printer 3D.
Belum lama ini printer 3D juga mampu menghasilkan senapan laras panjang hasil kreasi Matthew, pria berkebangsaan Kanada. Senapan yang dinamai Grizzly ini awalnya tak mampu menembakkan satu butir pun peluru. Setelah disempurnakan, Grizzly versi terbaru yang dibuat dari material plastik ABS+ dan dicetak menggunakan printer 3D profesional Stratasys ini dapat memuntahkan 14 peluru kaliber 22 sebelum akhirnya rusak.
Rosalina
Cara Kerja Printer 3D
Pembuatan obyek tiga dimensi dari sebuah model digital, atau lebih dikenal dengan pencetakan 3D, diprediksi akan merevolusi cara berbagai industri manufaktur memproduksi barangnya. Beginilah cara kerja printer 3D:
1. Sebuah citra 3D diciptakan dengan peranti lunak desain di komputer.
2. Motor menarik masuk filamen atau benang-benang plastik, melelehkan plastik itu, dan mendorongnya melewati nozzle (mulut pipa).
3. Printer meletakkan lapisan material cairan, serbuk, kertas, atau logam secara berÂgantian dan membangun model dari serangkaian gerak melintang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo