Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Jejak Minyak di Layar Ponsel

Tangki penampungan minyak Pertamina di Lawe-lawe, Kalimantan Timur, kini bisa dipantau dengan mengirimkan pesan pendek. Agar pencurian minyak tak terulang.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA ada diam di ruang kendali itu. Wajah serius Supriyono seperti ikut mengendap dalam kesunyian di ruangan itu. Matanya hampir tak berkedip, memandangi layar komputer.

Dalam diam, pegawai Pertamina itu menanti sepucuk kabar dari komputernya, yang mungkin akan menjadi sejarah baru di Lawe-lawe. Beberapa teman Supriyono juga ikut merubung komputer itu.

Tiba-tiba keseriusan pria 40 tahun itu lumer. Eureka! Layar komputernya memberondongnya dengan sejumlah data yang telah ditunggu-tunggu: muncul tinggi permukaan minyak mentah, angka suhu minyak juga tersembul. Segepok data lainnya menyeret matanya hingga ke ujung angka yang terakhir. Semuanya lancar.

”Ini hebat,” katanya dengan raut muka berbinar-binar, secerah suasana pagi itu di Lawe-lawe, Kalimantan Timur. Ruangan senyap itu kini penuh dengan tepuk tangan menyambut sistem pemantau aliran minyak bikinan para insinyur Institut Teknologi Bandung.

Hanya lewat layar komputer, pria tanpa kerut-kerut di dahi itu langsung tahu seberapa besar aliran minyak ke dalam tangki. Semuanya diketahui lewat komputer, tak perlu datang ke tangki. Bahkan, bila fungsi mesin pemantau dihidupkan semua, mereka bisa membedakan antara minyak mentah dan minyak bodong alias air. Tapi sisa-sisa penasaran masih mengendap di otak Supriyono. Maka Kepala Instrumentasi Pemeliharaan IV, Jasa Pemeliharaan Kilang, di Unit Pengolahan (UP) V Pertamina Balikpapan itu segera menjajal sistem pemantauan dengan mengirim sebuah pesan pendek (SMS). Hanya dalam hitungan detik, pesan balasan pun muncul di layar ponselnya. SMS itu berisi data-data tentang suhu, volume, dan tinggi permukaan minyak dalam tangki. Senyum Supriyono mengembang. Rapor buruk tentang terminal penampungan minyak di Lawe-lawe bisa segera berlalu.

Tiga bulan lalu Lawe-lawe adalah wilayah dengan wajah muram. Sebuah berita menggedor daerah yang berserambi laut tenang itu. Isi berita itu: di tengah laut Lawe-lawe, 12.600 ton minyak mentah Pertamina dicuri. Agar tak ketahuan, sang maling mengisi tangki itu dengan air laut! Ini bukan jumlah yang kecil—kalau dimasukkan ke truk tangki butuh lebih dari 2.500 truk!

Pencurian itu sulit terjadi dengan sistem pemantau yang baru dipasang ITB itu. Ke mana pun bos Pertamina pergi melancong, dia bisa memantau dari ponselnya. Sambil memenuhi keranjang belanja di pertokoan mewah Orchard Roads di Singapura atau sedang mandi matahari di Ubud, Bali, mereka bisa ”meneropong” aliran minyak itu.

Pencurian minyak itu bisa terjadi karena saat itu mesin pemantau alias ATG (automatic tank gauging) yang ada di sana tak lagi berfungsi dengan baik. Saat kasus itu mencuat, Supriyono seperti tersengat listrik. Ia kesal karena sejak dua tahun lalu dia sudah berteriak-teriak agar sistem pemantau itu diperbaiki.

ATG adalah mesin pemantau yang jeli. Alat yang dipasang di atas tangki penampungan minyak itu berfungsi mengukur suhu dan ketinggian minyak di dalam tangki hingga ketelitian 1 milimeter. Dia juga bisa membedakan mana minyak, mana air, dengan menghitung berat jenis cairan di dalam tangki.

Untuk mengukur ketinggian permukaan minyak, misalnya, mesin ini memakai bandul. Bandul itu diulur ke dalam tangki oleh sebuah motor. Sensor gaya tegangan tali yang ada pada alat ini akan memberi tahu jika posisi bandul sudah menyentuh permukaan minyak. Naik-turunnya tinggi permukaan minyak akan diikuti oleh bandul.

Sayangnya, peranti lunak bawaan alat ini rusak sejak 2003. ”Tapi usul perbaikan sistem pemantauan itu tak juga terealisasi, hingga kasus Lawe-lawe mencuat,” kata Supriyono.

Untunglah, dewa penyelamat dari ITB datang. Sekelompok doktor dan insinyur dari Center for Instrumentation Technology and Automation (CITA) ITB menyodorkan sistem pemantau baru. ”Saat itu, kami diberi waktu satu bulan untuk membenahi,” kata Dr Ing Parsaulian Siregar, ketua badan riset itu.

Tim ITB itu mulanya terkejut ketika melihat kondisi sistem pemantau di Lawe-lawe. ”Ada beberapa kemampuan yang tak pernah dioperasikan dan akhirnya alat seperti tak berfungsi,” kata dosen Fisika Teknik ITB itu. Contohnya kemampuan untuk mengukur tinggi air laut dan berat jenis minyak. Dua kemampuan itu tak pernah diaktifkan sejak pertama kali ATG dipasang. Padahal, kemampuan itu semestinya dapat mengendus keberadaan air laut di dalam tangki, seperti yang disinyalir dalam kasus pencurian minyak di Lawe-lawe.

Tak sampai satu minggu di Lawe-lawe, tim ITB yang dipimpin Parsaulian kembali ke Bandung untuk mengembangkan peranti lunak di laboratorium. Pengembangan peranti lunak ini dipimpin Edwin Yudayana, 25 tahun, alumni Fisika Teknik ITB. Berbekal bahasa pemrograman yang dimilikinya, Edwin mengembangkan peranti lunak yang diberi nama NetRTG (Network Remote Tank Gauging).

Ada empat modul dalam peranti itu, yakni pencatat database di server, sistem pemantau di mesin, pengirim data ke layar komputer, serta sistem pemberi peringatan di ponsel (lihat infografik). Agar data pengukuran mesin pemantau bisa dibaca komputer, tim ITB juga membuat sistem yang menjadi jembatan mesin dan komputer. Sang jembatan—bahasa ilmiahnya adalah interface—tu adalah V1 Linedriver. Dengan alat ini, data dari mesin pemantau diterjemahkan ke bahasa komputer. Adalah Jimmy Merari dan Jusan Qithri yang mengembangkan V1 Linedriver. Alat ini dikembangkan dari 2002 hingga 2004. ”Jadi, sempat satu tahun teronggok di laboratorium, nganggur tak terpakai,” kata Jimmy.

Saat kabar muram Lawe-lawe mencuat, otak Jimmy pun bekerja. ”Inilah saatnya alatnya diuji coba.” Dan berhasil. Kini, dengan mengirim SMS, bos-bos Pertamina tak bisa lagi ”dikadali” anak buahnya. Sistem ini di-sewa Pertamina selama enam bulan dengan harga miring, Rp 10,5 juta per bulan. ”Kalau beli sistem pemantauan dari luar negeri, mungkin habis ratusan juta rupiah,” ujar Parsaulian

Lawe-lawe berupaya menulis sejarah baru: merekam jejak minyak dalam ponsel.

Yandhrie Arvian


Satpam tanpa Uang Lembur

Sebelum diolah di kilang Balikpapan, minyak mentah disimpan di tangki penampungan di terminal Lawe-lawe. Minyak itu berasal dari minyak yang diturunkan kapal tanker melalui single buoy mooring atau tangki apung di tengah laut. Setelah ditampung, minyak dialirkan ke kilang pengolahan Balikpapan yang berjarak 15 kilometer untuk dijadikan bahan bakar, semisal premium atau avtur. Di sinilah mesin ini bisa menjadi satpam 24 jam, tanpa uang lembur dan uang kopi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus