Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI sebuah revolusi pertanian," Himadri Pakrasi, doktor bidang ilmu biologi dari Washington University di St Louis, Amerika Serikat, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Melalui kanal berita internal universitasnya, www.news.wustl.edu, pada Agustus lalu ia mengabarkan keberhasilan kelompok peneliti pimpinannya merekayasa tanaman hingga bisa memproduksi senyawa nitrogen sendiri sonder bantuan bahan kimia, juga campur tangan makhluk hidup lain.
Selama ini, meski nitrogen bertebaran di atmosfer bumi, tak semua zat itu bisa diikat dan dimanfaatkan oleh tumbuhan. Perlu proses kimia panjang dengan bantuan bakteri tertentu yang menangkap nitrogen dari udara, mengubahnya menjadi senyawa yang bermanfaat seperti amoniak (NH4), nitrit (N02), dan nitrat (N03), kemudian mengendapkannya ke tanah untuk diserap oleh akar tanaman. Ini dinamakan proses fiksasi nitrogen.
Beberapa tanaman, seperti polong-polongan, kacang, dan semanggi, memiliki bakteri tersebut pada akar mereka. Namanya rhizobia. Tapi sebagian besar tumbuhan lain menyerap amoniak, nitrit, dan nitrat yang difiksasi oleh bakteri bebas di tanah, seperti pennibacilus dan azotobacter. Akibatnya, jika bakteri-bakteri ini kurang atau tak ada, tanaman-tanaman itu pun akan kekurangan senyawa nitrogen.
Karena itu, sebagian besar pertanian modern memilih menggunakan senyawa nitrogen biologis buatan pabrik alias pupuk. Proses kimia untuk pembuatan pupuk nitrogen ditemukan oleh peneliti asal Jerman, Fritz Haber, pada 1909.
Tapi itu bukan tanpa masalah. Pupuk buatan yang ditebar pada tanaman pangan ternyata mendatangkan efek buruk bagi manusia. Banyak penyakit bisa dipicu oleh kandungan bahan kimia dari pupuk buatan, dari sakit pernapasan, serangan jantung, hingga kanker.
Berupaya menciptakan penyubur tanamÂan tanpa proses kimia yang membahayakan kesehatan, Pakrasi sampai pada kesimpulan: tanaman harus dibantu untuk membuat senyawa nitrogennya sendiri. Mereka menggunakan bakteri cyanobacteria, alga biru, yang mampu memfiksasi nitrogen dari udara dan menyerapnya tanpa perlu melalui akar. Dalam uji coba awal, cyanobacteria mereka suntikkan ke bakteri yang tidak memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen. Hasilnya menakjubkan: bakteri itu ikut memiliki kemampuan menangkap dan mengolah nitrogen dari udara.
Penelitian seharga US$ 3,8 juta atau setara dengan Rp 41,2 miliar ini dibiayai lembaga riset yang peduli akan energi terbarukan. Namanya Yayasan Ilmu Pengetahuan, dari Inggris. Dana disalurkan lewat ÂI-CARES, pusat studi energi terbarukan di Washington University.
Pakrasi optimistis keberhasilan di laboratorium itu juga akan dicapai pada tumbuhan di lahan pertanian. Rencananya dia hendak menyuntikkan cyanobacteria ke dalam zat hijau daun agar tanaman bisa menyerap nitrogen dari udara, mengubahnya menjadi senyawa nitrogen dan langsung memanfaatkannya. "Cuma, kami perlu mengatur siklus bakteri agar bisa bekerja memproduksi nitrogen pada malam hari. Sebab, pada saat fotosintesis, oksigen dan nitrogen memiliki sifat saling menghancurkan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo