Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Detektor Tsunami Cap Mutiara Hitam

Tiga siswi sekolah dasar Papua membuat alat pendeteksi tsunami. Murah dan bisa beroperasi tanpa listrik.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERKEJUT, kutilang itu panik. Deyoti, panggilan burung berumur satu tahun itu, berusaha terbang, tapi terbentur jeruji kayu, yang cuma berukuran 50 x 30 x 30 sentimeter. Jadi, ia cuma menclok sana-sini, sehingga sangkarnya berguncang. Detik berikutnya, lonceng berbunyi nyaring. Teng… teng… teng… teng….

Lonceng itu bukan hiasan, melainkan bagian dari alat pendeteksi dini tsunami buatan tiga siswi sekolah dasar asal Papua: Demira Yikwa (SD YPPGI, Tolikara, kelas V), Yohana Oprawiri (SD Nawiri Baru, Komoro, kelas VI), dan Albertina (SD Inpres Tiga Raja Amungme, Timika, kelas IV). "Alat ini bekerja berdasarkan kepanikan burung," ujar Demira, 11 tahun, saat ditemui Tempo di Institut Yohanes Surya, Tangerang, awal pekan lalu.

Cara kerjanya sederhana. Keempat sisi sangkar burung ditempeli sensor gerak, yang merekam guncangan. Setiap sepuluh guncangan, bisa juga lebih, alat yang disebut microcontroller itu mengirim pesan ke motor penggerak. Motor memutar cakram padat yang terhubung dengan tali dan membunyikan lonceng. Semakin banyak guncangan, semakin lama lonceng berdentang. Sumber tenaga rangkaian itu berasal dari panel surya berukuran 40 x 20 sentimeter dan aki, sehingga bisa ditempatkan di pesisir yang belum terjangkau listrik.

Ide alat ini berasal dari undangan kompetisi robot tingkat nasional bertema siaga bencana. Tiga bocah itu menaruh perhatian pada tsunami dan gempa karena sering menerjang Indonesia. Riza Muhida, guru pembimbing mereka, mengatakan dokumen Yunani kuno berumur 2.400 tahun menyebut tikus dan ular berhamburan meninggalkan Helice sebelum gempa menghancurkan kota itu. Berbagai penelitian mendapati hewan memang berlaku aneh menjelang bencana. Misalnya gajah di Thailand kabur ke dataran tinggi sebelum tsunami 2004. "Burung juga terlihat menjauhi laut," kata Riza, 42 tahun.

Pilihan jatuh pada burung. Doktor Osaka University itu melanjutkan, idealnya burung laut yang digunakan, seperti camar, yang terbiasa hidup di pantai. Tapi kutilang dipilih karena mudah didapatkan dan ukurannya cuma segenggaman tangan. Ketiga serangkai siswa itu bekerja akhir bulan lalu dan merampungkan alatnya dalam satu pekan. Kebetulan mereka sudah menguasai teknik microcontroller, sehingga cuma perlu merangkai dan menyetel sensor.

Meski belum teruji, kreasi mereka menyabet medali perunggu di kategori robot aplikatif dalam Indonesia Information and Communication Technology Award (Inaicta) di Jakarta Convention Center dua pekan lalu. Mereka mengalahkan 20 peserta dari seluruh Indonesia dan hanya tunduk pada mahasiswa Universitas Komputer Indonesia Bandung dan Universitas Diponegoro sebagai juara pertama dan kedua.

"Ide mereka brilian," ujar juri robot Inaicta, Wahidin Wahab. Poin terbesar bagi mereka adalah kreativitas memanfaatkan kemampuan alam, dalam hal ini insting binatang. Keunikan ini juga membuat alat itu menjadi juara favorit pilihan pengunjung. Selama dua hari pergelaran, stan mereka di lantai bawah tanah Jakarta Convention Center ramai disambangi pengunjung.

Namun Wahidin menilai alat ini masih mentah. "Belum bisa diproduksi massal," ujar pengajar Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini. Menurut dia, ada sederet kelemahan yang belum diantisipasi Demira cs. Misalnya bagaimana menjamin burung tetap sehat selama ditempatkan tanpa pengawasan di tempat terpencil.

Demira mengakui ada banyak kelemahan. Misalnya lonceng juga akan berbunyi ketika burung panik akibat diganggu kucing. Namun, mengingat biaya pembuatan yang sekitar Rp 1 juta, alat ini sangat mungkin dimiliki pribadi. Setidaknya sebagai cadangan jika alat deteksi tsunami yang dibeli pemerintah empat tahun lalu—harganya mencapai Rp 3 miliar—bermasalah.

Jika bertemu dua tahun lalu, jangan harap ketiga siswa itu bisa berbicara mengenai robot. Demira gagap matematika. Albertina empat kali tinggal kelas. Namun justru kelemahan itulah yang membuat mereka meraih beasiswa di Surya Institute. Dengan asas pemerataan kesempatan belajar, institut milik Profesor Yohanes Surya itu memilih siswa dari kawasan timur Indonesia berlatar keluarga tidak mampu dan bernilai akademis jeblok.

Demira bersama 13 siswa lain tiba di Serpong, Tangerang, hampir dua tahun lalu. Tahun pertama, ujar Riza, mereka dijejali matematika, matematika, dan matematika. Pelajaran tambahannya bahasa Indonesia dan Inggris. Hitung-hitungan jadi menu wajib sebagai modal pengkodean untuk membuat robot. Materi pembuatan robot diajarkan mulai April lalu. Selain Riza, ada dua pakar robot dari Jepang. Hasilnya jempolan. Selain pendeteksi tsunami, robot buatan kelompok Mutiara Hitam itu juga menyabet dua penghargaan lain di Inaicta 2011 dan juara tiga di Piala Menteri Riset dan Teknologi, Mei lalu.

Alat deteksi tsunami ini akan disempurnakan untuk kembali bertanding di Olimpiade Robot Internasional di Jakarta, Desember nanti. "Kami ingin buktikan anak Papua tidak malas dan bodoh," kata Albertina, 12 tahun. Dengan tekad Albertina seperti ini, cita-citanya jadi dokter spesialis jantung terbentang di depan mata.

Reza Maulana, Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus