Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Tujuh Petunjuk Menuju Waskita

Pengadilan Negeri Surabaya mengakui pernikahan pengikut Sapta Darma. Sudah ada aturan baru agar penganut kepercayaan tak mengalami diskriminasi.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari indah bagi pasangan Misman, 27 tahun, dan Dwi Rahayu, 24 tahun, akhirnya datang juga. Pada Selasa pekan lalu mereka melangsungkan pesta pernikahan di Perumahan Pondok Benowo Indah, Surabaya. Kebahagiaan pasangan ini membuncah karena mereka bisa menikah menurut keyakinannya, Sapta Darma.

Sebelumnya, langkah mereka sempat terhambat. Kantor Catatan Sipil Surabaya meminta mereka menikah sesuai dengan agama yang tertera dalam lembar kartu tanda penduduk. Misman dan Dwi tak mau menyerah begitu saja. Jika pasangan ini tak bersedia, Catatan Sipil meminta mereka mendapatkan penetapan pengadilan lebih dulu. Pada Rabu dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Surabaya menetapkan pasangan ini mendapatkan haknya sebagai penganut Sapta Darma.

Ketua Majelis Hakim I Wayan Supartha mengatakan bahwa pasangan ini mampu menunjukkan Sapta Darma bukan organisasi terlarang. Aliran ini juga memiliki rohaniwan dan tata cara pernikahan sendiri. Supartha mengutip ayat dua dalam Undang-Undang Perkawinan: ”Pernikahan sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.”

Putusan itu disambut Misman dan Dwi dengan bersyukur dan memperbanyak ibadah. ”Saya perbanyak sujud kepada Tuhan,” kata Misman yang wiraswastawan. Dwi mengamini.

Ketua Persatuan Warga Sapta Darma Jawa Timur Naen Soeryono menilainya sebagai kado istimewa. Maklum, sejak Januari hingga awal Juli, dari 24 pasangan nikah di wilayahnya, tak satu pun yang dicatat berdasar keyakinan Sapta Darma. Ia berharap putusan ini menjadi preseden hukum sehingga kelak kantor catatan sipil langsung mencatat pernikahan Sapta Darma tanpa harus menunggu pengadilan.

Sulistio Tirtokusumo, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menyebut putusan itu sebagai kemajuan kendati masih berdasar pada aturan lama. Menurut Sulistio, sebetulnya pada 28 Juni lalu telah terbit Peraturan Pemerintah No.37/2007 yang merujuk kepada Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Perkawinan.

Berdasar aturan baru itu, kata Sulistio, pasangan penganut kepercayaan dapat menikah di depan pemukanya sendiri. Pemuka itu yang meneken surat nikah dan kemudian surat itu dibawa ke kantor catatan sipil untuk dicatatkan. Masalahnya, aturan itu belum disosialkan. Pemuka juga belum dipilih oleh organisasi penganut kepercayaan masing-masing. Dan, yang lebih penting, aturan pelaksanaannya berupa keputusan presiden, Peraturan Menteri Dalam Negeri, dan petunjuk teknis lainnya belum disusun.

Ia berharap agar aturan pelaksanaan itu dapat segera dibuat. Sehingga, para penganut kepercayaan yang memiliki 248 organisasi tak lagi mengalami diskriminasi dalam memperoleh hak kewarganegaraannya. ”Soalnya ada beberapa kantor catatan sipil yang tetap tak mau mencatat kendati sudah ada putusan pengadilan,” ujarnya.

Sapta Darma, menurut Naen, adalah ajaran tentang keesaan Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan kesempurnaan hidup. Ajaran ini bermula dari Hardjosopoero. Lelaki kelahiran Dusun Pandean, Desa Pare, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur, 27 Desember 1914 yang bekerja sebagai tukang cukur itu mengaku menerima wahyu persis pada ulang tahun ke-38.

Ajaran ini sekarang telah berkembang di seluruh Indonesia. Pengikutnya bahkan ada yang berasal dari Jepang, Cina, Suriname, Belanda, dan Norwegia. Naen mengklaim penganut Sapta Darma setidaknya 8 juta orang. Pusat rohani Sapta Darma di Pare, Kediri, dalam kompleks bekas rumah Hardjosopoero yang dulu terbuat dari kayu dan berdinding bambu. Bangunan itu kini telah dipugar dan sedang dibangun kompleks sanggar di atas tanah 3 hektare.

Pusat kegiatan dakwah dan organisasi Sapta Darma ada di Surokarsan, Yogyakarta. Setiap tahun, pada 27 Desember, seluruh umat Sapta Darma berkumpul di sana menggelar pertemuan yang mereka sebut sarasehan agung. Setiap bulan, pada saat malam Jumat Wage, penganut Sapta Darma bersujud memperingati turunnya wahyu.

Organisasi pertama yang memayungi penganut ajaran ini bernama Yayasan Srati Darma, yang berdiri pada 17 Maret 1959. Melalui sarasehan besar 27 Desember 1986, umat berhimpun dalam wadah Persatuan Warga Sapta Darma atau Persada.

Simbol Sapta Darma adalah Semar dalam lingkaran berbingkai segi empat belah ketupat. Tokoh punakawan itu melambangkan keluhuran budi dan cahaya yang berasal dari Tuhan. Warna dasar hijau perlambang raga manusia diliputi cahaya Tuhan. Dalam simbol itu tertulis ”Sapta Darma” dalam huruf Jawa. Ada juga tulisan ”Nafsu, Budi, dan Pakarti.”

Penganut Sapta Darma patuh pada ajaran wewarah pitu alias tujuh petunjuk dan dalam sehari melakukan ritual setidaknya sekali. Mereka menyebutnya sujud. Ibadah ini bisa dilakukan kapan saja untuk meraih ketenteraman jiwa. Untuk memperoleh ketenangan, sujud biasanya pada malam hari atau waktu senggang di dalam sanggar.

Mereka duduk tegak lurus. Pria bersila, sedangkan perempuan bersimpuh. Tangan mereka bersedekap dengan menempatkan lengan kanan menindih lengan kiri. Pandangan mengarah pada suatu titik. Mereka menggunakan kain putih ukuran 1 meter persegi untuk alas duduk. Kain ini ditata dengan cara salah satu ujung persis arah timur. Ujung inilah yang digunakan untuk titik berkonsentrasi.

Menurut Naen, timur berarti purwa atau kawitan atau asal. Bagi penganut Sapta Darma, timur adalah bahasa kias agar manusia selalu ingat asal mula kejadiannya. Manusia berasal dari sesuatu yang suci. ”Karena itu manusia hendaknya berbuat dan kembali pada kesucian,” katanya.

Pada saat ritual, batin mereka mengucap sifat-sifat Tuhan dalam bahasa Jawa. ”Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rohim, Allah Hyang Maha Adil.” Tubuh kemudian membungkuk sehingga dahi menyentuh kain putih alas duduk. Mereka berucap tiga kali dalam hati ”Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa.” Lalu, mereka kembali duduk dalam posisi badan tegak. Sujud tersebut diulang sampai tiga kali.

Soetarno, seorang tuntunan alias imam Sapta Darma, mengatakan kepercayaannya juga mengenal ritual racut, yaitu upaya untuk mencapai Tuhan dan agar secara transendental manusia mampu menyaksikan alam abadi atau surga kelak jika raga sudah mati. ”Ini artinya manusia harus bisa mati dalam hidup. Yang mati alam pikirannya, sedangkan rasa masih hidup,” katanya.

Ibadah racut dilakukan dengan cara menambah satu lagi sujud setelah tiga sujud dasar tadi, sambil berucap dalam hati lafal ”Hyang Maha Suci Menghadap Hyang Maha Kuwasa.” Lalu berbaring dengan tangan tetap bersedekap. Semua pikiran dan angan-angan dibunuh. Maka, dalam keyakinan Sapta Darma, sukma manusia akan keluar melalui ubun-ubun untuk menuju Tuhan.

Berlatih racut, menurut Soetarno, butuh kesabaran dan kesungguhan. Warga Sapta Darma meyakini racut memungkinkan seseorang memiliki sifat waskita, yaitu mengetahui sesuatu yang belum terjadi dan pasti akan terjadi. Misalnya, ia tahu bahwa di suatu tempat bakal terjadi bencana sehingga ia mengurungkan niat berkunjung ke lokasi itu.

Pada awal perkembangannya, Sapta Darma dikenal melalui program penyembuhan. Sejumlah tokoh Sapta Darma, termasuk Hardjosopoero yang bergelar rohani Sri Gutama, memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit. ”Ini bukan perdukunan melainkan kemampuan untuk secara tulus meminta kesembuhan Tuhan. Tidak perlu uang atau ongkos,” kata Naen.

Seiring dengan bertambahnya pengikut, pada 1956 dibuatlah hierarki rohani mulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat. Imam rohani mulai dari tingkat desa hingga provinsi disebut Tuntunan. Pemimpin pusat Sapta Darma disebut Tuntunan Agung. Gelar imamat ini berlaku seumur hidup. Hardjosopoero menjadi Tuntunan Agung hingga wafatnya pada 1964.

Selanjutnya Tuntunan Agung dipegang Soewartini Martodihardjo, yang berjuluk Sri Pawenang hingga 1996. Wanita ini pernah menjadi anggota MPR mewakili penghayat aliran kepercayaan. Hingga 2002 Tuntunan Agung dijabat Raden Soedono Poerwodihardjo. Pemilihan imam dilakukan melalui proses ritual sujud oleh seluruh warga Sapta Darma. Namun, lantaran sejak 2002 belum ada petunjuk sosok pas pengisi Tuntunan Agung, jabatan ini kosong hingga sekarang.

Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus