Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Pesan dari ’Saudara Tua’

SATU dekade silam orang tersentak. Pertumbuhan luar biasa ekonomi Asia mendadak macet, lalu roboh, diikuti kesengsaraan yang sangat. Kini ekonomi Asia sudah bangkit kembali. Indonesia memetik banyak hikmah: Orde Baru dan Soeharto berlalu, demokrasi hidup lebih subur. Modal yang sangat penting menuju Indonesia yang lebih baik. Tempo melaporkan kebangkitan ekonomi di Thailand, Korea Selatan, Vietnam, dan Indonesia.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA Indonesia sebagai negara yang paling parah mengalami krisis perlu waktu paling lama untuk bangkit? Setiap analis punya argumentasi sendiri. Mantan Gubernur Bank Indonesia J. Soedradjad Djiwandono punya analisis menarik: Republik gagal menciptakan stabilitas politik—sebagai prasyarat utama terjadinya titik balik dari deteriorasi menjadi pemulihan ekonomi.

Di Indonesia, perlu waktu panjang menciptakan stabilitas politik. Kebijakan menghadapi krisis juga kurang konsisten dan kurang adaptif. Padahal konsistensi, tulis Soedradjad, sangat menentukan keberhasilan pemulihan ekonomi. Korea Selatan dan Thailand, yang lebih cepat menciptakan stabilitas—diikuti konsistensi dalam menjalankan kebijakan —telah pulih lebih cepat.

Begitulah. Pergantian pemerintahan terjadi kurang lancar. Baru lima tahun Soeharto lengser keprabon, setelah 32 tahun berkuasa, sudah ada tiga pemimpin Republik yang datang dan pergi dengan cepat.

Presiden Habibie tampil sebagai figur transisi. Ia diharapkan menghasilkan momentum terjadinya titik balik. Tapi pasar tak percaya dan masih menganggap ini pergantian semu, karena pemerintahan Habibie dipandang sebagai bablasan era Soeharto. Habibie gagal mendapat legitimasi, walau mengklaim pemerintahannya yang singkat paling produktif melahirkan undang-undang.

Kemudian tampillah Presiden Abdurrahman Wahid pada Oktober 1999. Lagi-lagi momentum indah itu terlepas begitu saja. Gus Dur berhasil mengembalikan Istana sebagai rumah rakyat, tapi ia gagal mengelola negara. Ia pun dimakzulkan oleh musuh-musuh politiknya, dibantu kekuatan militer, di MPR setelah memerintah sekitar 22 bulan.

Megawati pun dinilai gagal mengkonsolidasi pemerintahannya. Ia juga dikritik menjalankan politik ”diam seribu basa” dan sibuk mempersiapkan diri untuk pemilihan presiden berikutnya. Momentum yang ditunggu-tunggu itu kembali terbuang sia-sia.

Suasana politik berantakan. Ancaman terorisme eskalasinya makin lama makin menggila. Republik masih direcoki oleh munculnya perang antaretnis yang berdarah-darah dan saling meluluh-lantakkan di sejumlah daerah. Di bagian lain terjadi pertempuran tentara versus gerilya gerakan yang ingin memisahkan diri: OPM, RMS, GAM.

Berikutnya, datanglah duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memimpin negara. Mereka terpilih melalui pemilihan langsung yang demokratis. Dan yang paling penting: dari kampanye hingga masa pencoblosan, semuanya berjalan aman dan damai. Stabilitas politik berangsur-angsur membaik. Konflik panjang di Maluku hingga Aceh dapat teratasi lewat jalan perundingan. Biang keladi dan jaringan pelaku terorisme makin banyak yang tertangkap dan terbongkar.

Apakah ini pertanda baik bagi Republik untuk mengusir krisis? Tak ada yang bisa menjamin. Wallahu a’lam bissawab. Tapi dari pelbagai indikator perekonomian, kelihatan ada kemajuan mengesankan. Ini terlihat dari kinerja rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Kurs rupiah sempat berada di bawah Rp 9.000 per dolar AS, sedangkan IHSG bertahan di atas angka 2.000.

Membaiknya indikator finansial tersebut bisa saja dipengaruhi oleh masuknya dana-dana asing berjangka pendek alias hot money. Data terakhir dana asing yang masuk ke sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar US$ 1,36 miliar, surat utang negara (SUN) US$ 847 juta, dan pasar saham US$ 623 juta. Memang, masuknya seabrek ”uang panas” ini didorong oleh kondisi makro-ekonomi yang membaik.

Coba perhatikan data berikut. Cadangan devisa terus menguat hingga menyentuh level yang belum pernah dicapai sebelumnya. Neraca pembayaran indonesia (NPI) mencatatkan surplus akibat dukungan positifnya neraca transaksi berjalan. Neraca perdagangan menunjukkan surplus yang cukup besar.

Namun ada yang perlu diwaspadai. Derasnya aliran dana masuk berjangka pendek bisa menjadi gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu meledak dan berpotensi mengundang krisis baru. Ini tentu saja sangat bergantung pada kesiapan negara yang menjadi tempat persinggahan dana tersebut. Duit panas tadi akan cepat kabur kalau situasi di dalam negeri belum kondusif. Lalu lintas dana asing tersebut harus senantiasa dipantau.

Di sisi lain, penanaman modal asing dalam bentuk foreign direct investment (FDI) masih kurang cerah. Sebab itulah nasihat Osamu Watanabe dan Hiroshi Okuda, dua tokoh berpengaruh asal Jepang, menarik untuk disimak. Keduanya pernah datang ke Jakarta dua tahun lalu, dalam waktu berbeda. Tapi nasihat mereka tentang pemulihan ekonomi Indonesia ternyata banyak persamaannya.

Agar pulih dari krisis, Watanabe, Ketua Organisasi Perdagangan Eksternal Jepang (Jetro), mengingatkan pemerintah agar memprioritaskan pembenahan pada tiga aspek: infrastruktur, perburuhan, dan korupsi. Saran tokoh yang pernah masuk bursa kandidat perdana menteri Jepang ini tak jauh beda dengan masukan Okuda, bos Toyota yang juga memimpin Keidanren—semacam Kadin—ketika bertemu dengan Presiden Yudhoyono.

Bukan berarti tak ada isu lain. Survei terbaru Japan Bank for International Cooperation (JIBC), dengan responden hampir 500 perusahaan di Jepang, menemukan berbagai masalah yang menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Instabilitas sosial dan politik menjadi faktor penghambat paling besar, disusul ketidakstabilan nilai tukar dan harga, minimnya infrastruktur, tidak transparannya sistem perpajakan, serta lemahnya sistem hukum.

Pesan dari ”saudara tua” tadi rasanya masih relevan bagi kita. Mereka mewakili para pebisnis dan investor asing yang hingga kini masih mengeluhkan pelbagai hal tadi. Dalam 10 tahun terakhir ini, investasi Jepang di Indonesia terus merosot. Padahal kekuatan teknologi dan permodalan mereka masih sangat kita butuhkan. Ada tambahan penting dari laporan JIBC: Indonesia menjadi negara ketujuh sebagai tempat yang menjanjikan bagi investasi. Cina, Thailand, dan India menduduki peringkat atas.

Buruknya infrastruktur, terutama di luar Jawa, sudah menjadi rahasia umum. Di Jayapura, misalnya. Di Bandara Sentani, jangan harap pesawat yang Anda tumpangi bisa mendarat malam. Karena gangguan gerakan separatis OPM? Bukan. Tak ada lampu penerang di sekitar landasan. Maka, kalau ada penggede Jakarta yang harus mendarat pada saat magrib, puluhan ojek sepeda motor harus disewa. Motor-motor itu serentak dinyalakan, dan… byar! sorot lampu motor-motor itu jadi panduan pilot untuk landing.

Perburuhan masih terbentur rendahnya produktivitas dan peraturan yang kerap dikeluhkan sebagai kurang bersahabat bagi pengusaha. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat Indonesia kurang menarik bagi investor asing.

Korupsi? Lumayanlah. Sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sekalian aksinya. Tekad bulat pemerintahan SBY untuk menegakkan hukum terhadap tindak pidana yang sudah mengurat-mengakar ini banyak menolong. Seperti juga di Cina dan Vietnam, di Republik ini sudah begitu banyak pejabat dan pimpinan daerah, baik mantan menteri, gubernur, hingga bupati dan wali kota yang sudah meringkuk di bui lantaran terbukti korupsi.

Di Jawa, tempat pusat kekuasaan dan perputaran uang, bukannya tanpa masalah. Tol trans-Jawa masih dalam bentangan kertas gambar. Kita belum punya sarana jalan tol sepanjang, katakanlah, yang sudah dibikin Malaysia—dulu murid kita dalam proyek tol—yang sukses membangun sepanjang 2.000 kilometer. Padahal, kalau proyek ini terlaksana, niscaya lalu lintas barang lancar, perekonomian akan semakin bergelora.

Untuk pengembangan proyek infrastruktur, pemerintah butuh dana US$ 150 miliar selama lima tahun ke depan. Dari bujet segunung itu, pemerintah memperkirakan 17 persen di antaranya dibiayai dari APBN, 21 persen dari sumber dalam negeri lainnya. Namun bagian terbesar, sekitar 62 persen atau US$ 90 miliar, harus datang dari luar negeri. Inilah jurang finansial yang sedang dihadapi pemerintah.

Masalahnya, pihak asing ternyata kurang minat berinvestasi. Pada November tahun lalu, forum Indonesia Infrastructure Summit yang kedua sepi investor. Kenduri yang sempat diundur-undur dan menawarkan 10 proyek andalan itu (mulai pembangkit listrik, jalan tol, telekomunikasi, hingga terminal feri dan pelabuhan) kurang direspons pengunjung—yang lebih banyak dihadiri lawyer ketimbang investor.

Padahal pemerintah memberikan jaminan atas risiko proyek penyediaan infrastruktur. Komitmen tersebut juga telah dikuantifikasi melalui pembentukan Dana Pembangunan Infrastruktur dan pengalokasian pembiayaan sebesar Rp 2 triliun dalam APBN 2007. Dana ini, selain untuk alokasi investasi proyek infrastruktur pemerintah, juga akan digunakan untuk pembagian risiko dengan investor swasta.

Banyaknya permintaan jaminan pemerintah oleh para investor menyiratkan bahwa risiko investasi masih dianggap tinggi. Repotnya, pemerintah tidak mampu menanggung semua risiko lantaran kantong negara lagi cekak. Inilah benang kusut yang mesti dihadapi pemerintah, di balik secercah harapan bangkit keluar dari pusaran krisis.

Masih banyak yang harus dikerjakan. Membenahi peraturan, memikat hati ”saudara tua” dan sejumlah investor lain dengan berbagai insentif, memberantas pungli dan korupsi, hanya sedikit dari banyak kegiatan yang perlu menjadi prioritas. Ditambah kesungguhan kerja birokrasi Republik, investasi semogalah menggelontor kemari. Dan ekonomi yang mulai bangkit diyakini akan cepat berlari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus