Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Hadiah dari Terusan Buah Batu

Mahasiswa Institut Teknologi Telkom membuat aplikasi Braille di layar sentuh tablet. Meraih Inaicta 2011 dan Imagine Cup di Amerika Serikat.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN mata dibebat kain tebal dan tablet Internet di tangan, Adam Duran mulai mengetikkan rumus persamaan Burgers dan reaksi kimia fotosintesis yang rumit. Tak ada salah ketik sedikit pun, seolah-olah Adam mengetikkannya dengan mata melek.

Jika Anda memiliki mata normal, mungkin Anda tak paham betapa sulitnya, bahkan bisa dikatakan mustahil, para penyandang tuna­netra bisa menggunakan tablet Internet seperti Apple iPad atau Samsung Galaxy Tab. Tanpa bisa melihat, bagaimana mungkin bisa mengoperasikan sabak Internet yang segala sesuatunya dioperasikan lewat layar sentuh yang licin dan datar?

Adam tak sedang main sulap ala Harry Houdini. Dia bisa mengetik dengan mata tertutup di tablet dengan akurat berkat aplikasi yang dibuatnya. "Solusi dia begitu sederhana, demikian cantik. Elegan, bukan? Sangat senang melihatnya," Adrian Lew, dosen di Stanford University, Amerika Serikat, memuji.

Adam Duran, mahasiswa New Mexico State University, semula tak berniat membuat aplikasi Braille di tablet tersebut. Dia datang ke kampus Stanford untuk memenuhi undangan kursus musim panas dari Army High-Performance Computing Research Center. Pusat riset ini merupakan kerja sama antara Stanford, laboratorium militer, Lembaga Antariksa AS (NASA), dan beberapa kampus lain.

Selama kursus dua bulan ini, Adam dan undangan lain harus menyelesaikan sebuah proyek. "Tugas saya semula adalah membuat aplikasi di ponsel untuk mengubah teks Braille menjadi huruf biasa," katanya dua pekan lalu. Pembimbingnya Adrian Lew dan Sohan Dharmaraja, mahasiswa doktoral komputasi matematika di Stanford.

Namun, di tengah jalan, niat itu berubah. "Yang paling penting barangkali bukan lagi bagaimana tunanetra membaca, tapi bagaimana mereka mengetik," kata Lew, sang pembimbing. Bayangkan bagaimana mereka jika di tengah jalan hendak mengirim pesan Internet atau menuliskan sesuatu. Beberapa laptop yang dibuat khusus untuk tunanetra harganya sangat mahal. Tablet Internet harganya jauh lebih murah, bisa didapat dengan harga kurang dari Rp 5 juta.

Masalahnya, bagaimana memindahkan huruf Braille ke layar sentuh tablet yang licin itu dan dengan cara apa bisa menemukan huruf-huruf tersebut? Penderita tunanetra membaca Braille dengan meraba kombinasi enam titik. Solusi Adam dan Lew sungguh cerdas. Bukan jari-jari yang harus meraba dan mencari huruf—sebab memang tak bakal ketemu—melainkan aplikasi Duran yang akan menemukan sentuhan jari di layar tablet.

Tinggal sentuhkan ujung delapan jari di sembarang tempat di layar tablet, maka aplikasi itu akan mengikuti dan menemukan jari-jari tersebut. Bukan hanya harganya jauh lebih murah, aplikasi Braille ini juga lebih gampang dipakai karena selalu beradaptasi dengan ukuran jari ataupun jarak antarjari. "Bahkan tak ada mesin ketik Braille yang bisa melakukannya," kata Charbel Farhat, direktur kursus di kampus Stanford.

l l l

TAK usah jauh-jauh ke Stanford untuk mendapatkan aplikasi Braille di layar sentuh sabak Internet. Beberapa bulan sebelum Adam Duran menuntaskan aplikasi Braille tersebut, mahasiswa Institut Teknologi Telkom di Bandung (benar, di kampus Terusan Buah Batu, Bandung, bukan di Amerika Serikat) telah berhasil membuat aplikasi serupa.

Aplikasi Sparkins buatan tim dream­Bender ini menjadi juara kedua lomba aplikasi Imagine Cup 2011 kategori Windows 7 Touch Challenge di Kota New York, AS, pertengahan Juli lalu. "Sparkins kemudian disempurnakan lagi untuk ikut lomba Indonesia ICT Award (Inaicta) 2011 di Jakarta," kata Rizky Ario Nugroho, 23 tahun, ketua tim dreamBender di Imagine Cup, pekan lalu.

Tim dreamBender mulai menggarap Sparkins sejak Februari. Di Inaicta dua pekan lalu, dreamBender menjadi juara pertama kategori aplikasi kelompok perguruan tinggi. Semula Sparkins dibuat untuk sistem operasi Microsoft Windows 7. "Sekarang sedang porting ke Android dan Apple iOS."

Selama ini yang banyak dibuat dan beredar adalah aplikasi screen reader untuk tunanetra, yang berfungsi membacakan tulisan atau menu di komputer dan Internet. Beberapa screen reader boleh diunduh gratis, seperti ChromeVox buatan Google dan BRLTTY bikinan tim BRLTTY. Banyak pula yang berbayar, seperti JAWS dan Microsoft Narrator. Berbeda dengan JAWS atau ChromeVox, aplikasi Sparkins, kata Rizky, lebih menekankan fungsi writer atau menulis ketimbang sebagai pembaca.

Seperti aplikasi buatan Adam, Sparkins juga mengenali sentuhan jari di layar tablet. "Cara kerja Sparkins sama persis seperti mesin ketik Perkins Braille," kata Rizky. Mesin ketik berhuruf Braille inilah yang paling banyak digunakan penyandang tunanetra. Namun harganya lumayan mahal. Seri Next Generation, misalnya, dibanderol Rp 8 juta.

Di mesin Perkins, ada enam tombol untuk kombinasi huruf Braille. Dengan Sparkins, tunanetra bisa belajar menggunakan Perkins. Cara menggunakan Sparkins tak terlalu sulit. Taruh enam jari tengah di layar tablet. Sparkins akan mencatat dan menghitung jarak antarjari. Aplikasi ini kemudian akan mengubah setiap perubahan sentuhan menjadi huruf Braille dan sekaligus Latin.

Jika ingin mengecek akurasi hasil pengetikan, tinggal sentuh saja bagian atas layar tablet. Maka fitur text to speech Sparkins akan membacakan hasilnya. Menurut Rizky, mereka menggunakan engine dari Koba Speech untuk mengubah tulisan menjadi suara. "Sparkins menyediakan pengucapan bahasa Indonesia versi Damayanti dan Inggris versi Samantha," kata Gita Savitri Putri, 21 tahun, anggota dreamBender di Inaicta.

Sparkins sudah diujicobakan ke empat murid dan satu guru sekolah luar biasa tunanetra Bandung. Awalnya, kata Rizky, mereka agak kesulitan menggunakan Sparkins. "Tapi tak lama mereka sudah bisa mengakses menu dan mengetik di Sparkins dengan lancar," katanya. Supaya semakin gampang digunakan, tim dreamBender akan menambahkan beberapa tombol akses cepat ke beberapa menu.

Sekarang tim dreamBender sedang menimbang-nimbang, bagian mana dari Sparkins yang hendak dipatenkan. "Tapi misi sosial untuk membantu penyandang tunanetra agar bisa mengakses teknologi tetap yang utama," Rizky menjanjikan.

Sapto Pradityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus