Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Dosen dan pengamat komunikasi di Universitas Airlangga (Unair), Angga Prawadika Aji, menjelaskan fenomena matinya kepakaran atau death of expertise. Dia merujuk kepada masyarakat yang kini lebih percaya informasi dari pemengaruh atau influencer ketimbang kepada pakar atau ahli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Angga, salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya fenomena ini adalah pengaruh media sosial. Dituturkannya, media sosial memberikan panggung besar bagi semua orang, termasuk ahli atau bukan ahli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah timbul, kata Angga, jika ada sosok yang bukan ahli namun memiliki pengaruh di media sosial dengan jumlah pengikut yang besar. Sebab, menurutnya, sosok itu menjadi memiliki bobot suara yang setara dengan ahli.
“Orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas dan keahlian, suaranya memiliki bobot yang sama dengan orang yang selama bertahun-tahun memiliki dasar ilmu," kata Angga lewat keterangannya, Selasa 5 November 2024.
Padahal, Angga menambahkan, influencer yang memiliki pengaruh tinggi kerap kali membagikan informasi yang belum tentu benar. Namun, sebagian masyarakat langsung percaya tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.
“Fenomena ini bukan hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tetapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di tengah masyarakat,” ucap dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu.
Angga melanjutkan, kondisi tersebut diperparah dengan ketergantungan masyarakat pada sosok-sosok populer untuk menafsirkan informasi yang mereka terima. Hal ini juga sejalan dengan hasil survei Meta dan YouGov atas perilaku belanja 1.777 konsumen di Indonesia saat Mega Sales Days yang diumumkan 1 November lalu. Sebanyak 94 persen mengakui bahwa kreator konten mempengaruhi keputusan mereka berbelanja
Angga juga menerangkan, masyarakat yang memiliki literasi rendah cenderung mempercayai informasi yang sudah familiar. Mereka akan menerima begitu saja tanpa mempertimbangkan validitas atau kapabilitas sumber tersebut.
Menurut Angga, hal tersebut memicu fenomena yang kedua, yakni echo chamber. “Echo chamber terjadi ketika masyarakat hanya mau mengonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja dan menolak informasi apa pun yang berlawanan.”
Kurangnya literasi dan kemampuan berpikir juga membuat masyarakat mudah termakan misinformasi dan berita bombastis yang datang dari figur terkenal. Karenanya, Angga menyarankan agar literasi masyarakat harus ditingkatkan.
“Jika tidak segera memperbaiki literasi masyarakat, maka kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid,” katanya.