Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Manusia dalam Zoom Putu

Sebuah pentas kilat, satu lakon 47 menit. Banyak penonton tak siap menghadapinya, tapi itulah pentas Putu yang tak "mengistimewakan" manusia.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Munculnya teater dengan bentuk yang inkonvensional, atau bahkan eksperimentalis macam Teater Sae plus para pengikut sesudahnya, memunculkan banyak kekhawatiran. Antara lain soal melorotnya kualitas aktor di jagat teater Indonesia karena bentuk pertunjukan semacam itu banyak memberi perhatian, fokus, dan pemaknaan pada benda, cahaya, kostum, dan peralatan panggung lainnya. Kekhawatiran ini juga—konon—akibat dominannya "teater sutradara", seperti yang kuat disinyalir dalam "pesta monolog" Jakarta, minggu lalu (TEMPO, 17-23 Mei 2004, hlm. 59-60).

Tapi itulah kekhawatiran yang kurang beralasan. Bukan hanya karena Teater Sae melahirkan aktor-aktor bagus macam Abidin Domba, Erna, atau Dindon W.S. yang kemudian sukses dengan Teater Kubur. Lebih dari itu, isu tentang "melemahnya" aktor sesungguhnya sudah terjadi sebelum Teater Sae diperhitungkan di dunia teater kita, mulai pertengahan 1980-an. Dikembangkannya "teater total", "teater luka", "teater visual", dan kemudian "teater w(b)ayang" oleh Putu Wijaya dan Teater Mandiri, sejak pertengahan 1970-an, juga mengundang keluhan serupa.

Tak kurang dari Putu sendiri menyampaikan keluhan ini. Ia melihat banyak pihak memandang kerja kerasnya, dan Teater Mandiri selama ini, hanya "merupakan trik dan sulapan hasil kerja teknologi" yang pada akhirnya "membunuh aktor". Banyak orang, "tak paham (bagaimana) menikmati apa sebenarnya (yang)… kita (kerjakan)," demikian Putu menulis dalam katalog acara pentas Zoom di Graha Bhakti Budaya, 14-15 Mei 2004 lalu.

Saya kira Putu pantas, sekaligus tak pantas, mengeluh. Pantas karena memang, setelah 33 tahun berkiprah dan menyumbang banyak bagi kehidupan teater modern negeri ini, masih banyak yang "tidak memahaminya". Pentas 47 menit Zoom, yang mengusung hampir semua muka lama termasuk Harry Roesli, menimbulkan banyak tanya, keraguan, bahkan gosip di kalangan penonton yang sebagian baru saja merapikan, bahkan mencari tempat duduk, ketika pertunjukan dinyatakan usai.

Apa yang Putu inginkan? Habiskah energi Putu? Kenapa ia masih begitu-begitu saja (dramaturginya)? Dan banyak pertanyaan lainnya. Yang tampak dan kemudian menjadi ulasan banyak media hanyalah layar besar yang memunculkan bayangan drama kekerasan perang, tragedi 911, hingga slide foto para calon presiden Indonesia. Lalu teriakan-teriakan anti-perang. Satu pernyataan yang verbal, klise, dan mungkin gagal secara artistik.

Sungguh hati, lumrah jika di sini Putu mengeluh. Konsepnya tentang teater yang berdasar pada trilogi Bali desa, kala, patra (tempat, waktu, dan suasana) memang belum mampu dimamah baik oleh penontonnya sejak dulu kala. Bahwa konsep itu, sebenarnya, hendak menempatkan seluruh isi bumi (juga semesta) ini, termasuk manusia, dalam harmoni: sebuah keselarasan tempat tak satu pun entitas merasa lebih atau super dibanding lainnya. Seperti lukisan Bali yang dicontohkan Putu—dengan lukisan manusia, burung, pura, awan, kemenyan, hingga sepeda motor dalam ruang yang setara.

Tak ada fokus khusus, bahkan perspektif atau warna yang membedakan. Manusia dalam kosmologi Bali hanyalah crowd dalam pandangan sosiologis, sama seperti sekumpulan sapi, serumpun ilalang, atau sebarisan banjar. Satu bagian mengambil peran sama banyak dengan lainnya untuk menciptakan keseimbangan dan kedamaian. Hingga tiada hak bagi siapa pun untuk menindas, mengatasi, mengklaim, menilai, mengeksploitasi, atau menetapkan perang terhadap orang, bangsa, atau entitas lain.

Maka, sejak awal teater Putu memang tidak mengedepankan karakter atau penokohan yang kuat sebagaimana teater realis atau konvensional. Drama-drama awalnya, Lho, Entah, dan Nol, hingga Aib dan Wah, memperlihatkan posisi manusia yang begitu minor di hadapan satu kekuatan lain yang gergasi dan gigantik. Ini berlanjut pada periode mutakhir Putu dan Mandiri, saat Yel dipentaskan pada 1990 hingga ke empat kota Amerika Serikat.

Kekuatan gergasi dan gigantik itu ia wujudkan dalam bentuk layar besar yang memenuhi panggung, dan manusia (serta entitas hidup lainnya) hanya muncul sebagai w(b)ayang di layar itu. Gigantisme ini (yang berangkat dari mitos raksasa menakutkan di masa kecil Putu) seperti menyeret manusia, peran, dan eksistensinya ke dalam dimensi atau maqam spiritual yang lain. Tampaknya, bagi Putu, manusia memang melulu fana, wayang kecil, yang mencoba menutupi realitas dahsyat di baliknya. Dalam Zoom Putu kali ini, kita seperti memperbesar lensa batin kita untuk melihat bahwa manusia sesungguhnya tidak berdaya.

Lihatlah boneka besar, manusia "zoom" itu, terombang-ambing tanpa daya, disiksa pecut, dizalimi perang, tanpa perlawanan, hingga akhirnya tenggelam atau terisap layar besar. Lalu tragedi satu per satu bermunculan. Seperti peluru yang melesak ke relung kita terdalam. Semua terasa berat, menekan, menyiksa, menteror! Hanya 47 menit, batin kita rasanya letih diteror hingga rasa muak timbul. Di titik ini, "teror mental" Putu berhasil.

Namun, komprehensi mental atau di tingkat spiritual itu memang tak sukses di umumnya penonton, yang masih tergenggam konvensi tontonan yang menghibur. Di sinilah Putu tak pantas mengeluh. Jika penonton tak banyak mendatanginya, ini karena memang "teror" itu terlampau berat. Atau dalam kata-kata Putu sendiri, "Kami memang tak bercita-cita untuk menyenangkan, tapi menyiksa." Juga, "Kami tak punya alasan mengapa penonton mesti melihat kami dua kali." Dan penonton memang tak berduyun. Betapapun, Putu pernah berkata kepada penulis, semua elemen promotif telah ia upayakan.

Putu tak pantas mengeluh. Sebab, pencapaian artistiknya yang kian matang, dramaturgi dan proses kreatif kelompoknya, sudah menjadi inspirasi puluhan bahkan ratusan grup teater hingga di sudut negeri. Bahkan sesungguhnya ia telah menjadi ikon, menjadi satu sub-genre tersendiri dalam sejarah teater kita, yang tanpa pendahulu namun banyak yang menggugu. Bon anniversaire, Beli!

Radhar Panca Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus