Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumpek di ruang kuliah justru melahirkan ide cemerlang di kepala Ronny Hendrawan, seorang mahasiswa Teknik Informatika dari Institut Teknologi Bandung. Bersama sejumlah kawannya, dia mengikuti kelas jarak jauh School of Internet, Institut Teknologi Bandung (SOI-ITB). Dosennya beberapa profesor di Jepang. Kelasnya kecil, cukup nyaman, dengan pendingin udara. Sekitar 10 mahasiswa mengisi kelas ”antarnegara” itu.
Tapi kenyamanan kuliah kerap terganggu oleh suara dan gambar yang terputus-putus. Konsentrasi peserta kuliah pun buyar. Ronny langsung mafhum bahwa biang keladinya adalah bandwidth (saluran internet) yang kecil. Juni lalu, Ronny kesal bukan main saat mengikuti kelas bio-informatika yang dia gemari. Gambar Pak Profesor di layar kembali putus-sambung. Padahal, ”Materi kuliah amat menarik,” kata Ronny, 22 tahun.
Dia memutuskan membuat perangkat lunak telekonferensi yang tidak menguras bandwidth. Ronny mengajak tiga kawan seangkatannya: Arie Minandar Anggiat, Efendy Chalikdjen, dan Maria Helena Iwo. ”Saya yakin kebutuhan bandwidth pasti bisa dipotong, karena cakupan internet pita lebar (broadband) masih terbatas,” katanya.
Mujur datang. Saat mereka mulai merancang, perusahaan peranti lunak asal Amerika Serikat Microsoft mengumumkan lomba Imagine Cup 2007 Software Design Indonesia.
Lomba yang diadakan Microsoft Indonesia pada awal Juli lalu itu bertujuan mencari wakil Indonesia untuk mengikuti Imagine Cup Dunia di Korea Selatan. Empat anak muda ini mendaftarkan diri dengan nama Tim Sekawan. Karya mereka berjudul ”Project Wayang”.
Ronny menamakannya wayang karena yang mereka hadirkan dalam telekonferensi adalah boneka tiga dimensi. Boneka ini bergerak mengikuti gerakan sang dalang alias si penyampai materi maupun lawan bicaranya yang muncul di monitor. Dalam telekonferensi, pengiriman gambar merupakan proses yang menyedot kapasitas pita internet. Walhasil, telekonferensi hanya membutuhkan kapasitas internet 80 kilobita.
Efendy, salah satu anggota Tim Sekawan mengatakan, gerakan dosen, termasuk mimik wajah dan suara, menjadi penggerak boneka animasi di layar komputer mahasiswa. Jadi, materi kuliah diakses lewat internet sebelum kelas dimulai. Corat-coret pengajar di papan tulis akan dipancarkan secara real-time (pada saat yang sama) di sisi boneka tiga dimensi. Hasilnya, suara yang jernih, gambar tidak patah-patah, dan mahasiswa nyaman mengikuti kelas.
Tugas pun dibagi buat semua anggota Sekawan. Arie merancang perangkat lunak dan sistem jaringannya. Efendy mengerjakan peranti lunak interface (tampilan layar) berupa pemancaran electronic handwriting—materi yang dituliskan pengajar di papan tulis via internet. Ronny, yang juga ketua tim, menggarap Avatar alias gambar boneka tiga dimensi. Maria menjajaki kemungkinan pengembangan bisnisnya.
Teori yang mereka gunakan sederhana, mengganti gambar pengajar dengan boneka. Tapi, justru inilah bagian tersulitnya: bagaimana membuat gambar yang bisa mengikuti gerak dan mimik pengajarnya. Ronny membikin Avatarnya dengan video animasi. Aksi pengajar yang mulai menulis di papan menjadi acuan untuk pemilahan rangkaian film animasi tiga dimensi yang akan diputar.
Ketika dipertunjukkan dalam semifinal Imagine Cup di Bandung awal bulan ini, Boneka Avatar terlihat membuka tutup mulutnya seperti sedang berbicara ketika suara pengajar diperdengarkan. Boneka itu juga mampu bergerak berbalik seperti menulis di papan tulis. Ini terjadi bila coretan di kotak khusus dalam layar di sebelah boneka, yang merupakan pengganti papan tulis, memunculkan tulisan tangan.
Dosen Teknik Informatika ITB, Dwi Hendratmo Widiantono, mengatakan bahwa karya Tim Sekawan ini merupakan terobosan teknologi informasi. Menurut Dwi, temuan ini bisa dimanfaatkan di daerah-daerah yang belum terjangkau jaringan internet pita lebar, misalnya untuk menggelar kelas jarak jauh. ”Sebab, telekonferensi harus berjalan dalam jaringan dengan kapasitas bandwith antara 200–300 kilobita per detik,” katanya.
Anggota tim lainnya, Arie Minandar, mengatakan bahwa penggunaan kapasitas internet bisa ditekan lebih lagi jika data suara yang akan dikirim terlebih dulu diciutkan. Dan, komputer yang bisa menggunakan perangkat lunak ini pun tak perlu canggih-canggih amat. Cukup dengan sistem operasi Windows XP. ”Asal mampu menjalankan render animasi Avatar dan memiliki memori (RAM) 256 megabita per detik,” kata Arie.
Menurut Arie, boneka Avatar itu bisa digerakkan bak wayang, tapi perlu sejumlah program tambahan dan pemindai webcam. Rekaman webcam akan menandai pergerakan titik-titik seperti siku dan pergelangan tangan untuk menjadi pemandu gerakan lengan boneka. Bahkan mimik pengajar juga bisa diikuti dengan memindai gerakan alis hingga ujung bibir pengajar. ”Karena waktu lomba mepet, kami bikin pakai film animasi dulu,” katanya.
Dalam lomba, teknologi ”Project Wayang” berhasil menembus kelompok lima besar dari 513 pendaftar di seluruh Indonesia. Mereka gagal menjadi pemenang untuk mewakili Indonesia pada kejuaraan dunia di Korea. Juri menilai program tersebut tidak berguna lagi jika semua daerah di Indonesia telah terlayani jaringan internet berpita lebar.
Zeddy Iskandar, Academic Developer Evangelist PT Microsoft Indonesia, menilai ”Project Wayang” merupakan hasil rancangan yang cerdas. Tapi, ia sependapat dengan juri yang menyangsikan nasib program ini untuk jangka panjang. Selain itu, perangkat ini bakal sulit go international. Toh, Zeddy tetap mengakui bahwa untuk beberapa tahun ke depan teknologi telekonferensi ini masih bermanfaat di Indonesia.
Karena itu, Ronny dan kawan-kawan tetap optimistis dapat mengembangkan proyeknya. ”Kami yakin peluang masih terbuka karena banyak yang akan memerlukan teknologi ini,” kata Ronny. Menurut dia, perlu waktu lama sebelum penetrasi internet pita lebar benar-benar menyentuh semua daerah di Indonesia. Kalaupun itu terjadi, Tim Sekawan dapat mengubah peranti lunaknya menjadi game online sehingga tetap layak jual.
Adek Media, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo