Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEDAK tawa hadirin kerap memenuhi ruang Graha Sawala, Rabu pekan lalu. Padahal acara di kantor pusat Departemen Keuangan itu sebetulnya terbilang serius: serah-terima jabatan Menteri Keuangan. Jusuf Anwar, sang menteri lama, rupa-rupanya tak kehilangan selera humornya.
Beberapa kali guyonan mister don't worry be happy-pernyataannya yang beken saat kurs rupiah terpuruk tiga bulan lalu-ini berhasil mengocok perut para tamu undangan. Aburizal Bakrie, mantan Menteri Koordinator Perekonomian yang kini digantikan Boediono, termasuk yang kena sentil banyolannya.
Para tamu langsung tergelak ketika Jusuf menyebut mantan atasannya itu dengan panggilan Pak Abu. "Tapi ini bukan abu sembarang abu," katanya berkelakar. Ical-sapaan akrab Aburizal-pun tak berkutik. Ia hanya mesam-mesem sebisanya melihat "ulah" mantan bawahannya itu.
Lontaran Jusuf menarik perhatian karena hubungan kedua pejabat negara itu dalam beberapa bulan terakhir dikabarkan merenggang. Silang pendapat kerap terlontar dari mulut keduanya.
Sebut saja soal pengenaan pajak ekspor batu bara 5 persen. Menurut Aburizal, pajak ekspor memberatkan pengusaha, dan baru bisa dikenakan bila harga batu bara mencapai US$ 50 per ton. Tapi, apa kata Jusuf? "Sampai kodok berbulu pun, harga batu bara tak akan sampai segitu."
Ketegangan itulah yang tampaknya membuat Jusuf jarang ikut rapat di kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Padahal, kantor kedua petinggi negara ini berada di gedung yang sama, dan hanya dipisahkan sebidang taman selebar kurang lebih 10 meter (baca Tempo, 14 November).
"Pak Aburizal memang teman bertengkar saya di kantor ini," kata Jusuf. "Dia juga kesal karena saya sering nggak hadir di rapat. Habis, telat melulu," katanya terkekeh, yang kembali disambut gelak para tamu.
Pertengkaran itu rupanya ingin dihentikan Presiden Yudhoyono, yang mengumumkan perombakan kabinetnya di Istana Negara Gedung Agung, Yogyakarta, Senin pekan lalu. Aburizal Bakrie dipindah dari Lapangan Banteng dan akan menempati pos barunya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan Jusuf Anwar yang digantikan oleh Sri Mulyani Indrawati akan berpindah kantor ke luar negeri, menjadi duta besar di Tokyo.
Penggantian Jusuf sebetulnya bukan hal yang mengagetkan. Telah lama pegawai karier yang telah 33 tahun bekerja di Departemen Keuangan ini-bersama Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja-santer dikabarkan bakal kena sapuan gelombang reshuffle.
Yang agak istimewa adalah acara serah-terima jabatan itu. Selain dihadiri para mantan Menteri Keuangan seperti Frans Seda, Mar'ie Muhammad, Fuad Bawazier, tampak hadir jajaran lengkap "dewa" ekonomi Indonesia, yang kerap dijuluki tim "Mafia Berkeley". Berkeley adalah nama Universitas California yang banyak melahirkan ekonom Orde Baru. Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Widjojo Nitisastro; dan bekas Menteri Keuangan Ali Wardhana adalah alumni yang menjadi duet pimpinan mafia arsitek ekonomi Orde Baru itu.
Menurut ekonom Standard Chartered, Fauzi Ichsan, penempatan Boediono dan Sri Mulyani di tim ekonomi kabinet memang mengingatkan orang pada era duet pasangan Widjojo-Ali Wardhana-meski Sri Mulyani belum bisa disetarakan dengan seniornya itu. "Tim ekonomi kembali ke jalur teknokratis," kata Fauzi. "Ini seperti reinkarnasi tim Berkeley."
Dengan komposisi baru ini, Fauzi memperkirakan, bakal terjadi perubahan arah kebijakan ekonomi yang cukup mendasar. Kebijakan yang ditelurkan bakal bersifat lebih hati-hati dan konservatif. "Defisit anggaran negara akan dikunci," ujarnya. Ciri lainnya, kebijakan pro-pasar bakal berlanjut, yang dibarengi dengan berbagai kebijakan deregulasi-salah satu keberhasilan Ali Wardhana.
Sri belum bersedia berkomentar tentang berbagai langkah yang akan dilakukannya. Namun Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang tampil dengan kebaya birunya, sore itu, menyinggung soal pentingnya koordinasi di tim ekonomi.
Entah dimaksudkan menyentil Aburizal dan Jusuf Anwar atau tidak, Sri mengambil perumpamaan dari acara serah-terima jabatan Menteri Perekonomian yang digelar di ruang yang sama, hanya sesaat setelah acaranya usai. "Untuk serah-terima jabatan saja, Menteri Koordinator dan Menteri Keuangan harus berkoordinasi," katanya.
Kata koordinasi ini sempat pula disinggung Aburizal saat memberikan kata sambutan. Secara tersirat, ia pun menyatakan, tim ekonomi yang kuat hanya bisa lahir bila ada dukungan penuh dari pimpinan nasional.
Pernyataan Aburizal ini seolah mengingatkan khalayak pada sinyalemen yang berkembang seputar tarik-ulur rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, 1 Oktober lalu. Saat itu beredar kabar bahwa ia tak mendapat dukungan penuh dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menaikkan harga BBM.
Akibatnya, mantan bos Grup Bakrie ini-bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla-menjadi sasaran tembak massa yang kecewa dengan kebijakan tak populer itu. Namun, kata Aburizal, sudah menjadi kewajiban moral pimpinan untuk menghadapi tantangan. "Bukan menunda-nunda atau mengabaikannya."
Aburizal juga sempat menyinggung soal merebaknya berbagai prasangka-yang tak jarang mengarah kepadanya-seperti kecurigaan adanya konflik kepentingan tender proyek pemerintah yang dimenangkan Grup Bakrie, dan konon menjadi alasan penggantian dirinya. "Ini tak kondusif. Tapi saya yakin," kata Aburizal, "Pak Boediono dengan kredibilitas yang sangat baik, akan dapat mengatasinya."
Soal kredibilitas Boediono, menurut Fauzi, pasar memang tak meragukannya. Ini tercermin dari kurs rupiah yang menguat hampir 350 poin sejak namanya disebut Presiden Yudhoyono di Medan, Jumat dua pekan lalu. Hingga Jumat pekan lalu, rupiah ditutup pada posisi Rp 9.690 per US$ 1. Di Bursa Efek Jakarta, indeks harga saham gabungan pun kembali menguat ke level 1.160,068. "Pasar masih ingat track record Boediono yang berhasil mengawal ekonomi Indonesia keluar dari program IMF," kata Fauzi.
Doktor alumni Wharton School, Universitas Pennsylvannia, Amerika Serikat ini juga dinilai berhasil dalam penyusunan white paper yang menjadi acuan ekonomi Indonesia setelah keluar dari program IMF. Dengan masuknya Boediono, kata Fauzi, diharapkan akan ada panduan yang jelas tentang arah ekonomi ke depan. "Sehingga kalangan bisnis bisa membuat prediksi," tuturnya.
Harapan segunung memang kini berada di pundak Boediono. Presiden pun memintanya segera meredam laju inflasi, yang selama 11 bulan terakhir sudah mencapai 17,17 persen, bahkan inflasi tahunan untuk November lalu mencapai 18,4 persen-level tertinggi selama enam tahun terakhir. Tugas lainnya adalah menggenjot kembali pertumbuhan ekonomi yang kini loyo akibat merosotnya daya beli masyarakat, setelah harga BBM naik rata-rata 126 persen pada Oktober lalu.
Ini jelas bukan perkara enteng. Sebab, tahun depan, inflasi diharapkan bisa ditekan menjadi 8 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi dipatok 6,2 persen. Padahal, di kuartal ketiga tahun ini, pertumbuhan ekonomi justru merosot tinggal 5,3 persen-lebih rendah dari dua kuartal sebelumnya, yang masing-masing 5,8 persen dan 6,1 persen. Padahal Fauzi maupun IMF meramalkan pertumbuhan tahun depan hanya 5,5 persen.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini, menurut Joshua Tanja, analis PT UBS Securities, dalam paparan risetnya, diperkirakan bakal berlanjut hingga semester pertama tahun depan. Begitu pula dengan kebijakan pengetatan likuiditas bank sentral yang ditandai dengan tingginya suku bunga.
Karena itu, BI rate, suku bunga patokan Bank Indonesia, yang kini sudah mencapai 12,75 persen, diperkirakan baru akan menurun pada semester kedua tahun depan. Dan pada saat itulah, percepatan pertumbuhan ekonomi pun baru akan kembali dimulai.
Perkiraan serupa disimpulkan Ong Sin Beng, ekonom JP Morgan Chase & Co di Singapura. Dalam paparan risetnya bahkan disebutkan, suku bunga sertifikat Bank Indonesia pada akhir tahun ini akan mencapai 13,5 persen dan baru akan turun ke level 9 persen pada akhir 2006.
Berbagai kemungkinan itu, kata Boediono, bukan tak mungkin memang bakal terjadi. Namun, ia mengingatkan, semuanya bergantung pada seberapa cepat stabilitas ekonomi dan kepercayaan yang hilang bisa kembali diraih. "Dan saya selalu optimistis. Dalam keadaan gelap, selalu ada saja cahaya yang keluar," ujarnya.
Metta Dharmasaputra
Menanti Jawaban Boediono
Dua tahun setelah Boediono dipercaya Presiden Megawati Soekarnoputri menjabat Menteri Keuangan (2001-2003), sejumlah indikator ekonomi membaik. Tantangan serupa kini harus dihadapinya.
Indikator | 2001 | 2003 | 2005* |
---|---|---|---|
Inflasi (%) | 12,55 | 5,06 | 17,17 |
Kurs (Rp/US$1) | 10.254 | 8.572 | 9.997 |
SBI 3 bulan (%) | 17,6 | 8,3 | 12,83 |
IHSG | 392,0 | 691,9 | 1.119,4 |
Cadangan Devisa (US$ miliar) | 28,3 | 36,3 | 33,2 |
Pertumbuhan ekonomi (%) | 3,5 | 4,1 | 5,3** |
* Hingga akhir November
** Kuartal ketiga year on year
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo