Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disertasi Seno Gumira Ajidarma, "Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan", pastilah menggoda kita untuk membincangkan hal-hal yang berhubungan dengan budaya komik dan berbagai teori kajian budaya. Tapi mari kita dekati dari segi lain: posisi Seno Gumira di ranah publik dan apa makna posisi itu dalam perbincangan kebudayaan dalam disertasi/buku itu.
Mengawali karier sebagai wartawan dan penulis cerita pendek dengan nama pena Mira Sato pada 1980-an, Seno mengisi sebagian besar karier kepenulisannya di wilayah publik: sebagai sastrawan dan esais yang menulis di media-media massa. Dengan kata lain, ia adalah cendekiawan publik. Ia mengolah imajinasi dan amatan-amatannya atas masyarakat, dan mendedahkannya ke publik. Media massa, atau ruang publik secara umum, adalah medan percakapannya. Publik adalah lawan dan kawan bicaranya.
Pada 1994, Seno memasuki ranah akademis, menjadi angkatan pertama kajian filmologi di Institut Kesenian Jakarta, dan meneruskan jenjang akademisnya di kajian filsafat Universitas Indonesia. Masuknya Seno sang cendekiawan publik ke ranah akademi merupakan sebuah tanda kebudayaan tersendiri.
Benedict (Ben) Anderson, yang masyhur karena tesisnya tentang bangsa sebagai "imagined community", menulis di Bangkok Post (28 Juni 2010) tentang kegagalan lembaga akademik di Asia Tenggara (juga Amerika) menghasilkan cendekiawan publik. Ben menunjuk biang keroknya pada "profesionalisasi universitas-universitas" di Asia Tenggara, yang mengambil model profesionalisasi serupa di Amerika Serikat.
Model Amerika sendiri, tulis Ben, meminjam habis-habisan model universitas Jerman pada abad ke-19. Hakikat model ini adalah fragmentasi pengetahuan dan kajian berdasarkan logika pembagian kerja yang khas dalam dunia yang termodernkan/terindustrialisasi.
Sebagai tambahan, seperti niscaya, didorong pula oleh model ini penggunaan semakin banyak jargon teknis yang hanya bisa dipahami orang yang bekerja di bidang kecendekiaan yang sama. Tulisan-tulisan cendekia dari ranah ini bertabur nama-nama yang hanya dikenali di ranah akademis saja, itu pun sering hanya di bidang-bidang khusus belaka.
Dengan moda publikasi gagasan dan temuan di lembaga-lembaga akademis, seperti jurnal-jurnal ilmiah atau penerbitan-penerbitan kampus, para cendekiawan akademis seperti didorong untuk hanya berbicara kepada sesamanya. "Khalayak umum semakin dikucilkan (dari percakapan para cendekiawan) oleh kecenderungan ini," simpul Ben. Kalaupun penerbitan itu dilontarkan ke khalayak luas, moda percakapannya yang penuh jargon (atau istilah teknis yang khas) itu dipertahankan.
Dalam konteks inilah kita membaca buku Seno ini. Di satu sisi, Seno memungut sebuah artefak budaya pop (yakni komik seri Panji Tengkorak karya Hans Jaladara) ke meja periksa akademis yang ketat dan nyaris klinis. Di sisi lain, hasil periksanya atas komik itu dilontarkan kembali ke khalayak luas yang dimaknai sebagai berada di ranah "populer". (Nama penerbit, KPG atau Kepustakaan Populer Gramedia, yang menyertakan kata "populer", adalah sebuah tanda penting bagi pemaknaan tersebut.)
Disertasinya tak dibiarkan bersemayam hanya di wilayah akademis. Dengan ini, apakah Seno berhasil mempertahankan posisinya sebagai cendekiawan publik?
Buku berukuran majalah dengan tebal 537 + xv halaman (dan lampirannya lebih dari sepertiga tebal buku) ini berbicara tentang banyak hal. Seno terutama berangkat dari obsesinya memahami fakta bahwa komik Panji Tengkorak terbit dalam tiga versi: versi 1968, 1985, dan 1996.
Seno, mungkin secara agak romantis, memandang versi 1968 sebagai versi terbaik. Ia tak sungkan, misalnya, melekatkan nilai "puitis" pada versi ini. Versi 1996, yang jelas keteracuannya pada gaya dan format manga (komik Jepang), yang menguasai pasar komik di Indonesia pada masa itu hingga kini, bagi Seno, mengandung masalah besar.
Maka Seno menganggap perubahan gaya ketiga versi Panji Tengkorak itu sebagai perwujudan (representasi) perjuangan ideologis. Jika Anda karib dengan ilmu kajian budaya (cultural studies), anggapan ini jelas membuka pintu percakapan tentang identitas, pasar, dan sebagainya yang menjadi wacana ideologis yang bertarung di medan budaya populer.
Seno dalam disertasi ini memang sedang membetot komik Panji Tengkorak ke dalam naungan kubah pemaknaan kajian budaya, dengan segala perangkat dan perkakas akademisnya. Misalnya perkakas semiotika dari Roland Barthes, untuk menemukan dua Gugus Kode dalam Panji Tengkorak. Gugus Kode 1, menurut Seno, terdiri atas Kode Serius, Kode Lucu, dan Kode Dagang. Gugus Kode 2 adalah Kode Artistik, Kode Silat, dan Kode Kekerasan.
Bagi yang akrab dengan kajian budaya atau semiotika, pembacaan Seno ini memang mengasyikkan. Bab 3 buku ini sungguh dipenuhi "silat-logika" dan "silat-wacana", membedah unsur demi unsur naratif (kekisahan) dalam Panji Tengkorak dengan perangkat pembacaan kode-kode tersebut. Dengan lincah, Seno melompat dari soal "politik identitas" ke "konstruksi gender" ke ranting-ranting kajian budaya lainnya.
Silakan menikmati silat-logika dan silat-wacana itu. Tapi, jika kita surut sejenak, yang kita tangkap adalah upaya Seno yang gigih melawan anggapan umum bahwa komik tak memiliki nilai kebudayaan. Sedemikian rupa upaya Seno sehingga ia mengoperasikan teori-teori komik agar bisa tandem dengan teori-teori kebudayaan.
Upaya ini bisa jadi pisau bermata dua. Komik, di satu sisi, "ditinggikan", tak lagi dibiarkan merana di ranah budaya jalanan yang dipandang rendah. Di sisi lain, upaya ini jangan-jangan malah mengasingkan komik dari publiknya.
Bisa kita maklumi upaya Seno ini adalah sebuah laku kritis terhadap kebudayaan yang sedang kita alami. Disertasi ini adalah kritik kebudayaan, dalam makna (sesuai dengan gagasan Seno dalam bab 4 buku ini sendiri tentang komik sebagai perbincangan kebudayaan) sebuah meta-kebudayaan, atau kebudayaan yang sedang berbincang tentang kebudayaan.
Artinya, buku ini menjadi seperti komik yang dikaji Seno, yakni tempat kebudayaan berlangsung. Di dalam komik, seperti diulas Seno, terdapat pergulatan berbagai wacana. Pergulatan itu ideologis, dengan risiko-risiko kebudayaan yang nyata: komik jadi bagian sekaligus membantu penciptaan makna-makna kebudayaan para pembuat dan pembacanya.
Demikian juga buku ini. Pertarungan ideologis apakah yang terjadi antara wujud fisik buku ini yang mencoba ngepop dan teksnya yang teramat akademis? Apa makna dijualnya buku ini dengan harga lumayan murah (hasil subsidi) di tempat-tempat umum, sementara isinya tak mudah dipahami oleh orang awam (non-akademisi kebudayaan) yang besar kemungkinan adalah mayoritas pembaca atau penggemar komik?
Dan celakanya, penerbitan buku ini tak dibarengi penerbitan ulang komik Panji Tengkorak.
Hikmat Darmawan, peneliti mandiri budaya visual
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo