Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPAGI itu Astrid sudah bergegas meninggalkan kondominiumnya di kompleks Lippo Karawaci, Tangerang. Langkahnya setengah berlari menuju lift yang akan mengantarnya turun dari lantai 19. Wajahnya terlihat cemas. Tiga hari lagi dia harus mengikuti ujian, tapi ia belum meng-copy semua bahan ujian di kampusnya, Universitas Pelita Harapan (UPH).
Untunglah kampus itu tak jauh dari tempat dia tinggal. Cukup berjalan kaki beberapa menit, dia bisa segera sampai. Tapi, ah?, andai saja dia sudah mendaftarkan laptopnya di kampus, ia tentu tak serepot sekarang.
Dengan laptop yang sudah terdaftar, ia bisa mengambil bahan-bahan pelajaran dari Internet. Tak perlu memfotokopi, bahkan tak perlu kabel saluran Internet. Tanpa kabel? Ya, berkat akses Internet nirkabel (wireless fidelity alias wi-fi) yang disediakan kampusnya, dia cukup menghidupkan laptop, Internet pun tersambung.
Berkat wi-fi, Astrid dan kawan-kawannya bahkan tak perlu masuk ruang. Mereka cukup duduk di teras, lobi, atau bahkan taman, sinyal Internet pun mengalir deras ke laptop. "Sayang sekali, saya belum bisa menikmati kemudahan itu gara-gara belum mendaftarkan laptop saya," kata mahasiswa jurusan desain interior ini.
Astrid pantas mengeluh karena tak bisa sesuka hati menikmati Internet seperti teman-temannya sekampus. Dua pekan lalu, ketika musim ujian menjelang, di lorong-lorong kampus selalu saja ada mahasiswa yang duduk di karpet sambil membuka laptop atau komputer genggam PDA (personal digital assistant). "Di kelas saya saja sekarang, dari 60 mahasiswa, 10 orang selalu membawa laptop atau tablet PC (laptop yang layarnya bisa ditulisi)," kata Monica, mahasiswi Fakultas Ilmu Komputer UPH. Keramaian itu bahkan juga terjadi pada Sabtu dan Minggu, hari yang biasanya sepi mahasiswa.
Gaya hidup digital di kampus UPH ini belum lama dimulai. Februari lalu, kampus yang menjadi salah satu simbol proyek mercusuar grup Lippo itu resmi meluncurkan program Digital Campus. "Kami ingin mengembangkan e-learning, sehingga mahasiswa tidak hanya belajar dari satu sumber. Dan mereka bisa belajar dari mana saja," kata Vice President UPH Jonathan Limbong Parapak.
Untuk mewujudkan impian itu, langkah pertama pengelola kampus adalah membangun infrastruktur Internet wi-fi yang bisa diakses dari lantai satu hingga tujuh. Mereka menggandeng PT Wira Eka Bhakti (WEB), yang menempatkan 6-7 pemancar mini (access point) di tiap lantai gedung. Alat seukuran buku saku inilah yang memancarkan gelombang Internet ke laptop para mahasiswa dan dosen.
Untuk seluruh kampus, mereka memasang 42 pemancar mini?jauh lebih banyak dibandingkan dengan Institut Teknologi Bandung, yang baru membangun empat hotspot (kawasan yang bisa mengakses Internet nirkabel). Asyiknya, untuk semua itu, UPH tak perlu berinvestasi. "Kami tak keluar uang sepeser pun," kata Hendry Kosikin.
Menurut Head of Technology and Science Partnership UPH itu, semua investasi ditanggung PT WEB. Sebagai imbalannya, 80 persen dari iuran Internet mahasiswa, yang besarnya Rp 45 ribu per bulan, akan diserahkan ke PT WEB.
Saat ini tak semua mahasiswa menjadi pelanggan Internet murah itu. Mulai Agustus nanti, UPH akan mewajibkan sekitar 2.000 mahasiswa barunya ikut program Digital Campus. Dan, duhai?, ini pasti membuat iri pengajar kampus lain, UPH menyiapkan 200 laptop yang akan dibagikan kepada para dosen tetap mereka. Itu bukan sembarang laptop karena sudah dilengkapi teknologi Intel Centrino sehingga bisa mengakses wi-fi.
Komputer jinjing ini memang tidak murni gratis. Tapi hitunglah diskon yang diberikan. Dari PT WEB, para dosen mendapat potongan 25 persen. Lalu dari kampus masih ada subsidi. Maka, sementara di pasaran laptop tadi berharga Rp 14,5 juta, para dosen tetap UPH cukup membayar Rp 5,4 juta. Itu pun masih bisa diangsur sebesar Rp 300 ribu selama 18 bulan. Tak hanya dosen, mahasiswa UPH pun boleh tersenyum puas. Jika membeli laptop di kampusnya, mereka masih mendapat potongan 25 persen dari harga pasar.
Dengan rabat sebesar itu, kelak kampus UPH bisa menjadi etalase gadget (peranti digital seperti PDA atau laptop) terbesar di Jakarta. Saat ini saja, di kantin-kantin atau di lobi, para mahasiswa seperti berlomba mengusung peranti terbaik. Datanglah ke kantin-kantin UPH. Di sela-sela piring nasi goreng, soto, dan botol minuman ringan, tergeletak berbagai merek laptop, dari yang biasa saja hingga kelas Power Book Macintosh G4, yang ukurannya cuma sebuku diktat, atau PDA termahal O2 XDA II.
"Mimpi kami memang menjadikan UPH benar-benar digital campus pertama di Indonesia," kata Hendry. Kelak, kata dia, bila dosen mengajar, tinggal buka laptop, kemudian mengakses bahan pelajaran di server. Tak perlu repot mengulur kabel karena komputernya terhubung secara wireless dengan pemancar mini.
Kuliah pun tak bakal membosankan. Dosen bisa menyampaikan materinya dengan sajian program presentasi power point yang memikat, dibumbui video streaming dan animasi yang diambil dari server. Lupa apa yang disampaikan dosen? Jangan khawatir, cukup akses rekaman kuliah yang tersimpan di server. Makalah dan diktat pun kelak akan disimpan dalam format digital seperti PDF (portable digital format) atau power point sehingga lebih praktis.
Saat ini semua infrastruktur untuk itu sudah siap. TEMPO pekan lalu menjajal kemampuan jaringan milik UPH itu. Akses Internet cukup kencang. Dengan laptop Dell berprosesor Intel 1,7 GHz dan memori 256 megabyte, situs pengukur kecepatan di Mcafee.com bisa diakses dengan kecepatan 80 Kbps. Ini dua kali lebih cepat ketimbang akses Internet dengan Telkomnet Instant dengan komputer yang sama. Sembari menjelajahi dunia maya, TEMPO juga bisa memutar video dari server UPH dengan mulus. "Jaringan di kampus ini memang dirancang untuk bisa menyalurkan file-file besar seperti video atau animasi," kata Ivan Sudirman, pemimpin proyek dari PT WEB.
Untuk semester depan ini, Fakultas Ilmu Komputer UPH akan menjadi kelinci percobaan metode baru e-learning itu. "Materi-materi pelajaran sedang disiapkan untuk dimasukkan ke server," kata Sutrisno, Head of Informatics Engineering Department UPH.
Saat ini, meski program e-learning itu belum dimulai, cikal bakalnya mulai tumbuh. Mahasiswa bisa melakukan chatting (mengobrol) melalui Yahoo Messenger atau Netmeeting dengan dosennya. Pekerjaan rumah juga cukup diserahkan lewat keping digital (CD) atau via e-mail.
Saking meluasnya era digital ini, para mahasiswa UPH juga terkena wabah Friendster. Ini adalah software yang lagi ngetren di kalangan anak muda untuk mencari kenalan dan gebetan baru. "Kalau bosan kuliah, kadang saya dan beberapa teman memilih bolos dan ngobrol via Friendster, ha-ha-ha?," kata Monica, mahasiswi yang indeks prestasinya tak pernah di bawah 4,0 itu.
Di dunia kampus, langkah Universitas Pelita Harapan ini sebetulnya tidak terlalu baru. Tahun lalu, Malaysia bahkan sudah memulainya untuk pendidikan SMA. Menurut Country Manager Intel, Budi Wahyu Jati, di Malaysia program ini dirintis semasa Mahathir Mohamad berkuasa. "Di sana, menteri pendidikan membagi-bagikan 35 ribu laptop Intel Centrino kepada guru-guru SMA," katanya. Sekolah-sekolahnya pun kebagian akses Internet wi-fi.
Dengan wi-fi dan laptop di tangan, kata Budi, para pelajar atau mahasiswa bisa mengambil ilmu tak cuma dari guru dan dosen. Internet juga menjadi dosen. "Cara ini akan membuat mahasiswa belajar lebih cepat dan baik," katanya.
Burhan Sholihin
Kelas
Dosen membawa laptop yang terhubung ke Internet nirkabel. Dia bisa mengambil materi dari server berupa video streaming atau animasi. Pelajaran rumit seperti fisika pun bisa menjadi sederhana.
Perpustakaan
Koleksi buku atau skripsi bisa dilongok oleh mahasiswa dari mana saja.
Server
Semua bahan pelajaran di simpan di sini. Kelak, semua pengajaran dosen di kelas juga akan direkam dengan kamera video dan disimpan di server.
Taman/Lorong Kampus
Mahasiswa bisa mengakses bahan pelajaran atau rekaman video. Mereka juga tak cuma mengandalkan dosen sebagai sumber ilmu.
Laboratorium Komputer
Tak lagi cuma ada di ruang khusus, laboratorium komputer bisa dipindahkan ke kelas dan ke taman. Jika Anda punya 6.000 mahasiswa dan idealnya setiap mahasiswa harus mendapat satu komputer, di mana 6.000 komputer itu akan disimpan? Laptop dan wi-fi adalah solusinya. Tak perlu banyak komputer, kampus cukup menyediakan jaringan Internet nirkabel yang andal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo