Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nono Anwar Makarim
MENGAPA Singapura tiba-tiba mau menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia setelah begitu lama menolak? Ada pendapat, Singapura meneken perjanjian di bawah todongan penghentian arus pasir dan granit dari Indonesia. Menurut Asia Sentinel, penghentian ekspor itu telah mengguncang industri konstruksi Singapura. Malaysia sudah lama menghentikan pasokan pasir ke negeri tetangganya itu, tetapi Myanmar dan Vietnam langsung menawarkan pasirnya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Indonesia. Kenyataan ini melemahkan argumen bahwa perjanjian ekstradisi ditandatangani karena Singapura tak berdaya menghadapi kebangkrutan sektor konstruksinya. Yang lebih masuk akal adalah Singapura mengalami tiga perkembangan yang meluluhkan penolakannya membuat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Pertama, pelembagaan perbankan Singapura sudah cukup kuat, sehingga bila terjadi pelarian dana haram Indonesia, sektor keuangannya tidak akan terlalu merugi. Kedua, penanda tangan perjanjian ekstradisi membopong dua rezeki tambahan, yaitu kesempatan latihan perang di lingkungan nonurban. Singapura dikepung negara-negara yang sebagian besar wilayahnya masih suburban. Latihan perang di Indonesia membuat Singapura siap untuk, bila diperlukan, beroperasi militer di Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, dan tentunya juga di Indonesia. Wilayah metropolitan sangat sensitif terhadap gangguan keamanan. Untuk mengatasi gangguan tersebut, sering kali diperlukan preemptive strike, atau pukulan pencegah terhadap basis penyerang. Israel, pelatih keamanan Singapura, ahli di bidang ini. “Rezeki” lain adalah kemungkinan melunaknya hati Indonesia dan terbukanya kembali keran ekspor pasir dan granit. Ketiga, sebagai bekas jajahan Inggris, Singapura menganut sistem hukum Anglo-Amerika. Dalam sistem itu, yang memutuskan seseorang diekstradisi atau tidak adalah pengadilan, bukan pemerintah. Permintaan Indonesia agar seorang koruptor diekstradisi dapat dijawab bahwa hal tersebut terserah pada kewenangan pengadilan. Di sini pemerintah Singapura diberi “ruang bermain” cukup luas untuk mengambil sikap lepas tangan atau turun tangan. Proses operasional kewenangan yudikatif ini biasanya lamban, bahkan bisa tidak menentu. Hukum dan waktu tidak berpihak pada pemohon.
Contoh spektakuler adalah kasus Lai Changxing, penyelundup besar Cina yang melibatkan hampir semua pejabat di Xiamen, kota kelahirannya. Lai menyelundupkan rokok, minyak goreng, TV, mobil, BBM, minuman keras, pokoknya segala barang yang langka di Cina dan, karena itu, mahal. Operasi Lai melibatkan ratusan pejabat setempat, bahkan merembet ke pejabat tinggi partai di Beijing. Keuntungan yang dihasilkan sejak 1996 hingga 1999 tidak kurang dari US$ 6,4 miliar. Lai orang dermawan. Ia suka banting duit dan menyebar hadiah. Hadiahnya tak tanggung-tanggung, antara lain beasiswa pendidikan di luar negeri untuk anak pejabat tinggi. Mobilnya Mercedes Benz antipeluru bekas milik presiden Jiang Zemin. Tiba-tiba, pada 1999, ia dianjurkan melarikan diri. Seorang pejabat yang telah menikmati hadiahnya membocorkan rencana operasi terhadap lingkaran penyelundupan yang dipimpinnya. Lai dan istrinya beserta tiga anak mereka lari ke Vancouver, Kanada. Ratusan kroninya di Cina ditahan, 14 pentolan dalam jaringan penyelundupannya dieksekusi. Adik kandungnya meninggal di kamp kerja paksa.
Di Kanada, Lai mengulangi gaya hidupnya di Cina. Ia dikenal sebagai penjudi besar di kasino. Ia juga sering berhubungan dengan triad, jaringan kejahatan Cina yang ada di Kanada. Gaya hidup mewah dan hubungannya dengan dunia kejahatan itulah yang menarik perhatian pejabat imigrasi Kanada. Apalagi setelah pemerintah Cina meminta agar ia diekstradisi untuk menghadapi pengadilan atas kejahatannya di Xiamen. Tidak lama kemudian ia ditangkap.
Lai punya banyak uang. Ia bisa menyewa pengacara cemerlang dan mahal. Mereka mengupayakan agar ia diberi status pengungsi. Pada 2002, Badan Urusan Pengungsi Kanada memutuskan bahwa Lai tidak memenuhi syarat sebagai pengungsi. Ia dikenai tahanan rumah. Para pengacara Lai naik banding. Pada 2005, bandingnya ditolak oleh Pengadilan Banding Federal. Tahun itu juga Mahkamah Agung menolak memeriksa perkaranya. Para pejabat imigrasi mempersiapkan deportasi Lai Changxing ke Cina.
Pengacara Lai langsung mengajukan permohonan agar pengiriman Lai kembali ke Cina ditinjau secara saksama dari segi risiko bagi keselamatan keluarganya. Selama proses permohonan berlangsung, hukum Kanada melarang seseorang dideportasi. Sementara itu, pemerintah Kanada melalui saluran diplomatik meminta jaminan resmi dari pemerintah Cina bahwa, bila diekstradisi, Lai tidak akan dihukum mati. Cina memberi jaminan resmi, tetapi para pengacara sangsi karena adik Lai , yang nota bene dijatuhi hukuman ringan, ternyata mati juga di kamp kerja paksa. Mereka bergiat mengumpulkan pernyataan tertulis dari organisasi hak asasi seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan International Commission of Jurists. Dari persaksian mereka disimpulkan bahwa jaminan diplomatik tidak akan efektif. Pada 5 April 2007, hakim Pengadilan Federal memerintahkan peninjauan yudisial terhadap kesimpulan risiko pradeportasi. Diperkirakan bahwa proses ini akan memakan waktu 3–5 tahun lagi.
Kasus seperti Lai Changxin bukan pengecualian, bahkan sudah merupakan kebiasaan. Lorraine Esme Osman, mantan pejabat tertinggi Bank Bumiputra Malaysia, sudah 10 tahun gagal diekstradisi dari Inggris ke Malaysia. Pada 1977, sutradara Roman Polanski dituduh berhubungan seks di Amerika dengan gadis berumur 13 tahun. Polanski kabur ke Prancis. Pemerintah Amerika meminta agar ia diekstradisi untuk diadili. Pemerintah Prancis menolak. Karlheinz Schreiber, warga negara Jerman, sudah enam tahun lebih bergulat melawan upaya Jerman agar ia diekstradisi dari Kanada atas tuduhan penipuan, penyuapan, dan penyelundupan pajak. Begitu pula kasus Pedro Paulo dos Santos, yang diupayakan ekstradisinya dari Brasil ke AS, Anthony Chang dalam perkara ekstradisi dari Venezuela ke AS, dan heboh perkara ekstradisi seorang teroris Amerika Latin bernama Luis Posada Carriles, yang dilindungi oleh pemerintah AS.
Dasar kuat untuk menolak ekstradisi adalah bila permintaan ekstradisi diduga bertujuan mengadili berdasarkan pertimbangan ras, agama, etnisitas, atau pandangan politik. Andaikan koruptor Indonesia tetap tinggal di Singapura, mungkinkah pemerintah Indonesia meminta agar orang tersebut diekstradisi ke Indonesia? Mungkin! Bagaimana prospeknya, berhasil atau gagal? Fifty-fifty! Kalau pemerintah Singapura mengambil sikap “lepas tangan”, bagi pengacara Singapura yang cerdas tersedia banyak alasan yang bisa diajukan kepada hakim untuk menolak ekstradisi. Indonesia mempunyai sejarah xenophobia atau anti-asing yang laten. Indonesia punya sejarah panjang dalam diskriminasi berdasarkan ras. Juga demikian dengan minoritas agama, baik Islam maupun non-Islam. Sampai saat ini pemerintah kita masih agresif terhadap orang yang berpandangan politik kiri. Literatur Marxis dilarang. Buku pelajaran sejarah yang kurang antikomunis ditarik dari peredaran. Tetapi, alasan yang paling kuat untuk menolak ekstradisi adalah langkanya kepercayaan dunia pada birokrasi penegak hukum yang bisa dibeli, sistem hukum yang terlalu formalistis, dan praktek peradilan yang korup. Bagaimanapun, bila pemerintah Singapura memutuskan untuk “turun tangan”, koruptor Indonesia yang bercokol di Singapura akan pulang kampung. Di Asia, kebanyakan hakim tunduk pada intervensi pemerintah. Banyak yang meratapi gejala itu sebagai raibnya independensi peradilan. Ada pula yang menamakannya Asian values atau “nilai-nilai ketimuran”.
Para koruptor Indonesia itu lari dari Indonesia untuk melindungi diri dan harta curiannya. Kebanyakan sudah menjadi warga negara sana. Bila Singapura mengancam, mereka pun akan lari lagi. Ekstradisi mereka barangkali tidak semudah yang kita sangka. Lalu apa keuntungan perjanjian ekstradisi Singapura-Indonesia bagi kita? Patokannya apa? Bukankah penegasan kemauan politik memberantas kejahatan, termasuk korupsi, dan terorisme, suatu keuntungan? Ruginya apa? Memberi kesempatan Singapura berlatih perang di wilayah RI? Apa Singapura bisa jadi lebih kuat dari kita karena perang-perangan di tanah kita? Apa kita cemas jangan-jangan kita bisa mereka mata-matai? Apa enaknya kita korbankan saja perjanjian ekstradisi bila mereka mengaitkannya dengan izin berlatih di wilayah RI? Seperti pasokan pasir dan granit, juga wilayah latihan bisa ditawarkan oleh negara lain. Pada setiap tahap pertumbuhan muncul skala prioritas baru. Kita harus memilih yang mana didulukan, yang mana bisa menanti; yang mana risikonya kecil, yang mana bahayanya lebih mematikan. Singapura menyerbu RI? Atau, metastase kanker korupsi ke seluruh tubuh bangsa? Saya pilih menukar ekstradisi dengan beberapa jengkal tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo