Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu per satu para kugiran musik 1970–1980-an berdatangan di studio Rossi di bilangan Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan: Abadi Soesman, Harry Sabar, Debbie Nasution, Fariz R.M., dan Odink Nasution.
Mereka tidak akan datang bila bukan karena sebuah nama: Keenan Nasution, 54 tahun. Dua puluh sembilan tahun silam Keenan mengadakan konser besar di Taman Ismail Marzuki. Dan Sabtu pekan lalu di Balai Kartini ia menghadirkan sebuah konser besar lagi dengan mengambil judul lagu lamanya: Nuansa Bening.
Penggemar musik menyaksikan bagaimana konsernya itu mampu melibatkan berbagai generasi musisi kita. Para gaek di atas ”bergandengan” tangan dengan Gilang Ramadhan, Nugie, Indro Hardjodikoro, Marcel, sampai generasi anak Keenan, Daryl Nasution. Menonton latihannya saja mengesankan, apalagi menyaksikan pertunjukannya.
Gebrakan Keenan membuktikan, meski ”menghilang” selama ini, diam-diam ia memendam energi membara. Keenan pasti menyimpan kekecewaan-kekecewaan tertentu terhadap musik Indonesia tapi gairahnya terhadap musik tak pernah padam. Tahun lalu, misalnya, ia mendirikan Asosiasi Blues Indonesia. Namun, yang paling serius adalah ia menyiapkan album terbarunya, Apa yang Telah Kau Buat. Konser ini bagian dari peluncuran albumnya itu.
Di rumahnya di Cinere Estate, ia memperlihatkan album barunya itu dikemas dalam bentuk box set yang berisi dua buah CD (15 lagu), sebuah buku tentang perjalanan kariernya, dan buku yang berisi lirik lagu. Tiga lagu lamanya, Indonesia Maharddika, Negeriku Cintaku, dan Tak Semudah Kata-kata digubah lagi dengan memasukkan unsur orkestrasi. Lalu ia bercerita bagaimana ia mencari grup orkestra di Australia. ”Di sini masalahnya orkestra belum ada yang memuaskan,” katanya.
Dengan bantuan Sawung Jabo akhirnya di Sydney ia merekam lagunya itu bersama Promusica Orchestra. Semua partitur telah dikirim terlebih dulu. ”Boleh percaya, proses rekaman hanya tiga jam.” Ia memproduksi albumnya sebanyak 3.000 keping CD. ”Ini album terbatas dan saya jual lewat internet.” Mengapa ia tidak menyerahkan ke major label? Tiba-tiba, nada bicaranya berubah keras. ”Major label merusak musik Indonesia, segala yang dibuat mereka tujuannya adalah dagang,” katanya.
Menurut dia, industri kini menjadi penyebab terjadinya keseragaman musik Tanah Air. Pendapat Keenan itu mungkin banyak ditolak anak zaman sekarang tapi, menurut dia, generasi musisi 1970-an dalam bermusik memiliki konsep yang kuat. Generasi itu sangat mempertimbangkan betul bahwa musik harus ”ada sesuatunya”. Ia mengkritik: ”Pertumbuhan musik kita setelah tahun 1970–1980-an belum mencapai puncak, tapi sudah turun.”
Orang pun ingat perjalanan musiknya. Keenan belajar musik secara otodidak. Anak Menteng ini sedari kecil di rumahnya terbiasa mendengar lagu-lagu klasik yang disetel ayahnya. Lepas SMA ia sekolah apoteker, namun naluri bermusiknya lebih kuat daripada meracik obat. Sabda Nada (1966) adalah grup band pertamanya bersama Pontjo Soetowo (organ), Eddy Odek (bas), Zulham ”Joe Am” Nasution (gitar), Edit (drum), dan Ronald Boyo (drum).
Pada 1979, Sabda Nada berganti nama menjadi Gipsy. Personelnya berubah menjadi Keenan, Onan, Gaury, Chrisye, Tammy, dan Atut Harapan. Grup ini sering bermain di diskotek dan acara pesta pribadi. Mereka memainkan lagu-lagu Bluesbreaker dan Keef Hartley. Gypsi kemudian berkolaborasi dengan Guruh yang memiliki minat kuat pada musik tradisi dan menelurkan album dahsyat yang seratus persen diproduksi secara independen: Guruh Gypsi.
Selanjutnya, album solo Di Batas Angan-angan (1978). Inilah untuk pertama kalinya ia mencipta lagu. Lalu disusul Tak Semudah Kata-kata (1979). Pada 1980–1990-an ia mendirikan Gank Pegangsaan, yang bersamanya ia menghasilkan album Palestina I. Pada 1992, ia bersama almarhum Benyamin S., Oding Nasution, dan Harry Sabar membentuk Al Haaj dan menghasilkan album bercorak blues, Biang Kerok.
Lagu-lagu terbaik yang diciptakan Keenan selalu terasa warna rock klasiknya. Tidak berpretensi rumit tapi elegan, enak didengar. ”Menciptakan lagu biasa yang menyentuh lebih sulit daripada lagu avant garde yang susah-susah,” tuturnya. Mendengarkan Nuansa Bening, misalnya, memang selalu terasa membekas. Masa perkenalan lewatlah sudah… ada yang menarik, bayang-bayangmu tak mau pergi… dirimu nuansa-nuansa ilham… hamparan laut tiada bertepi.
Keenan tampak senang saat ia mendengar lagu-lagu Guruh Gypsi pernah diputar di sebuah radio swasta di Kanada beberapa tahun lalu dan pernah didiskusikan dalam sebuah program progressive rock di sebuah radio di Brussel. Yang membikin dia kaget adalah ketika mendengar kabar sebuah perusahaan rekaman kecil yang piawai dalam bidang re-mastering bernama Shaddoks Record di Jerman membajak piringan hitam album Guruh Gypsi.
Ia segera mengecek di internet dan mendapati bahwa album itu dijual seharga US$ 46. Sekitar 500 keping ludes. ”Ini kan gila. Saya sampai menyurati mereka.” Sebelum mengirim surat protes, ia mengontak Guruh Soekarnoputra, menanyakan apakah Guruh yang memberi Shaddoks Record album itu. Jawabannya: tidak. Rupanya, mereka mendapatkan album Guruh Gipsy dari seorang kolektor, kemudian membuat rekaman ulang. ”Mereka minta maaf, lalu menawarkan saya uang sebanyak US$ 2.500 sebagai bayaran 500 piringan hitam dan 100 CD. Saya tak mau,” katanya.
Untuk sementara kemarahan Keenan terhadap perusahaan Jerman itu ia redam demi suksesnya pergelaran Nuansa Bening. Kegairahan Keenan menyiapkan pertunjukannya ini disambut teman-teman lamanya, di antaranya Fariz R.M. Dulu, Fariz adalah penggebuk drum Badai Band, band yang dibentuk Keenan bersama Jockie Soerjoprayogo, Ronny Harahap, dan Oding Nasution. ”Saya ingat ketika manggung di Medan, saya diperkenalkan Chrisye… inilah penabuh drum, Fariz,” kenang Fariz.
Penonton pertunjukan Nuansa Bening malam itu menyaksikan Fariz berduet drum dengan Keenan dalam lagu Indonesia Maharddika dan Negeriku Cintaku. ”Ini memang format lama, drumnya ada dua, ya… seperti Genesislah,” ujarnya tertawa.
Sependapat dengan Keenan, Fariz melihat, secara musikal, pertumbuhan musik pop-rock Indonesia kini tak begitu berarti. Era 1980-an, menurut dia, adalah rangkuman musik Tanah Air dari era 1960–1970-an. Persoalannya, fondasi yang telah disediakan generasinya ini justru tak dikembangkan oleh musisi masa kini, tidak dieksplorasi. Hal itu dikarenakan dunia industri telah menyetir mereka semua. Kondisi inilah yang membuat ia mengundurkan diri dari kancah musik Tanah Air sejak 1991.
Fariz pun tampak bergelora ketika melihat pertunjukan Nuansa Bening mampu membuat ”jago-jago lama” turun gunung. ”Tuh, guru-guru saya pada turun semua,” ujar Fariz seraya menunjuk Debbie Nasution yang sore itu baru saja berlatih.
Debbie tertawa. Sore itu di Studio Rossi, karena latihan yang sangat terbatas, ia masih merasa orkestrasi 20 pemain biola yang mengiringi pianonya memainkan Negeriku Cintaku, lagu yang diciptakannya bersama Eros Djarot, tak tergarap maksimal. Namun, ia mengakui bahwa pergelaran Nuansa Bening ini adalah momen yang langka . ”Ini momen cantik musik Tanah Air,” kata Debbie.
Momen ini, menurut dia, bisa menjadi introspeksi musisi zamannya dan juga musisi sekarang. Debbie melihat perbedaan yang kuat antara grup masa kini dan musisi periodenya. ”Kehebatan anak muda sekarang adalah memiliki dedikasi kuat bermain sebagai grup,” ia menegaskan. Ia melihat secara musikal musisi 1970-an secara perorangan kuat, tapi karena ego masing-masing, banyak kerja sama berbuah friksi dan akhirnya menghentikan, mematikan, proses kreatif yang telah tercipta .”Masing-masing ingin jadi komandan,” katanya, tertawa.
Malam itu, tiga generasi musisi Indonesia, generasi 1970-an, 1980-an, dan 1990-an tampil satu panggung. Mungkin itu sekadar pergelaran nostalgia, mungkin juga tidak. Hanya saja aplaus yang besar pada Keenan membuktikan bahwa penonton musik Indonesia haus akan pertunjukan yang inspiratif.
Seno Joko Suyono, Andi dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo