Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjelasan Swadeshi Bali Foundation

BERDASARKAN pemberitaan di rubrik Pokok dan Tokoh majalah Tempo edisi 19-25 Desember 2005, di mana sutradara film Riri Riza (sutradara film Gie; peraih predikat skenario terbaik dalam 3rd Biffest 2005) menyatakan bahwa Bapak A.A. Ngurah Arya Wedakarna adalah Presiden Komite Penyelenggara, dengan ini kami selaku perwakilan 3rd Bali International Film Festival Committee menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Bahwa Bapak A.A. Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. dalam pelaksanaan 3rd Bali International Film Festival hanya bertindak sebagai penasihat dalam kapasitas beliau sebagai Presiden Swadeshi Bali Foundation (pemegang lisensi pelaksanaan Bali International Film Festival).

  2. Kami menegaskan bahwa Bapak A.A. Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. tidak memiliki sangkut-paut secara teknis dalam pelaksanaan 3rd Bali International Film Festival 2005, termasuk penjurian yang berhasil menentukan ”film Gie” sebagai film dengan predikat skenario terbaik.

  3. Kami sangat menyesalkan sikap Riri Riza yang mengaitkan protes WHYO terhadap Garin Nugroho yang telah melakukan pelecehan terhadap kitab suci agama Hindu (Itihasa Rmayana) berdasarkan artikel di majalah Tempo edisi 3-9 Oktober 2005 dengan pelaksanaan 3rd Bali International Film Festival. Di mana sebagai wujud profesionalisme, posisi beliau sebagai Presiden WHYO dan Presiden Swadeshi Bali Foundation kami harap bisa dibedakan.

Demikian kami sampaikan penjelasan sekaligus hak jawab kami.

I MADE ABDI NEGARA Juru Bicara Swadeshi Bali Foundation

Pengalaman di Klinik SOS Medika

PENGALAMAN tak nyaman saya alami di klinik SOS Medika, Kuningan, Jakarta, pada 14 Desember lalu. Pelayanan tak nyaman itu sudah terasa sejak membuat janji untuk pemeriksaan kesehatan rutin (medical check-up). Membutuhkan berkali-kali menelepon untuk membuat satu janji kunjungan pemeriksaan kesehatan yang biasa. Kemudian, pelayanan petugas di meja administrasi membuat saya kecewa. Petugas memilih melayani lebih dulu orang berkebangsaan asing yang persis di sebelah saya, yang datang setelah saya. Seharusnya, pelayanan diberikan berdasar first come first serve.

Pemeriksaan kesehatan saya di SOS mencakup pemeriksaan jantung. Sebelum dilakukan pemeriksaan, perawat mengoleskan semacam gel pada bagian dada dan kaki untuk dihubungkan dengan kabel-kabel. Saya berbaring selama beberapa menit selama pemeriksaan dilakukan. Setelah selesai, saya dipersilakan memakai baju kembali.

Saat itu badan terasa lengket dan saya bertanya kepada perawat kenapa badan terasa lengket-lengket. Perawat menunjuk ke kotak tisu. Ternyata perawat tersebut telah meletakkan kotak tisu tersebut di samping saya pada saat pemeriksaan berlangsung. Bukan maksud saya perawat itu mengoles-oleskan tisu ke badan saya. Tapi setidaknya perawat itu memberitahukan bahwa saya boleh menggunakan tisu itu sebelum memakai kembali baju.

Perusahaan saya, yang berkantor pusat di Amerika, menganggap bahwa pemeriksaan kesehatan rutin itu sepenuhnya hak pegawainya dan hasil pemeriksaan kesehatan tidak perlu diketahui perusahaan atau dikirim ke bagian personalia perusahaan.

Ketika hal ini saya jelaskan kepada Ibu Reny, petugas senior di laboratorium di situ, dan menyatakan hasil pemeriksaan bisa langsung diberikan kepada saya, beliau tidak percaya. Kami pun berdebat.

Sesampainya di kantor, saya dihubungi manajer personalia saya di kantor regional di Singapura. Tidak lama kemudian saya mendapat telepon dari SOS yang memberitahukan hasil pemeriksaan kesehatan akan dikirim langsung kepada saya.

Di Jakarta, memang banyak klinik dan rumah sakit yang didukung oleh dokter-dokter yang pintar dan memiliki fasilitas medis yang canggih. Tapi, jangan lupa, menjaga kualitas petugas administrasi dan perawat juga tidak kalah pentingnya.

WAHYUDI S. Jalan Pancoran Timur, Jakarta Selatan

Penjelasan PMI tentang Lambang Bulan Sabit Merah

SEBAGAIMANA diketahui bahwa sejak tahun 2002 telah berdiri sebuah organisasi ”Bulan Sabit Merah Indonesia”, yang melaksanakan kegiatan kemanusiaan sebagai halnya dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Kami menyambut gembira pendirian organisasi kemanusiaan tersebut. Namun, kami menyayangkan penggunaan lambang dan nama Bulan Sabit Merah Indonesia karena hal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia maupun internasional.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk memperjelas permasalahan tentang penggunaan lambang Bulan Sabit Merah, perkenankan kami menyampaikan informasi sebagai berikut:

  1. Bahwa di satu negara hanya diperbolehkan ada satu perhimpunan nasional yang diakui oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan diterima Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC). Hal ini tercantum dalam:

    1. Prinsip keenam dari Prinsip-prinsip Dasar Gerakan Palang Merah, yaitu kesatuan, yang menyatakan bahwa ”Di dalam satu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan di seluruh wilayah”.

    2. Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tentang syarat-syarat suatu Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional untuk diakui sebagai perhimpunan nasional, yang berbunyi:

      ”Agar dapat diakui sebagai sebuah Perhimpunan Nasional, ... Perhimpunan tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut: ... (2) Merupakan satu-satunya Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional dari Negara yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pengurus Pusat yang merupakan satu-satunya dan berwenang untuk mewakili Perhimpunan Nasional dalam berhubungan dengan komponen-komponen lain Gerakan ini.”

    3. Keppres No. 25 Tahun 1950, yang mengesahkan Anggaran Dasar Palang Merah Indonesia, mengakuinya sebagai badan hukum serta menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai satu-satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan palang merah di Indonesia menurut Konvensi Jenewa.

    4. Keppres No. 246 Tahun 1963 yang menguraikan tugas pokok dan kegiatan Palang Merah Indonesia, salah satunya adalah untuk bertindak atas nama pemerintah Republik Indonesia tentang pelaksanaan hubungan dengan luar negeri dalam lapangan kepalangmerahan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa.

  2. Penggunaan lambang dan kata-kata Palang Merah atau Bulan Sabit Merah hanya diperbolehkan untuk dipergunakan oleh pihak tertentu sebagaimana yang diatur dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan 1977 (yaitu Konvensi Jenewa I Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39, Pasal 44, Pasal 53, Pasal 54; Protokol Tambahan I Pasal 38, Protokol Tambahan II Pasal 12). Dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 melalui Undang-Undang No. 59 Tahun 1958.

Perhimpunan Nasional merupakan salah satu pihak yang diperbolehkan untuk menggunakan lambang dan kata-kata ”palang merah” atau ”bulan sabit merah”. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, sebuah Perhimpunan Nasional menggunakan hanya salah satu lambang di atas.

PMI merupakan satu-satunya Perhimpunan Nasional yang diakui oleh pemerintah maupun Palang Merah Internasional. Sejak pertama kali didirikan pada 17 September 1945, PMI telah menggunakan lambang dan kata-kata ”Palang Merah”. Hal ini tercantum dalam Pasal 8 Anggaran Dasar Palang Merah Indonesia.

Demikianlah kami sampaikan, sehingga dapat menyamakan persepsi antara PMI dan media massa mengenai keberadaan organisasi Bulan Sabit Merah Indonesia.

HADI KUSWOYO Humas Markas Pusat PMI

Privatisasi Pendidikan

ISU privatisasi pendidikan menjadi masalah yang sekarang banyak dibicarakan. Diharapkan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, masalah dalam pendidikan di Indonesia dapat teratasi, walaupun tidak seluruhnya. Kebijakan privatisasi pendidikan, dalam hal ini pendidikan tinggi, dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing dan kualitas perguruan tinggi negeri.

Menurut pendapat saya, sekarang ini perlu dilakukan peninjauan ulang atas undang-undang tersebut, yang lebih mengacu pada privatisasi pendidikan. Otonomi pendidikan tinggi membuat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan dana. Hal ini dapat menyebabkan perubahan yang negatif pada hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan, yang diharapkan dapat melepaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan, dapat menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan.

Peserta didik dari keluarga miskin tidak akan mampu membayar uang masuk sekolah atau perguruan tinggi negeri ataupun swasta yang mahal. Sehingga, apabila mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka terpaksa mencari sekolah atau universitas ecek-ecek. Jadi, sekolah yang miskin akan makin miskin, sementara sekolah yang sudah baik akan semakin baik (dan kaya).

Tidak aneh apabila sebagian besar mahasiswa dan praktisi pendidikan menolak kebijakan ini. Arus globalisasi yang menerpa dunia pendidikan kita memaksa pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan dengan berbagai cara yang menguntungkan kedua belah pihak, baik pihak masyarakat maupun pihak universitas.

Selain sisi negatifnya, ada sisi positif dari privatisasi pendidikan, yaitu mengurangi beban pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, karena ada bantuan dari pihak swasta. Tentu saja hal itu sangat membantu, mengingat anggaran pemerintah yang terbatas. Karena itu, solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah privatisasi pendidikan ini adalah mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat tapi berkualitas.

Penerapan pendidikan tinggi berbasis masyarakat ini diharapkan dapat menjadi satu pilihan yang tepat bagi calon peserta didik yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak sanggup membayar uang masuk yang mahal. Selain itu, diperlukan pengawasan dari berbagai pihak agar pengelolaan pendidikan tinggi ini tidak lepas kendali sehingga mengarah ke komersialisasi pendidikan.

RESTY WORO YUNIAR Mahasiswa Fikom Unpad

Pengalaman Pahit di Bandara Bali

PADA 22 Desember 2005, pukul 13.42, kami sekeluarga hendak kembali ke Jakarta sehabis liburan selama seminggu di Bali. Liburan yang menyenangkan diakhiri dengan kenangan yang buruk oleh perlakuan oknum petugas bandara di Bali.

Kejadian bermula ketika saya dan keluarga melewati pintu detektor logam di lantai 2 hendak menuju gate 17. Istri dan kedua anak saya melewati detektor tanpa masalah. Ketika giliran saya, pintu berbunyi dan saya langsung kembali serta mengosongkan seluruh isi saku dan handphone. Namun, pintu detektor tersebut ternyata tetap berbunyi.

Pada saat inilah, dengan nada memerintah yang kasar dan tidak sopan, petugas bernama U. Rahardjo menyuruh saya menanggalkan sabuk celana yang terdapat logam di bagian kepala sabuknya. Saya menyatakan keberatan dan meminta diperiksa saja dengan hand detector. Saya tegaskan bahwa kunjungan kami sekeluarga ke Bali untuk berlibur. Lagi pula saya membawa anak serta istri sehingga jelas saya bukan teroris.

Saya katakan bahwa perlakuan Bapak yang kasar telah membuat saya malas untuk kembali ke Bali. Tetapi dengan sikap pongah dan sok berkuasa, petugas lain yang bernama I Made Wirya mengatakan : ”Bapak tidak perlu kembali ke Bali, masih banyak orang yang mau ke Bali!”

Kemudian, seperti disengaja, mereka mempersulit dan memperlambat jalannya pemeriksaan dengan mengecek seluruh tubuh saya dan bawaan yang mau dibawa ke kabin pesawat. Bahkan petugas wanita yang memeriksa dengan hand detector bernama Luh Suji Ayu mengatakan: ”Bapak mau ditelanjangi?” Sungguh perkataan yang sangat kasar dan tidak sopan dikatakan oleh seorang petugas bandara yang selayaknya memberi layanan yang baik kepada tamu. Sepertinya mereka tidak sadar bahwa kami para tamu telah ikut membayar gaji mereka melalui airport tax yang kami bayarkan. Sungguh tidak sesuai dengan pelayanan yang kami terima.

Akhirnya saya terhibur sedikit oleh salah satu petugas yang bernama I Gede Saputra yang meminta maaf atas perlakuan kasar dan tidak sopan oleh rekannya. Dengan sopan ia menjelaskan keamanan di Bandara Bali diperketat setelah terjadi ledakan bom Bali II. Saya menjawab bahwa pemeriksaan yang ketat tidak harus dilakukan dengan sikap yang kasar dan tidak sopan.

Sungguh amat disayangkan, Bali yang sudah sepi pengunjung karena bom (menurut orang-orang Bali yang kami temui selama kunjungan) semakin diperparah oleh tingkah laku oknum-oknum petugas security bandara yang overacting.

JULIANTO Cipinang Elok, Jakarta Timur

Perdamaian bagi Aceh

RUMITNYA pelaksanaan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami setahun lalu disebabkan oleh luasnya daerah yang terkena dampak bencana. Hingga kini terdapat cukup banyak tanah yang tidak mungkin dihuni akibat banjir.

Berbagai usaha sudah dilakukan oleh lebih dari 120 lembaga swadaya masyarakat internasional, 430 LSM lokal, belasan lembaga donor bilateral dan multilateral, serta sejumlah badan pemerintah pusat dan daerah. Kerja sama mereka dengan masyarakat Aceh telah memberi banyak kemajuan di lokasi bencana.

Sebagian besar anak sudah kembali masuk ke sekolah, pusat-pusat kesehatan telah dibuka, sekitar dua pertiga dari para petani telah kembali bekerja di tanah pertanian, dan tiga perempat dari jumlah kapal ikan yang hancur telah dibuat kembali. Hal terpenting dalam upaya proses pemulihan jangka panjang adalah mempertahankan perdamaian. Penandatanganan perjanjian perdamaian di Helsinki pada 15 Agustus 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka membawa keuntungan bagi wilayah ini, yang telah menderita dalam masa konflik selama tiga dekade.

Program rekonstruksi menunjukkan kemungkinan memperkuat proses perdamaian dengan cara mengajak seluruh masyarakat secara bersama-sama merencanakan masa depan mereka, terutama pada kawasan yang telah sekian lama terisolasi akibat konflik.

T. MISRAN DJALIL Jalan Raya Pasar Minggu Nomor 46, Jakarta Selatan

Pelayanan Imigrasi yang Buruk

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar bidang imigrasi, yang berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dibersihkan dari penyimpangan dan kejahatan yang membuat Indonesia malu di mata ASEAN dan dunia. Untuk membersihkan imigrasi, Presiden memerintahkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Sutanto, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno bekerja dan menjalankan sistem. Jika perlu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dilibatkan untuk pembersihan itu.

Presiden, yang selalu menyuarakan reformasi birokrasi untuk perbaikan pelayanan publik serta pembentukan pemerintahan yang baik, mengaku malu dan dipermalukan di sebuah forum di Kuala Lumpur. Seorang investor Thailand mengeluhkan tindakan aparat imigrasi di Indonesia yang mencari-cari masalah ketika dia akan ke Indonesia untuk keperluan bisnis. Di sebuah forum, kita dipermalukan.

ASEAN sudah begitu maju dan membebaskan visa, kok imigrasi di Indonesia malah mencari-cari masalah. Ada apa sebenarnya? Mengapa mempersulit sesuatu yang bisa dipermudah untuk kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi? Demikian dikatakan Presiden sambil menggelengkan kepala. Masalahnya sekarang, apakah keinginan Presiden itu bisa terwujud jika penguasaan administrasi pemerintahan dari birokrat tidak ada?

ARDI SANDI Mahasiswa FISIP Unas, Jakarta

Pembongkaran Hotel Planet

SAYA sangat mendukung tindakan Walikota Bandung Dada Rosada untuk membongkar Hotel Planet yang jelas-jelas telah melanggar IMB, izin gangguan (HO) dan izin penyelenggaraan usaha kepariwisataan (SIUK). Selain itu pihak manajemen Hotel Planet telah melecehkan pemerintahan kota dengan tidak mengindahkan surat teguran dan terkesan menggampangkan persoalan. Pembongkaran adalah hal yang tepat. Dan lebih tepat lagi jika diikuti penyegelan.

HENDRAWAN Sukajadi, Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus