Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejaksaan jangan cuma terpaku pada perkara cemen dalam mengusut kasus korupsi. Penyidikan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terhadap penyimpangan dana program pemantauan Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada 2002 menunjukkan untuk kesekian kali lembaga ini lebih sigap mengurus kasus kecil ketimbang yang besar.
Kejaksaan tinggi terlihat tangkas dalam menindaklanjuti laporan Bank Dunia terhadap dugaan penyimpangan Rp 1,8 miliar dana hibah JPS tadi. Kemudian, dengan kecepatan penuh, sejak dua bulan lalu kejaksaan memeriksa 15 saksi, termasuk mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie.
Dalam program JPS ini, Kwik bertugas sebagai pembuat surat keputusan untuk para pejabat Bappenas yang mengawasi program pemantauan JPS itu. Jika terbukti bersalah, Kwik mesti diseret ke mahkamah. Hukum harus ditegakkan, tanpa pilih-pilih pipi.
Namun, dari sisi kerugian negara, kasus ini terhitung tak seberapa. Apalagi kemudian, dalam penyidikan, ditemukan bahwa penyimpangan sebenarnya sebesar Rp 900 juta—separuh dari hibah yang telah dicairkan. Kwik sendiri menghitung penyimpangan yang terjadi cuma Rp 58 juta. Jika benar pada akhirnya nilai korupsi yang terbukti ternyata kecil, jelaslah pengungkapan kasus ini tak sepadan dengan upaya hebat yang dikerahkan kejaksaan.
Kejaksaan tinggi, juga Kejaksaan Agung, sering berkutat pada pengusutan kasus kecil. Di sini terlihat mereka seperti tak memiliki skala prioritas. Daripada mengusut dana JPS, misalnya, kejaksaan mestinya memilih menyelesaikan kasus hak pengelolaan kawasan Kemayoran yang selama ini terkatung-katung. Atau kasus penjualan aset pabrik gula PT Rajawali III yang melibatkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Temenggung, yang merugikan negara Rp 505 miliar.
Keseriusan memberantas korupsi memang tak bergantung pada nilai kerugian negara. Tapi akan lebih efektif jika kejaksaan mengedepankan penanganan kasus yang memiliki komplikasi hukum yang serius, tengah menjadi pusat perhatian publik, mengusik rasa keadilan masyarakat, dan bernilai signifikan sehingga uang negara yang diselamatkan bisa lebih banyak.
Dalam soal ini, kasus transfer dana Tommy Soeharto sebesar US$ 10 juta dari BNP Paribas ke rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melibatkan Menteri Hamid Awaludin dan Menteri Yusril Ihza Mahendra memenuhi segala syarat untuk diprioritaskan dalam penyidikan. Begitu pula masalah dana yayasan Soeharto dan perkara pengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dibiarkan jalan di tempat. Selama ini baru 0,4 persen dari Rp 800 triliun uang BLBI yang kembali.
Padahal mengusut sebuah kasus perlu biaya tak sedikit. Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, telah menghabiskan dana hampir Rp 600 miliar selama tiga tahun ini. Namun hingga kini KPK baru bisa menyelamatkan uang negara sekitar Rp 25 miliar.
Semua institusi pemberantasan korupsi di negeri ini tak punya pilihan lain: mesti menyeleksi dan mendahulukan penanganan kasus yang urgen dan “kakap”. Bukan berarti kasus dana JPS mesti dihentikan. Penyidikan yang kini tengah berlangsung perlu dituntaskan. Selanjutnya, lain kali, kejaksaan mesti bekerja berdasarkan prioritas. Tak perlu tergoda pada nama besar yang mungkin terlibat tapi sesungguhnya kasusnya cuma sekelas ”pindang teri”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo