Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berganti. Tapi hubungan lembaga itu dengan Abdurrahman Wahid bagai minyak dan air, nyaris abadi. Ketika KPU diketuai Rudini, pada 1999, Gus Dur hampir terganjal sebagai wakil utusan golongan MPR dengan alasan partisan. Karena cucu pendiri NU ini menjadi deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia dinilai tak bebas dari pengaruh partai politik?hal yang diharamkan untuk bisa menjadi anggota utusan golongan.
Kemudian terbukti, Gus Dur bukan saja melenggang manis ke Senayan, bahkan naik ke kursi presiden. Kini justru peluang Gus Dur ke pemilihan presiden yang pupus. Ketua kelompok kerja pemilihan presiden dan wakil presiden dari KPU, Anas Urbaningrum, tak menyebut namanya dan Marwah Daud Ibrahim sebagai pasangan calon presiden-wakil presiden yang akan berlaga dalam Pemilu 5 Juli nanti.
Inilah klimaks perseteruan kedua pihak yang berlangsung panas dalam sebulan terakhir. "Jika Gus Dur ditolak, PKB akan menyengketakan keputusan itu ke Panitia Pengawas Pemilu," kata Wakil Ketua Umum PKB, Mahfud Md., kepada TEMPO, sebelum pengumuman dibacakan, Sabtu lalu. Undang-undang memang memungkinkan panitia tersebut membuat keputusan yang bersifat final dan mengikat bila tak terjadi kesepakatan di antara pihak yang bersengketa.
Tak sampai di situ, PKB melangkah lebih jauh dengan menunjuk pengacara Muhammad Ikhsan dan Iskandar Sitorus untuk membuat gugatan ke pengadilan. Bila kandas juga, "Saya akan golput," kata Gus Dur, enteng. Ketua Umum PKB, Alwi Shihab, menyatakan jalur hukum itu bakal ditempuh karena ada "konspirasi elite politik" untuk menjegal Gus Dur. Ia tak menyebut nama. Tapi sumber TEMPO yang dekat dengan PKB menyatakan, yang dimaksud adalah Akbar Tandjung dan Taufiq Kiemas.
Genderang perlawanan PKB sesungguhnya telah ditabuh begitu Surat Keputusan (SK) KPU No. 26/2004 tentang syarat kesehatan calon presiden diumumkan, Jumat 16 April. "Coba Anda lihat, KPU bekerja seperti siluman," ujar Mahfud, sengit. "Tanggal 15 diteken, besoknya diumumkan. Padahal sebelumnya tak ada informasi ke publik bahwa KPU akan memperluas tafsir persyaratan."
Kubu Gus Dur makin terkesiap melihat KPU menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai otoritas pelaksana yang menerjemahkan syarat "mampu secara jasmani dan rohani" di Undang-Undang No. 23/2003, menjadi mekanisme pengujian kesehatan formal dalam bentuk general check-up. Namun, karena bersirobok dengan akhir pekan, PKB baru melayangkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji SK itu pada Senin, 19 April. Permohonan itu ditolak. Begitu juga dengan usul tentang uji materi (judicial review), yang ditampik Mahkamah Agung.
Bila ditelusuri lebih jauh, kegeraman kubu PKB bukannya tanpa sebab. Ketika UU No. 23/2003, yang menjadi payung hukum SK itu, baru berupa rancangan, empat fraksi di DPR (PDIP, Golkar, PKB, dan Reformasi) sudah berusaha saling jegal dengan membuat "perangkap" persyaratan seperti harus berpendidikan sarjana (S-1), tidak berstatus terdakwa, harus mempunyai basis dukungan minimal 20 persen, dan sehat jasmani dan rohani.
Tahun lalu, keempat "syarat" itu adalah handicap bagi empat besar calon presiden: Megawati Soekarnoputri, Akbar Tandjung, Amien Rais, dan Gus Dur. Namun, dalam proses akhir menuju undang-undang, keempat syarat itu lenyap, dan syarat "sehat jasmani?" berubah menjadi "mampu secara jasmani dan rohani", bentuk rumusan yang melegakan kubu PKB?sampai munculnya SK KPU itu.
Rencana PKB membawa kasus ini ke Panitia Pengawas Pemilu, bagi anggota KPU Hamid Awaluddin, sungguh tidak relevan. Sebab, keputusan panitia ini adalah langkah alternatif menghindari mekanisme proses pengadilan (due process), seperti dalam kasus arbitrase internasional. "Dalam kasus ini, PKB sudah menerima keputusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (due process)," Hamid menjelaskan. Sejarah perseteruan KPU-Gus Dur tampaknya berulang. Tapi kali ini, agaknya, dengan hasil berbeda.
Akmal Nasery Basral, Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo