Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah klinik, di kota kecil Harawa, sekitar 40 kilometer dari Sirte, Isham menangis keras. Sudah dua hari bocah satu tahun ini muntah-muntah, disertai demam tinggi. Bersama ayahandanya, Safi Mohammad, ia menanti kedatangan dokter yang berjanji bakal mengunjungi klinik itu.
"Saya berharap dokter bisa menyembuhkan," kata Safi, pekerja yang mengungsi dari bagian timur Sirte, kota di tepi pantai Mediterania, yang jaraknya 400 kilometer ke arah tenggara dari Ibu Kota Tripoli.
Klinik kecil itu merupakan satu-satunya fasilitas medis untuk warga sipil di dekat Sirte. Sekarang mereka menghadapi masalah khusus: keracunan air. Akibatnya, dari lusinan anak yang dibawa orang tuanya ke sana, mayoritas menderita muntah-muntah dan demam tinggi.
"Di klinik itu, dari 120 pasien, 70 persen anak-anak," kata dokter Valentina Rybakova, perempuan Ukraina yang telah delapan tahun bekerja di Libya. Masalah utama para pengungsi adalah tidak punya akses air minum bersih. "Ini krisis kemanusiaan yang besar," ujarnya.
Sejak dua pekan lalu, gelombang pengungsi mengalir dari Sirte. Pasukan revolusi mengepung kota kelahiran Muammar Qadhafi itu dari bagian timur pantai Mediterania sampai selatan dan barat. Tiga hari kemudian, pesawat tempur Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang mendukung Dewan Transisi Nasional Libya terbang di atas kota berpenduduk sekitar 100 ribu jiwa itu. Sekitar 70 ribu penduduk melarikan diri, termasuk anak-anak, untuk menghindari pertempuran antara tentara pro-Qadhafi dan serdadu Dewan Transisi Nasional.
"Kondisi Sirte makin kritis," ujar Muftah Mohammed, yang melarikan diri bersama puluhan kerabat dan tetangganya. "Kami hanya bertahan dengan makaroni selama beberapa hari." Sirte bertahan tanpa obat-obatan penyakit jantung dan tekanan darah, makanan dan susu bayi, serta popok.
Beberapa hari sebelum Sirte menjadi kota hantu, pemimpin Dewan Transisi Nasional, Mustafa Abdul Jalil, meminta penduduk meninggalkan kota sebelum pasukannya menggempur pasukan pro-Qadhafi. Kebanyakan penduduk memang pendukung Qadhafi. "Dewan revolusioner memberi waktu dua hari untuk mengungsi," kata Mustafa Abdul Jalil.
Sirte dianggap titik penting perjuangan revolusi Libya setelah Ibu Kota Tripoli. Kota ini menjadi satu di antara dua benteng pertahanan loyalis Qadhafi yang tersisa—selain Bani Walid—di bagian tenggara Tripoli. Pemberontak telah berhasil merebut Tripoli pada Agustus lalu dan menggusur Qadhafi, yang sudah berkuasa 32 tahun. Di kedua kota yang tersisa inilah Qadhafi dan anak-anaknya bertahan.
Semasa Qadhafi berjaya, kota nelayan ini jadi ibu kota kedua. Pertemuan parlemen dan perhelatan internasional kerap berlangsung di Ouagadougou Hall, gedung pusat penyelenggaraan konferensi mewah yang dibangun di bagian selatan kota. Itulah sebabnya pasukan anti-Qadhafi mengincar Sirte.
Namun waktu dua hari tak cukup untuk mengungsi. Masih banyak penduduk yang tak sempat melarikan diri, bahkan tak tahu kotanya bakal jadi sasaran hujan bom dan artileri tentara anti-Qadhafi. "Kami ketakutan," ujar Abdul, yang sempat terjebak, lalu melarikan istri serta ketiga anaknya ke Misrata. Ahmad Ibrahim, prajurit Dewan Transisi Nasional, menuding Qadhafi sengaja menjadikan sebagian penduduk sebagai perisai manusia.
Rumah Sakit Ibn Sina di Sirte pun membeludak. Selain penduduk, pasiennya adalah tentara dari dua pihak berlawanan. Tapi tak banyak yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan jiwa. Tak ada obat-obatan, air bersih, oksigen, dan bahan bakar untuk generator. "Pasien kami sekarat di meja operasi tanpa oksigen. Ini mengerikan," kata Nada, dokter di rumah sakit itu.
Situasi bertambah parah lantaran tembakan artileri dan bom menghujani rumah sakit. Dua anak kecil menjadi korban. Komite Palang Merah Internasional, yang memberi bantuan medis dan kemanusiaan di rumah sakit, terpaksa mengungsi karena juga diserang.
Pekan lalu, pasukan anti-Qadhafi berhasil menguasai tempat-tempat penting di Sirte, seperti rumah sakit, universitas, Ouagadougou Hall, dan markas besar kepolisian. Ketakutan masih mencekam penduduk Sirte.
Nieke Indrietta (The Guardian, Al-Jazeera, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo