Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuno. Itu kesan yang segera terlintas setiap kita mendengar kata walkietalkie atau handy talkie. “Itu kan alat komunikasi ‘jadul’ (zaman dulu),” kata Patricia Sanjaya, seorang pelajar Sekolah Menengah Atas AlAzhar. “Paling hanya polisi yang masih memakainya.”
Patricia tak tahu, meski telah berusia lebih dari enam dekade, handy talkie (HT) tak tergantikan perannya hingga sekarang. Polisi, tentara, pekerja tambang di pengeboran lepas pantai, hingga pekerja di perkebunan yang jauh dari jangkauan sinyal seluler, amat terbantu oleh alat komunikasi tua ini.
Kristoforus, seorang konsultan teknik Compnet, penyedia jasa solusi telekomunikasi dan jaringan di Jakarta, mengatakan, teknologi HT memiliki beberapa keunggulan dibanding ponsel. ”Lebih murah dan memiliki jangkauan luas,” katanya. Murah karena tak perlu membangun infrastruktur dengan investasi besar. Selain itu, saluran frekuensi HT bisa diatur dan diterima serentak oleh pemakai pada frekuensi yang sama. Mirip fasilitas telekonferensi.
Sinyal suara HT bisa menjangkau hingga 50 kilometer. Cukup dengan memasang 10 repeater di puncakpuncak gunung dan bangunan tertinggi di Pulau Jawa, pemakai HT di Merak, Jawa Barat, bisa menjangkau lawan bicara di Banyuwangi, ujung Jawa Timur. Bandingkan dengan operator seluler yang membutuhkan setidaknya 5.000 menara Base Transceiver Station (BTS) untuk melingkupi seluruh Jawa.
Dengan sejumlah keunggulan itu, perusahaanperusahaan penyedia solusi komunikasi dan teknologi informasi kini mulai menggarap pasar pengguna HT. Pertengahan April lalu, misalnya, Cisco Systems, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat, meluncurkan teknologi interoperabilitas di Jakarta. Internet Protocol Interoperability Collaboration System 2.0—di sini kita sebut interoperabilitas—merupakan perangkat untuk menyatukan berbagai platform komunikasi. Umpamanya telepon seluler, telepon rumah, komputer melalui protokol internet, dan tentu saja HT.
“Tujuannya menghubungkan semua perangkat dalam satu lingkungan, seperti kepolisian dan perusahaan tambang,” kata Budi Santoso, Cross Industry Director Cisco Indonesia. Kemampuan komunikasi dari kantor pusat, kantor cabang, hingga lokasi operasi yang tak tersentuh sinyal BTS dapat disokong oleh teknologi ini
Satu contoh, seorang manajer di Jakarta bisa berbicara dengan anak buahnya yang berada puluhan kilometer dari lepas pantai atau jauh di dalam hutan melalui ponsel atau laptop. Percakapan bisa didengar semua pemegang HT atau orang tertentu yang diajak serta dalam pembicaraan.
Budi mengatakan, teknologi ini memang khusus ditujukan untuk mengelola komunikasi organisasi. Dengan kemampuan komunikasi yang tinggi antara petugas di lapangan dan manajemen di pusat, keputusan yang diambil bisa lebih cepat dan akurat. “Ada satu perusahaan perkebunan yang mulai menerapkan teknologi ini,” ujarnya kepada Tempo.
Lalu bagaimana sistem kerja alat ini? Yang menjadi otak pada sistem interoperabilitas adalah server yang berfungsi menghubungkan sinyalsinyal dari perangkat komunikasi yang berbeda. Server ini disambungkan ke router—alat pengarah panggilan—yang menuju sambungan internet. sinyal diterima server. Server memerintahkan router menyambungkan panggilan ke HT, telepon genggam, komputer, dan telepon rumah yang dituju.
Di antara semua perangkat komunikasi tersebut, HT merupakan teknologi yang paling sederhana. Karena itu, semua perangkat diperlakukan seperti HT, berbicara dan mendengar secara bergantian. Penelepon via telepon genggam atau telepon rumah, misalnya, harus memijit tombol 1 untuk berbicara dan tombol 2 untuk mendengar. Sedikit berbeda dengan HT, yang harus menahan tombol pada sisi handset selama bicara dan melepasnya saat mendengar.
Komunikasi melalui ponsel atau telepon rumah dengan teknologi ini dikenakan pulsa normal. Penelepon melalui protokol internet juga tidak dibebankan biaya tambahan. Menghemat kocek perusahaan dari satu sisi, tapi bisa menguras dompet dari sisi harga. Investasi perangkat lunak dan keras sistem ini relatif mahal, US$ 55 ribu atau sekitar setengah miliar rupiah. “Bisa lebih murah jika perusahaan sudah memiliki infrastruktur teknologi informasi,” kata Budi.
Kepala Dinas Penerangan Umum Tentara Nasional Indonesia, Kolonel Ahmad Yani Basuki, mengatakan, teknologi informasi seperti yang dikembangkan Cisco Systems memang membantu kemudahan koordinasi dalam operasi di lapangan. “Teknologi informasi sudah menjadi kebutuhan TNI,” katanya. Teknologi ini memang memungkinkan para komandan di markas besar atau di mana pun memantau anak buahnya di lapangan.
Teknologi ini menurut Budi, bukan tanpa kelemahan: keamanan sistem komunikasinya tidak terjamin. “Semua pembicaraan melalui HT bisa didengar orang lain yang mengetahui frekuensinya,” kata dia. Bahkan jika frekuensi tak bisa didapat, tetap saja tidak aman. Dengan menggunakan alat khusus, si penguping bisa memindai pita frekuensi pada daerah tertentu untuk mengetahui adanya komunikasi HT.
Adek Media
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo