Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meliput Jejak Krisis

DARI rapat penyusunan rencana kerja redaksi di Wisma Tempo di Sirnagalih, Cipayung, Bogor, Januari lalu, lahirlah ide membuat edisi khusus ”10 Tahun Krisis Ekonomi” ini. Persiapan memang cukup panjang karena inilah edisi dengan liputan paling luas selama Tempo terbit kembali.

Tugas berat sebagai pemimpin proyek jatuh ke pundak Heri Susanto, penanggung jawab rubrik ekonomi. Heri tahu benar proyek yang memakan biaya tak sedikit ini harus digarap sejak awal. Liputan tak hanya di Tanah Air, tapi juga merambah ke negeri orang: Korea Selatan dan Thailand. Dua negara itu perlu didatangi karena asal-muasal krisis dari sana datangnya. Lagi pula, kedua negara juga contoh sukses bangkitnya ekonomi setelah diamuk badai krisis ekonomi sejak 1997 itu.

Bola pun langsung dibagi. Heri menggawangi liputan Indonesia. Sedangkan urusan Korea dan Thailand dipercayakan kepada Yandhrie Arvian dan Wahyu Dhyatmika, staf redaksi di desk ekonomi dan nasional.

Ternyata tak mudah menuliskan peristiwa 10 tahun silam ini. Mau tak mau, tumpukan dokumen lawas harus dibongkar. Untuk menyegarkan ingatan dan mempertajam analisis, diskusi pun digelar dengan sejumlah ekonom dan analis. Faisal Basri, Cyrillus Harinowo, Robert Simanjuntak, Mirza Adityaswara, dan Chatib Basri termasuk yang kami undang.

Sembari melakukan riset, kontak-kontak segera dijalin dengan sejumlah pihak di Korea dan Thailand. Uluran tangan dari Kedutaan Indonesia di dua negara itu amat membantu, juga Kedutaan Thailand di Indonesia, Korea Trade-Investment Agency, serta rekan-rekan wartawan di harian Korea Times dan kantor berita Korea, Yonhap News Agency. Andil mereka tidak kecil dalam pelacakan sumber-sumber penting di sana.

Setelah semua persiapan matang, barulah Komang—sapaan akrab Wahyu—dan Yandhrie menuju ”sasaran”. Sekitar 10 hari keduanya mereportase dan mewawancarai sejumlah tokoh penting di sana, termasuk mantan Presiden Korea, Kim Dae-jung, yang sukses membawa negerinya keluar dari krisis dan Menteri Pertanian Thailand, Thira Sutabutra.

Satu pengalaman berharga—persiapan matang saja tak cukup. Kendala bahasa, khususnya di Korea, perlu dipikirkan secara matang. Seorang penerjemah asal Indonesia yang menyertai Tempo pun sempat kelabakan karena dialek daerah-daerah di Korea beragam. Dengan segala usaha, hasil liputan di dua negara itu akhirnya rampung juga dan menjadi ”daging” sajian edisi khusus ini.

Sebelumnya, di bulan Mei, pemimpin redaksi berkesempatan mengunjungi Vietnam, mengikuti program kunjungan editor senior regional yang diselenggarakan Temasek Holdings Singapura. Hasil liputannya turut memperkaya edisi khusus ini.

Di Indonesia, tokoh-tokoh kunci dan saksi hidup di balik krisis ekonomi 10 tahun silam tak luput dari buruan. Mereka yang menikmati berkah krisis di pedalaman Kalimantan Timur dan Sumatera Utara pun kami datangi untuk diwawancarai.

Kesibukan yang mendebarkan juga melanda desk foto. Bismo Agung, ketua tim foto edisi khusus ini, menghabiskan dua pekan untuk meriset lokasi pemotretan di beberapa puncak pencakar langit Ibu Kota. Berulang kali dia harus menahan miris di lantai teratas gedung—pada ketinggian sekitar 140 meter—demi menanti warna langit yang cerah.

Satu pengalaman berharga kami rekam: selalu ada cahaya di ujung lorong setelah masa-masa gelap yang mengerikan. Tentang seberapa cepat cahaya itu kembali menerangi, tergantung seberapa banyak kita mau berkorban dan bekerja keras. Rakyat Korea Selatan menyumbangkan simpanan emas kepada negaranya. Adakah kita di sini sudah berkorban begitu besar?

Alhasil, kami ingin menyajikan kepada Anda, para pembaca yang budiman, sebuah gambaran yang lengkap: apa yang terjadi di tahun ”celaka” itu dan apa yang terjadi 10 tahun kemudian. Hasilnya sebuah laporan yang menarik, walau belum sempurna, dan semoga menjadi sumbangan kecil kami untuk belajar dari salah satu bencana ekonomi besar dunia itu.

Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi


Kepada Telkom dan Rita Haryati

Pertengahan Februari 2007, saya pindah rumah ke sebuah perumahan di Kelurahan Harjamukti, Cimanggis, Depok. Di situ, saya langsung memperoleh nomor telepon baru dari pihak developer sesuai janji, yaitu 021-84571.…

Secara teknis, tak ada yang salah dengan nomor ini. Hanya kami sangat terganggu dengan seringnya ”telepon nyasar” dari para penelepon yang mencari orang bernama Rita Haryati. Sering kami jawab singkat ”salah sambung”. Tapi sering juga kami harus menjelaskan kalau kami baru belum genap lima bulan memakai nomor ini. Kami juga tak kenal dengan Rita Haryati dan tidak tinggal di alamat yang disebut penelepon. Kemungkinan besar Telkom menghidupkan nomor yang sudah lama tidak dipakai/dibayar oleh pelanggan lama—ada kemungkinan si Rita Haryati ini—dan mengoper/menjualnya ke kami.

Kami merasa perlu menulis surat ini karena frekuensi ”salah-sambung” kian sering terjadi dan nada bicaranya semakin tak mengenakkan. Kesannya kami seolah sengaja menyembunyikan atau melindungi Rita Haryati ini. Saya menduga, Rita Haryati ini sengaja menghindari kewajiban. Dan benar, tanggal 28 Juni 2007 saya menerima telepon dari Panin Bank (bagian pengelola credit card) mencari Rita Haryati, yang menurut data tercatat sebagai karyawati Garuda Indonesia. Orang Panin ini kesal karena yang bersangkutan punya utang sebesar Rp 5 juta lebih dan tidak ada itikad baik untuk menyelesaikannya.

Sekian hari berikutnya, ada telepon pula dari Bank Mandiri yang menyebutkan, Saudari Rita ini punya utang kartu kredit Rp 30 juta. Esoknya lagi, 11 Juli, giliran dari Bank Niaga yang mengaku punya piutang Rp 20 juta pada orang yang sama. Melalui surat ini kami mengimbau Saudari Rita Haryati untuk ”membuka diri” dan jangan bersembunyi di balik nomor telepon yang saya pakai. Masalah Anda sudah menyusahkan kami sekeluarga. Kami juga minta Telkom tidak lagi menjual nomor-nomor kedaluwarsa demi mencegah hal seperti yang saya alami.

Jujur Prananto Harjamukti, Cimanggis, Depok

Penertiban Mobil Dinas

Komisi Yudisial (KY) menemukan fasilitas kantor yang digunakan sejumlah hakim seperti mobil dinas di berbagai daerah digunakan anggota keluarganya. Menurut laporan yang masuk ke Komisi Yudisial, hakim sering naik motor ke kantor, sedangkan istrinya memakai mobil dinas. ”Mobil dinas juga digunakan untuk urusan pribadi para hakim ke luar kota,” kata Sekretaris KY Andi Djalal pada ”Workshop Partisipasi Masyarakat Membangun Peradilan yang Bersih, Jujur dan Profesional” di Kupang baru-baru lalu.

Penyimpangan pemakaian mobil dinas sebenarnya nyaris dilakukan di semua instansi pemerintahan. Bahkan mobil nyaris beralih fungsi sebagai kendaraan pribadi para keluarganya. Mobil dinas yang dibiayai dari uang rakyat sebenarnya untuk memudahkan pejabat pemerintahan menjalankan tugasnya. Sayangnya, mereka tidak mau tahu fungsi dari pemberian mobil dinas tersebut.

Sebaiknya setiap instansi pemerintah menertibkan mobil-mobil dinas yang dipergunakan dengan tidak semestinya. Beri sanksi yang tegas, jangan karena mereka pejabat lalu sungkan untuk menindaknya. Negara memberikan fasilitas tentunya dengan mengeluarkannya dengan biaya tinggi. Belum lagi perawatannya dibebani juga kepada negara.

Fatur Jalan Bakti No. 101, Jakarta Selatan

Partai GAM (1)

Sudah tidak bisa disangkal lagi jika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pernah mengikhtiarkan kemerdekaan bangsa Aceh dan lepas dari Republik sepanjang 1976 hingga 2005. Tapi, ekspresi separatisme itu sudah dikunci dengan ditekennya Nota Kesepahaman (MoU) RI-GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005. Menurut nota kesepahaman ini, GAM diperbolehkan mendirikan partai lokal di Aceh. Tapi, dalam butir IV.1 disebutkan, anggota GAM tidak boleh lagi memakai seragam atau atribut militer lain setelah penandatanganan MoU.

Memang, bendera bulan sabit-bintang itu sudah melekat pada GAM sejak 1976. Bagi GAM, ini adalah lambang identitas. Meskipun jelas bukan ekspresi atau ikhtiar untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Aceh, pemakaian nama dan identitas GAM sangat riskan dan tidak menunjukkan kesungguhan GAM dalam menjalankan MoU Helsinki.

Merujuk ke MoU dan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, semua anggota GAM saat ini adalah orang Republik dan wajib mempertahankan NKRI. Gerakan bersenjata tak boleh lagi menjadi instrumen perjuangan GAM. Pasal 81 UU itu malah menyebutkan, partai lokal berkewajiban mengamalkan Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lain, serta mempertahankan keutuhan NKRI. Jika GAM berkukuh menggunakan bendera bulan sabit-bintang, perlu dipertanyakan maksud dan tujuannya agar semuanya jelas dan transparan.

Pribadi Santosa Ciomas, Bogor

Partai GAM (2)

Pendirian partai lokal oleh GAM dengan menggunakan nama dan atribut GAM menimbulkan kritik dan kecurigaan banyak kalangan di negeri ini. Tetapi GAM sendiri berkeras tidak akan mengubah nama dan lambang partai. Menurut Sekjen GAM Nazar, penggunaan nama GAM dan lambang bulan-bintang dinilai tidak melanggar nota perjanjian damai Helsinki, karena tanda gambar dan lambang Partai GAM yang serupa dengan bendera GAM bukanlah simbol militer GAM.

Dalih GAM mengada-ada karena pendirian partai GAM dengan membawa lambang dan nama yang sama dengan gerakan separatisme tetap melanggar MoU Helsinki, UU Pemerintahan Aceh, dan PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Lokal di Aceh. Memang, mendirikan parpol merupakan hak warga negara, tetapi bila parpol tersebut menggunakan lambang dan simbol GAM berarti sama dengan memunculkan konflik baru.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menolak pendirian partai lokal di Aceh yang menggunakan simbol GAM karena hal itu tidak sejalan dengan semangat MoU Helsinki yang mengedepankan upaya perdamaian, rekonsiliasi, dan recovery Aceh. Mereka perlu menyadari bahwa nama dan atribut GAM sebelum perjanjian ditandatangani dipergunakan sebagai lambang perlawanan untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga tidak patut jika mantan anggota GAM tetap memaksakan diri untuk menggunakan nama dan atribut tersebut untuk partai lokal.

Seharusnya, dengan adanya perjanjian perdamaian ini, GAM berkomitmen untuk melupakan dan menanggalkan seluruh atribut dan nama GAM. Jika tidak, tentunya komitmen mereka akan perdamaian ini sangat diragukan. Selain itu, patut dipertanyakan apakah mereka benar-benar setia pada NKRI. Semua pihak perlu mewaspadai agenda terselubung GAM karena bisa saja GAM mempergunakan sebagai kendaraan politik untuk memisahkan Aceh dari NKRI.

Mustofa Jalan Benda , Cilandak, Jakarta

Golput Tak Ada Gunanya

Banyak pihak yang menyayangkan tindakan partai politik yang hanya memunculkan dua kandidat calon gubernur baru untuk memimpin Jakarta pada 8 Agustus mendatang. Dua kandidat Gubernur DKI Jakarta sekarang ini dinilai tidak ada yang memiliki potensi kepemimpinan yang bagus. Ini yang membuat sebagian kalangan pesimistis dengan pelaksanaan pilkada. Keraguan akan kualitas dua calon dikhawatirkan akan membuat banyak yang memilih golput.

Kekhawatiran itu memang tak dapat dipungkiri. Ditambah lagi banyak pihak tak bertanggung jawab mengajak untuk melakukan aksi goput dalam ajang pilkada DKI Jakarta nanti. Demi mengantisipasi masalah itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun bersuara bahwa kampanye untuk tidak memilih atau golput dalam pemilu bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Yonas G. Kebayoran, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus