Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah babak belur di arena SEA Games XXII, Manila, bulan lalu, dunia olahraga Indonesia segera menghadapi arena yang lebih berat, Asian Games 2006. Bayang-bayang pesimisme bahwa Indonesia bisa ”bicara” di pesta bangsa-bangsa Asia menggelayut begitu kuat.
Maklum, SEA Games Manila seperti titik kulminasi perkembangan olahraga Tanah Air. Dengan hanya meraih 49 medali emas, 79 perak, dan 89 perunggu, Indonesia terjungkal ke peringkat kelima di bawah Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Inilah prestasi terburuk Indonesia sejak ikut pertama kali pada 1977. Waktu itu Indonesia langsung menjadi raja hingga sembilan kali SEA Games berikutnya.
Apa yang terjadi dalam pembinaan olahraga nasional? ”Masih ada cabang olahraga yang pembinaannya memakai cara-cara tradisional,” ujar Ketua KONI Pusat, Agum Gumelar, kepada Tulus Wijanarko dan fotografer Gunawan Wibisono dari Tempo, pertengahan Desember lalu. Agum juga mengakui pembinaan olahraga di negara-negara tetangga sudah lebih siap.
Meski demikian, saat ditemui di ruang kerjanya untuk wawancara, Agum tak kehilangan semangat. Ia tetap optimistis dunia olahraga Indonesia masih punya masa depan—tentu dengan sejumlah syarat. Berikut petikannya.
Apa evaluasi Anda melihat kegagalan di SEA Games kemarin?
Kami sudah menyiapkan kontingen sebaik-baiknya sejak delapan bulan sebelum SEA Games. Ada pemusatan latihan dan pengiriman sekitar 100 atlet latihan ke luar negeri. Itu menunjukkan keseriusan dalam menyiapkan atlet. Setelah persiapan, ada evaluasi dengan melibatkan para pengurus besar (PB) induk cabang olahraga. Dari evaluasi itu muncul perkiraan perolehan medali, yakni sekitar 60 emas—dan tak akan lebih dari 70 emas. Waktu itu timbul reaksi kami dinilai pesimistis, tetapi ingat, ini perkiraan, dan bukan target. Harus dibedakan antara pesimis dan realistis.
Mengapa angka itu Anda sebut realistis?
Pertama, ada keinginan kuat tuan rumah menjadi juara umum dengan menghalalkan segala cara. Keinginan menjadi juara umum adalah hal yang wajar, tetapi mestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Apa indikator mereka menghalalkan segala cara? Misalnya, tuan rumah mempertandingkan lima cabang olahraga yang hanya dikuasai sedikit negara. Kita tak ikut karena bahkan namanya pun baru mendengar. Lima cabang ini menyediakan 90 set medali. Coba bayangkan. Kemudian di arena pun soal penjurian muncul masalah, terutama untuk cabang-cabang tak terukur, misalnya di cabang panahan kita hampir berantem karena ada perubahan angka. Di selancar angin, kemenangan Oka Sulaksana dianulir dan diberikan kepada atlet tuan rumah yang sebelumnya sudah didiskualifikasi.
Pertimbangan lainnya?
Lihat Singapura. Pemain badminton dan tenis mejanya semua dari Cina. Makanya mereka bertekad melakukan sapu bersih. Maka, ketika atlet kita, Husein, juara di tunggal putra tenis meja, saya katakan dia telah mengalahkan pemain Cina, bukan Singapura. Filipina juga demikian. Atlet biliar mereka, Aleks Pagulayan, sudah beberapa kali menjadi juara dunia dengan bendera Kanada. Eh, kemarin ujug-ujug dia main untuk Filipina. Juga, pemain bola voli pantainya, bule mereka itu.
Tetapi dari sisi Indonesia sendiri, bukankah ada faktor kegagalan juga, misalnya tidak optimal ikut di semua cabang olahraga, seperti menembak, yang menggelar banyak nomor, namun Indonesia hanya ikut sedikit saja?
Ya, di cabang menembak memang mempertandingkan 27 nomor dan kita hanya ikut empat nomor. Saya nanti akan minta pertanggung jawaban Perbakin kenapa bisa demikian. Masih ada lagi. Di atletik yang menggelar 45 nomor, kita hanya ikut 22 nomor. Jadi, ditambah dengan cabang-cabang yang tak dikenal di atas, total Indonesia tidak mengikuti 165 nomor pertandingan. Jadi, dengan melihat semua itu kami realistis dalam memperkirakan perolehan medali.
Di luar aspek tadi, bagaimana faktor kemajuan atlet negeri jiran?
Tuan rumah telah mempersiapkan atletnya dengan baik. Mereka mengirim 200 atlet ke luar negeri selama dua tahun. Begitu pula Vietnam yang langsung mengadakan persiapan dengan mengirim atlet ke Cina setelah menjadi tuan rumah SEA Games sebelumnya. Malaysia bahkan telah mengembangkan teknologi olahraga untuk persiapan atletnya, juga Singapura. Kami terkejut dan secara sportif harus diakui mereka benar-benar telah siap.
Selama ini bagaimana sebenarnya peta pembinaan olahraga kita?
Memang, ada beberapa cabang olahraga yang model pembinaannya masih sangat tradisional. Padahal, kemajuan iptek sudah jauh sekali. Lihat, misalnya, di cabang atletik, saya rasa perlu ada dukungan dari teknologi tinggi. Selain itu masih banyaklah, dan kita memang perlu terus belajar.
Bukankah itu bagian dari tugas KONI, yakni mengawasi pembinaan cabang-cabang sesuai dengan UU Olahraga?
Tugas KONI adalah membantu pemerintah dalam proses pembinaan olahraga prestasi. Di lapangan, PB-PB-lah yang melakukan pembinaan. Kalau sepak bola, ya PSSI. Itu kan organisasinya. KONI bertugas memfasilitasi dan mengkoordinir keseluruhan pembinaan prestasi menuju ajang multi-event; berapa biaya pelatih, try out, dan sebagainya. Itu kita fasilitasi dan buka kesempatan. Tetapi menentukan siapa pelatihnya tetaplah cabang-cabang. Kalau PSSI gagal, misalnya, masak KONI yang harus tanggung jawab?
Ada kritik, selama ini hubungan KONI dengan PB tidak begitu mesra, sehingga berpengaruh pada pembinaan….
Hubungan kami mesra kecuali dengan PB Hoki (Persatuan Hoki Seluruh Indonesia). Silakan tanya ke pimpinan-pimpinan organisasi. Tetapi anggota DPR dan wartawan banyak menyitir pernyataan Ketua PB Hoki. Anggota DPR Angelina Sondakh, misalnya, bilang banyak yang mengkritik ke KONI. Saya jawab, siapa yang mengkritik? Tetapi saya sangat sedih jika ada yang bilang KONI foya-foya. Saya sedih di radio ada yang bilang anggaran KONI besar, tapi yang jatuh ke atlet cuma 10 persen. Wah, itu disinformasi sangat kejam pada rakyat, seolah yang 90 persen dimakan KONI. Saya ini banyak berkorban: tenaga, pikiran, dan duit. Jadi, kami foya-foya apa? Untuk anggaran dari APBN, sepeser pun akan kami pertanggungjawabkan. Kalau ada yang menyimpang akan saya tindak tegas. Membina olahraga itu pengabdian, baik dari segi pikiran, tenaga, dan uang. Saya (waktu memimpin) PSSI, maaf saja, duit saya habis miliaran. Demikian juga di KONI ini. Tetapi itu saya relakan untuk olahraga. Saya tak mencari pujian. Tetapi tolong dimengertilah.
Berapa, sih, anggaran APBN untuk SEA Games kemarin?
Kita menyiapkan atlet selama hampir 10 bulan. Biaya mulai dari persiapan sampai pelaksanaan SEA Games adalah Rp 70 miliar dari APBN. Pemusatan latihan dilakukan, juga pengiriman atlet latihan di luar negeri. Prestasi itu mahal, jadi harus kita beli. Bukankah pengiriman atlet latihan di luar negeri itu butuh biaya besar? Tetapi itu memang harus kita lakukan.
Angka Rp 70 miliar itu sudah memadai?
Ya, harus dicukupkan. Kita sesuaikanlah dengan anggaran sebesar itu. Tetapi bandingkan dengan dana yang dikeluarkan Thailand dan Filipina. Thailand menyediakan US$ 60 juta (sekitar Rp 600 miliar); sementara Filipina, karena mengirim 200 atlet ke luar negeri selama setahun, mereka menyiapkan US$ 80 juta (Rp 800 miliar). Kita hanya sepersepuluhnya. Tetapi ini tidak saya jadikan alasan. Saya tidak cengeng. Kita maklum karena pemerintah punya keterbatasan. Jadi, kami lakukan apa yang bisa. Jadi, jangan anggap anggaran KONI besar dan yang jatuh ke atlet hanya 10 persen. Menangis saya mendengar itu.
Jadi, menurut Anda tidak bisa dikatakan perhatian pemerintah tidak besar?
Oh, perhatian pemerintah besar sekali. Kami tahu pemerintah punya keterbatasan keuangan. Jika nanti pemasukan sudah besar, kita harapkan perhatian pada olahraga juga kian besar. Selama ini kami sudah didukung, saya ucapkan terima kasih. Tetapi kalau bisa (nantinya harus) disesuaikan, karena prestasi itu harus kita beli. Selain itu, olahraga perlu juga dukungan kebijakan, misal dalam cabang menembak yang alat-alatnya harus impor. Tolonglah bea masuknya diperingan. Dukungan lain adalah masih perlu dibangun fasilitas olahraga.
Pada 2006 akan ada event Asian Games. Apa yang akan dilakukan KONI agar prestasi olahraga tidak semakin terpuruk?
Sebenarnya prestasi olahraga tidak sama sekali terpuruk. Memang, ada beberapa cabang yang di luar dugaan, tetapi kan ada lima cabang yang Indonesia jadi juara umum di SEA Games kemarin. Dulu, Pak Wismoyo Arismunandar (Ketua KONI sebelumnya) berusaha membangkitkan prestasi dengan program Garuda Mas dan menargetkan masuk enam besar Asian Games. Menurut saya, itu perlu direvisi dan dimodifikasi karena dunia berubah. Uni Soviet pecah menjadi negara-negara baru yang masuk benua Asia, misalnya seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan lain-lain. Mereka itu kan raksasa di bidang olahraga. Maka, target enam besar Asian Games tak relevan lagi. Program kami sekarang adalah mengakselerasi Garuda Mas menjadi program Indonesia Bangkit. Sasarannya, di Asian Games harus bisa meraih medali emas. Jumlahnya akan kita bahas setelah evaluasi besar.
Apa yang membedakan Indonesia Bangkit dengan Garuda Mas?
Indonesia Bangkit ini menempa para gladiator (terpilih) dan kepada mereka dilakukan pembinaan jangka panjang. Mereka berasal dari 12 cabang olahraga yang prestasinya sudah level Asia dan dunia. Mereka ini berpeluang meraih medali, misalnya, seperti di karate, tenis, badminton, angkat besi, dan lain-lain. Ini kita prioritaskan. Pembinaan berlangsung selama dua tahun hingga Asian Games. Para atlet dan pelatihnya dapat uang saku. Kalau perlu, latihan ke luar negeri. Biayanya ditanggung KONI.
Sejauh ini bagaimana prospeknya?
Dalam setahun terakhir prospeknya bagus. Bahkan ada satu cabang lagi yang masuk program Indonesia Bangkit, yakni bowling. Cabang ini berhasil meraih tiga medali emas dalam SEA Games. Padahal, targetnya cuma satu. Prestasi mereka kami anggap bagus karena musuh mereka di SEA Games sudah level dunia.
Indonesia Bangkit hanya sampai Asian Games. Setelah itu, bagaimana pembinaan selanjutnya?
Cabang-cabang yang telah bermain di level dunia akan dibina terus. Sementara yang sudah bermain di level Asia kami tingkatkan. Ini semua perlu tekad bersama, dari presiden sampai tukang sapu di KONI. Juga, perlu kerja keras, kerja sama, dan dukungan dari semua. Dukungan dari pemerintah sudah saya sebut di atas, tetapi kita juga perlu dukungan dari wartawan. Bagaimana bentuknya? Beri mereka semangat. Saya kasih contoh, waktu masih sebagai Ketua Umum PSSI, kami persiapkan tim untuk Piala Tiger dengan uji coba melawan PSM. Waktu itu PSSI menang 4-0. Eh, esoknya sebuah koran nasional memberitakan dengan judul ”PSM Beri Kemenangan pada PSSI”. Apa yang terjadi? Bimasakti mengumpulkan semua pemain dan dia injak-injak koran itu. Berita itu sungguh tak memberi semangat.
Melihat kompleksitas problemnya, ada yang usul agar olahraga ditangani sebuah departemen tersendiri dan tidak menempel pada kementerian negara yang mengurusi kepemudaan seperti selama ini.
Saya kira itu perlu sekali, karena Menteri Negara Kepemudaan dan Olahraga itu kan tidak operasional. Kalau ditingkatkan menjadi departemen tersendiri, maka bisa lebih operasional. Tetapi memang harus dimengerti di era global ini peran pemerintah sebaiknya menjadi fasilitator. Peran swastalah yang lebih mengemuka. Pemerintah bertugas memfasilitasi agar swasta di segala aspek semakin berdaya saing, mulai dari ekonomi hingga olahraga. Di bidang olahraga berilah fasilitas kemudahan impor peralatan. Tugas Departemen Olahragalah yang menangani hal-hal seperti itu. Departemen juga bisa membangun berbagai fasilitas olahraga.
Anda tampaknya menekankan sekali soal fasilitas olahraga itu?
Kurangnya fasilitas dan sarana olah raga inilah yang menjadi salah satu kendala dunia olahraga. Idealnya ada stadion bertaraf internasional di setiap ibu kota provinsi. Kendala lain adalah soal klasik, yaitu dana (sambil menjentikkan ibu jari dan jari tengah). Maaf, dibanding dengan negara lain, kita ini tertinggal sangat jauh. Kendala lain adalah kurangnya frekuensi bertanding atlet. Bahkan ada cabang olahraga yang mengandalkan kejuaraan nasional setahun sekali. Tentu ini sangat kurang buat atlet. Tanpa bertanding, sulit atlet menjadi andal, terutama yang musuhnya diri sendiri, seperti menembak. Jam terbang sangat perlu.
Bagaimana dibandingkan dengan negeri tetangga?
Coba anda keliling Singapura. Di negeri kecil itu, setiap sekolah dari SD sampai perguruan tinggi memiliki fasilitas olahraga. Di sini sekolah mana yang demikian? Bisa dihitung dengan jari. Padahal, olahragawan lahir dari sekolah-sekolah. Tetapi harus diakui semua itu tak bisa dijadikan ukuran. Coba perhatikan, sejak merdeka sampai sekarang kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan gizi makin buruk. Lihatlah di Sungai Mahakam, misalnya, orang-orang mandi, buang air, dan gosok gigi di sungai itu. Delapan persen negeri ini masih seperti itu, Bung. Lihat di Jakarta, mungkin hanya di Menteng dan Kebayoran (yang layak). Begitu ke pinggiran, sudah susah. Bagaimana akan kita dapatkan anak bangsa yang sehat jasmani-rohani dan kecerdasan memadai dari keadaan seperti ini?
Padahal, Indonesia memiliki keunggulan, yakni penduduknya lebih besar dari negeri tetangga. Itu tak bisa dijadikan faktor yang menguntungkan?
Coba lihat dengan jujur, seandainya Indonesia perang dengan Singapura, bisa menang enggak? Superioritas udara ada di Singapura. Berapa skuadron F16 mereka? Bandingkan dengan milik kita. Jadi, tidak bisa kita yang berpenduduk 220 juta ini mesti menang bertanding olahraga lawan Malaysia yang 90 persen rakyatnya sudah terpenuhi empat sehat lima sempurna itu. Dari 220 juta penduduk ini, berapa persen yang sudah terpenuhi? Jadi, tak bisa keunggulan komparatif itu dijadikan alasan untuk mesti menang.
Anda ingin mengatakan, urusan prestasi olahraga tidak bisa menjadi tanggungan KONI sendiri?
Ya, semua aspek harus diberdayakan. Kita bersyukur kini olahraga ada payung undang-undangnya. Kita harap Menpora bisa menelurkan kebijakan yang mendorong olahraga ke arah lebih baik.
Anda sudah dialogkan hal ini dengan Menpora?
Sudah, dan ditanggapi positif. Tetapi dukungan tentunya kita sesuaikanlah dengan keadaan yang ada.
Maksud Anda, dukungan perlu ditingkatkan lagi?
Ya, disesuaikanlah. Sekali lagi, prestasi itu mahal dan harus dibeli.
Apa obsesi Anda pribadi bagi dunia olahraga Tanah Air?
Kita tak bisa terus mengandalkan kenekatan untuk mencapai prestasi. Malaysia sudah mengandalkan teknologi tinggi untuk menyokong prestasi atletnye. Kalau pembinaan kita masih tradisional, maka kalau menang pun itu karena nekat. Kita tidak bisa begini terus. Dunia makin berkembang. Juga, ada persoalan disiplin. Atlet Malaysia, Singapura, dan Vietnam memiliki disiplin bagus. Dan yang penting lagi, nasionalisme mereka semakin tinggi. Mereka makin bangga menjadi orang Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Hal itu selalu diperlihatkan di arena.
Apakah nasionalisme atlet kita menurun?
Indikasinya mengarah ke sana. Itu tidak boleh. Sudah berbuih mulut saya menanamkan nasionalisme itu. Nasionalisme adalah salah satu syarat bagi sebuah bangsa untuk menjadi bangsa terhormat.
Agum Gumelar
Lahir:
- Tasikmalaya, Jawa Barat, 17 Desember 1945
Pendidikan:
- 1964: tamat SMA di Bandung 1969: masuk Akademi Militer Nasional (AMN)
Karier:
- 1973–1976: menjabat sebagai staf Kopkamtib dan Bakin
- 1993–1994: Direktur A Badan Intelijen dan Strategis (BAIS) ABRI
- 1993–1994: Komandan Kopassus ke-13
- 1994–1996: Kasdam I Bukit Barisan
- 1996: Staf Ahli Panglima ABRI Bidang Polkam
- 1996–1998: Pangdam VII Wirabuana
- 1998: Gubernur Lemhannas
- Oktober 1999: Menteri Perhubungan Kabinet Persatuan Nasional
- 2 Juni 2001, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Polsoskam
- 9 Agustus 2001–2004: Menteri Perhubungan Kabinet Gotong-royong
- 2003–sekarang: Ketua Umum KONI Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo