Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUTA rupiah?” Lelaki itu menatap secarik kertas dengan rasa setengah tak percaya. Selembar kertas itu adalah tagihan telepon bulan Mei. Angka itu seperti hantaman godam yang menimpa dadanya. Boy Benyamin Wowor tercengang. ”Sebagian besar pemakaiannya untuk telkomnet@instan,” katanya geleng-geleng. Belum pernah ia terpukul oleh tagihan seperti itu.
Boy, lelaki 31 tahun itu, memang pelahap Internet. Pekerjaannya sebagai programmer membuatnya harus selalu terhubung ke jagat maya. Kantornya adalah sepetak kamar 3 x 3 meter di rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. Di antara sumpeknya tumpukan buku dan keping CD yang berserakan, dia meletakkan seperangkat komputer termodern. Di kamar inilah, ditemani secangkir kopi dan kaus buntung kesukaannya, alumni Jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia itu saban hari terhubung ke ranah maya sambil memelototi bahasa-bahasa program komputer.
Tapi, ia tak mengira tagihan Internetnya bakal bengkak hingga sejuta rupiah. ”Teman saya di Cina enak. Hanya dengan membayar Rp 100 ribu per bulan bisa memakai Internet 24 jam nonstop,” lelaki yang saban hari rata-rata terhubung ke dunia maya lima jam atau seharga Rp 50 ribu itu mengeluh.
Boy kurang beruntung karena ia tinggal di negeri ini. Nasibnya berbeda dengan Adiyatmika, lelaki yang merantau ke Singapura. Di sana, bapak seorang anak ini hanya membayar S$ 50 (sekitar Rp 300 ribu) per bulan untuk akses Internet tak terbatas. ”Pada saat libur saya terkoneksi 24 jam,” katanya kepada Tempo. Kecepatannya juga hampir lima kali lipat akses Telkom Speedy, yakni hingga 2 megabit per detik. Benar-benar seperti di jalan tol nan lancar.
Internet di Indonesia memang terasa mahal. Koneksi secara dial-up (lewat telepon), misalnya, tarif dari ISP Rp 3.000 sampai Rp 6.000 per jam. Ditambah dengan pulsa telepon, biaya Internet di negeri ini mencapai Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per jam—angka yang cukup membuat kantong bolong, seperti yang dialami Boy.
Itu untuk akses Internet dial-up. Yang menggunakan teknologi asymmetric digital subscriber line (ADSL) seperti Telkom Speedy, harganya juga mencekik dompet. Untuk langganan tak terbatas perseorangan, Telkom memasang tarif Rp 2 juta per bulan. Harga ini memang sudah turun dari tahun sebelumnya Rp 3,8 juta. Toh, tetap saja ini lebih mahal 11 kali lipat ketimbang Malaysia. ”Sama Bangladesh saja tarif kita sama. Memalukan,” kata pakar Internet Onno W. Purbo beberapa waktu lalu.
Mengapa warga Indonesia, yang lebih miskin 21 kali lipat dibanding Singapura, harus membayar Internet 6,7 kali lipat lebih mahal dibanding warga di sana? Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Basuki Yusuf Iskandar menjelaskan, semua itu karena Indonesia bergantung pada backbone dari Singapura (baca: Infrastruktur Kita Masih Mahal). Karena itu, pemerintah berencana memasang backbone baru ke Malaysia atau ke Hong Kong. Dua wilayah itu menjual Internet lebih murah. Dirjen Pos dan Telekomunikasi memperkirakan, megaproyek ini akan menelan dana Rp 2 sampai 15 triliun. Untuk memikat investor, pemerintah berjanji akan memberikan bonus berupa hak mengelola sambungan langsung international (SLI), yang selama ini hanya dipegang Telkom dan Indosat.
Rencana itu disambut positif perusahaan penyedia jasa dan pemakai Internet di Indonesia. Adanya backbone baru, kata Heru Nugroho dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), ”Bisa memotong biaya Internet hingga separuhnya.” Selama ini perusahaan penyedia jasa Internet (ISP) membeli bandwidth (lebar pita) dari ”pengimpor” Internet seperti Indosat, dengan tarif sekitar US$ 3.000 per 1 megabit (cukup untuk melayani 200-500 pelanggan perorangan).
Namun Heru mengingatkan, mahalnya Internet bukan cuma karena monopoli backbone. ”Juga karena ISP masih mengambil untung terlalu besar,” kata pemilik MelsaNet yang berkantor di Bandung ini. Seberapa besar keuntungan yang diambil para perusahaan penyedia Internet itu, Heru tak mau berkomentar lebih jauh.
Benarkah laba yang dikeruk penyedia jasa Internet kelewat besar? ”Tidak,” kata Sugiharto Darmakusuma, Chief Commercial Office CBN. CBN adalah salah satu ISP besar di Indonesia selain Telkom dan Indosat. Komponen biaya Internet, kata Sugiharto, tak cuma harga bandwidth, tapi juga biaya operasional yang belakangan ini naik mengikuti inflasi dan kenaikan harga BBM.
Indosat, yang punya backbone ke Singapura, punya argumen lain. Mahalnya Internet itu, menurut Andri Aslan, juru bicara Indosat Mega Media, anak perusahaan Indosat, karena volume pelanggan Internet di Indonesia masih sedikit, hanya 18 juta orang, serta biaya investasi yang membubung ke langit. Dia memberi contoh, pada saat Indosat ingin membangun jaringan fiber optik, ada beberapa desa di Bali yang tak mengizinkan tanahnya digali untuk kabel. Alhasil, biaya investasi meningkat Rp 2 miliar untuk jaringan sepanjang sembilan kilometer. ”Bagaimana mau menurunkan harga kalau investasinya mahal?” tanya Andri.
Namun Andi Santoso, Presiden Direktur PT Diginet Wireless Indonesia, sepakat dengan pendapat Heru Nugroho. Menurut dia, salah satu biang mahalnya Internet di Indonesia adalah karena penyedia jasa Internet ingin mengeruk untung besar dalam waktu cepat. Dalam hitungannya, sebenarnya dengan modal pembelian bandwidth US$ 3.000 sampai 3.400 per 1 megabit, tarif Internet di Indonesia bisa diturunkan 20 sampai 25 persen. ”Itu masih untung. Tanpa harus ada backbone baru pun harga bisa diturunkan,” ujarnya.
Andi saat ini menjual akses Internet untuk perorangan 24 jam nonstop dengan harga Rp 200 ribu—tak jauh beda dengan tarif di Malaysia. Supaya murah, ia menyalurkan Internet melalui gelombang radio 2,4 gigahertz atau wireless. Jadi, tak perlu bayar pulsa telepon. Di rumah pelanggan cukup dipasangi antena yagi—bentuknya seperti antena TV (baca Gerilya dengan Pipa Ledeng).
”Ini bukan semata-mata bisnis tapi juga ingin mencerdaskan bangsa,” ujar mantan dosen di berbagai perguruan tinggi swasta itu. ”Kalau teman-teman penyedia Internet yang lain dan pemerintah mau menurunkan harga, bangsa kita akan lebih maju.” Saat ini dia punya mimpi besar meluaskan layanan Internet murah itu ke seluruh Jabotabek. Sebuah mimpi yang ditunggu-tunggu Boy dan jutaan orang lainnya.
Deddy Sinaga, Efri Ritonga, Burhan Sholihin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo