Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peluncuran Satelit Palapa A1 pada 8 Juli 1976 menjadi tonggak perkembangan sistem telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia. Sejak itu, Indonesia telah sebelas kali mengorbitkan Palapa—diambil dari nama sumpah yang diucapkan Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Saat ini dua Satelit Palapa, yakni C2 dan D, masih beroperasi. Masing-masing mengorbit di lintasan 150,5° bujur timur (BT) dan 113° BT.
Majalah Tempo edisi 7 September 1985 menulis tentang kehebohan yang terjadi saat Palapa B1 rusak. Gangguan pada satelit itu menyebabkan sistem komunikasi di sebagian wilayah Indonesia lumpuh.
Ketika itu Jumat, 30 Agustus 1985. Pagi masih gelap. Alarm dari sistem telemetri pemonitor ”kesehatan” Palapa di Ruang Pengendali Utama Satelit Palapa di Stasiun Pusat Cibinong, Jawa Barat, tiba-tiba menyalak. Gara-garanya, sinyal Palapa B1 melemah. Jet pengendali nomor dua yang berfungsi menegakkan satelit rupanya mendapat perintah palsu, sehingga mengeluarkan semburan yang menggoyang tubuh satelit. Itu membuat antena satelit miring dan B1 perlahan bergeser dari orbitnya di 108° BT.
Para petugas pun bergegas, mencoba mengembalikan posisi satelit dengan mengoperasikan tiga jet pengendali lainnya. Tapi B1 tidak terkendali. Tak cuma bergeser dari kavelingnya, ia juga melesat keluar dari wilayah angkasa khatulistiwa, hanyut ke barat dengan kecepatan 1 derajat setiap hari. Bersamaan dengan itu putaran satelit menjadi lambat, membuat Palapa tidak lagi tegak lurus terhadap bidang orbitnya, tapi membungkuk 10 derajat. Perlahan-lahan sinyal tak teraba, hingga akhirnya menghilang.
Ruangan pengendali langsung heboh. Kantuk para petugas jaga segera berganti dengan rasa panik. Wajar saja mereka kaget. Sejak Palapa A1 diluncurkan pada 1976, baru kali ini ada peristiwa satelit bergeser posisi.
Beberapa jam kemudian kepanikan merembet ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Komunikasi yang menggunakan Sistem Komunikasi Satelit Domestik mendadak terputus sama sekali. Di sebagian wilayah Indonesia, dari Banda Aceh, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Ujungpandang, Balikpapan, hingga Manado, siaran TVRl tak bisa ditangkap. Aktivitas bisnis juga terganggu. Transaksi perbankan, terutama pada cabang-cabang di wilayah Indonesia timur yang belum terjangkau hubungan microwave, terhambat.
Goyangnya Palapa B1 juga berimbas pada Malaysia. Siaran Radio Televisyen Malaysia saluran II untuk Sabah dan Sarawak ikut lenyap selama tiga setengah jam.
Untungnya sebagian wilayah Indonesia juga memiliki sistem komunikasi terestrial yang menggunakan selubung mikro. Berkat jaringan terestrial ini, hubungan telekomunikasi di wilayah-wilayah tersebut tidak terputus. Telepon langsung jarak jauh, misalnya, sekalipun sulit, tetap jalan. Demikian pula siaran TVRl dari Jakarta bisa terus diudarakan melalui jaringan microwave ini.
Para petugas dari Hughes Aircraft System International, yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia mengendalikan Palapa, mati-matian berusaha mengembalikan Palapa ke posisi semula. Tapi tidak mudah. Setelah 75 jam bekerja dari pusat pengendali di Cibinong dan di Amerika Serikat, baru mereka berhasil mengembalikan B1 ke kavelingnya.
Badai komunikasi itu lewat. Pemerintah kemudian mengumumkan tak lagi mau bergantung hanya pada satu sistem komunikasi. ”Kini kami sadar betapa perlunya mempersiapkan sistem penunjang yang lain,” kata Achmad Tahir, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo