Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH sandek (short message services) datang menginterupsi pagi Kusmayanto Kadiman. Menteri Negara Riset dan Teknologi itu sedang duduk di acara peringatan setahun petaka tsunami akhir bulan lalu. Kusmayanto segera merogoh ponsel di saku celananya. Hampir bersamaan, Wakil Gubernur Sumatera Barat Marlis Rahman dan Wali Kota Padang Fauzi Bahar, yang duduk mengapit Pak Menteri, melakukan gerak serupa.
Ternyata ketiganya menerima pesan yang sama. Isinya kabar gawat: ”Terjadi gempa kuat 184 km barat daya Padang, berpotensi menimbulkan tsunami, segera tinggalkan daerah pantai Padang dan sekitarnya.” Pengirimnya adalah nomor khusus milik Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Pesan genting itu membuat Fauzi bangkit meraih mikrofon, memberi instruksi kepada stafnya. ”Dengan ini saya perintahkan segera dilakukan evakuasi!” katanya dengan suara tegas komandan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sejurus kemudian, bunyi sirene pemadam kebakaran meraung-raung membelah pantai Ulakkarang dan Purus, Padang.
Mendengar bunyi itu, ribuan orang seperti tumpah di jalanan. Mereka berebut meninggalkan rumah, berlari menuju jalur evakuasi yang telah ditetapkan. Tujuannya satu: ke Gunung Pangilun yang berjarak empat kilometer dari pantai. Warga pun seperti bertarung dengan waktu, berlari sebelum air bah menggulung wilayah sekitar pantai.
Sementara itu, mata Kusmayanto, Marlis, dan Fauzi serta ratusan wajah lainnya seolah enggan berkedip mengawasi evakuasi itu dari tiga layar yang dipasang di gedung Bagindo Azis Chan. Untunglah, dalam 30 menit, sekitar 5.000 warga berhasil mencapai zona aman.
Kusmayanto lega. Bukan karena warga selamat, tapi latihan evakuasi itu berjalan lancar. Drama evakuasi hari itu memang cuma latihan yang digelar Pemerintah Kota Padang dan Komunitas Siaga Tsunami (Kogami). Simulasi itu adalah salah satu program yang disiapkan kota Padang untuk menghadapi tsunami. Meski belum sepenuhnya mulus, Kusmayanto senang melihat kesiapan warga. ”Sudah bagus, walau skalanya masih kurang dan harus ditularkan ke warga lainnya,” katanya kepada Tempo.
Warga yang ikut berlatih juga tampak lega. Sri Purwani adalah contohnya. Warga Ulakkarang itu kini tak waswas lagi bila terjadi gempa. ”Karena saya sudah tahu rute evakuasinya,” kata perempuan 55 tahun itu. Di pesisir pantai itu memang sudah terpasang rambu-rambu khusus untuk evakuasi.
Sejak gelombang maut menyapu daratan Aceh, penduduk Ulakkarang mengalami trauma. Banyak yang mengungsi dari pantai karena takut petaka serupa akan menggulung daerah mereka karena kondisi alam perairan Sumatera Barat mirip dengan Aceh: sama-sama berhadapan dengan Samudra Indonesia dan ada di patahan bumi yang rawan gempa.
Atas pertimbangan itulah, Kementerian Negara Riset dan Teknologi membuat program untuk menghadapi bahaya tsunami. Selain membuat rute evakuasi, mereka juga membuat program yang bisa mengirimkan pesan pendek kepada pejabat-pejabat berwenang. Pejabat itulah yang kemudian memutuskan perlu ada evakuasi atau tidak.
Cara memberi peringatan terhadap adanya tsunami itu sederhana. Begini alurnya, ketika seismograf yang ada di stasiun Padangpanjang mendeteksi getaran gempa, stasiun itu akan mengirimkan sinyal bahaya ke satelit dan diteruskan di kantor BMG di Jakarta. ”Getaran yang terekam ditampilkan pada layar pemantauan,” kata Haryanto Sahar, Kepala Bidang Infrastruktur Jaringan Informasi, Kementerian Riset dan Teknologi.
Selanjutnya, dengan perangkat lunak buatan para peneliti Indonesia, BMG akan mengirim informasi gempa itu melalui pesan pendek ke beberapa nomor ponsel yang sudah terdaftar. ”Tinggal mengklik mouse atau tuts papan ketik komputer,” kata Haryanto. Pemilik ponsel yang menerima pesan pendek tentu saja mereka yang berhak mengambil keputusan, misalnya wali kota.
Untuk mengirim pesan pendek, BMG bekerja sama dengan dua operator seluler, yakni Indosat dan Telkomsel. ”Tapi nanti akan dikembangkan juga dengan Telkom Flexi,” kata Prih Haryadi, Kepala Pusat Data Informasi Geofisika BMG. Penjajakan kerja sama itu akan dibicarakan awal Januari ini.
Cara lain mengirim peringatan tsunami adalah dengan menggunakan sirene yang menaranya kini terpancang di Ulee Lheue, Meuraxa, Banda Aceh. Sirene ini dikembangkan oleh Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan Asia Cellular Satellite (ACeS) mulai Juni 2005. Sirene setinggi 15 meter inilah yang dibunyikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat peringatan setahun tsunami berlangsung. Daya jangkaunya 2,5 kilometer, dengan tingkat tekanan suara 160 desibel (dB).
Menurut Chief Executive Officer PSN Adi Rahman Adiwoso, sirene tersebut dapat diaktifkan melalui satelit Garuda-1 maupun jaringan ponsel GSM secara bersamaan. ”Hal itu membuat sirene dapat dibunyikan langsung dari mana saja, seperti dari BMG Jakarta,” kata Adiwoso. Meski begitu, tak semua orang bisa mengaktifkannya.
Adiwoso menambahkan, pihaknya juga sudah berbicara dengan (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia agar sirene itu bisa dipasang di menara-menara milik operator seluler. Harapannya, sirene tak hanya dimanfaatkan untuk peringatan tsunami, tapi bisa untuk banjir, kebakaran, atau gunung meletus. Namun, Haryanto mengusulkan adanya standardisasi bunyi sirene. ”Sirene tsunami harus khas, unik, dan tak ada duanya,” ujarnya.
Pemerintah Kota Padang sendiri, menurut Fauzi, akan bekerja sama dengan PT Telkom untuk memasang 87 sirene di menara-menara Telkom. Sementara itu, Idwan Suhardi, Deputi Menteri Negara Riset dan Teknologi, belum bisa memastikan apakah sistem sirene tsunami di Padang akan sama dengan sirene yang ada di Aceh.
Kelak, peringatan dini ini tak hanya berupa sirene. BMG juga mengembangkan sistem yang bisa menyampaikan berita gawat dalam lima menit. Jadi, ketika seismograf berguncang keras atau sensor pasang surut air laut (tide gauge) membaca gerakan dahsyat gelombang, peringatan tsunami akan muncul tak hanya lewat sandek, tapi juga lewat running text (teks berjalan) di televisi, internet, dan radio. ”Mudah-mudahan jaringan komunikasi itu mulai berjalan pada 2006,” kata Idwan berharap.
Yandhrie Arvian, Febrianti (Padang)
Bersatu Menangkal Petaka
Agar peringatan tsunami segera diterima masyarakat, perlu jaringan komunikasi terintegrasi. Inilah jaringan yang tengah dirintis pemerintah.
- Gempa direkam oleh seismograf dan diteruskan ke satelit.
- Sensor pasang surut air laut, mencatat tekanan dasar laut dan mengirimnya ke satelit.
- Satelit meneruskan data-data ke pusat pengolahan di Badan Meteorologi dan Geofisika.
- Peranti lunak, seperti pemodelan tsunami, SIP Pahami, peta evakuasi, serta Decision Support System dan Expert System akan memproses data pengukuran.
- Bila akan terjadi tsunami, sirene diaktifkan lewat satelit atau ponsel.
- Pesan pendek dikirim. Isinya: waktu gempa, lokasi, kekuatan, jarak ke kota terdekat, serta potensi menimbulkan tsunami. Nanti juga akan memuat data tinggi air laut dan berapa lama tsunami menyentuh pantai.
- Analisis data dan peta evakuasi berbasis web dikirim ke pemerintah lokal, Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak), atau Badan Koordinasi Nasional.
- Running text bisa dikirim lewat pesan pendek atau internet memakai peranti lunak SIP Pahami buatan BPPT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo