Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUMA setahun masa pensiun sempat dinikmati Boediono. Keasyikannya mengajar sekali seminggu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kembali harus ditinggalkan. Tugas negara ”memaksanya” balik ke Lapangan Banteng—lokasi kantornya semasa menjabat Menteri Keuangan pada era Megawati Soekarnoputri—dengan posisi baru sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. ”Barangkali saya memang harus memberikan sumbangan,” katanya mengungkapkan alasan kenapa akhirnya ia mau menerima ”pinangan” Presiden Yudhoyono.
Pasar pun langsung diterpa euforia menyambut kehadiran doktor lulusan Wharton School, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, ini. ”Pasar memang sudah lama merindukan kehadiran Boediono,” kata ekonom Bank Standard Chartered, Fauzi Ichsan. Inflasi tinggi belakangan ini membuat nostalgia kehadirannya tiba-tiba meruap.
Maklum, sebagai Menteri Keuangan, pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 62 tahun silam, ini memang pernah berjaya menurunkan inflasi dan menstabilkan rupiah. Berkat keberhasilannya itu, lelaki sederhana yang kini dijuluki a hawk on inflation (burung pemangsa inflasi) ini pada pertengahan 2003 lalu dinobatkan oleh majalah Business Week sebagai salah satu dari 25 orang paling berpengaruh yang membawa perubahan di Asia.
Perubahan serupa kini diharapkan lagi oleh pasar. Sosok yang dikenal bersahaja ini pun mulai berkantor kembali di lantai empat gedung Departemen Keuangan, yang telah ”disulap” Aburizal Bakrie, pendahulunya, menjadi kantor termewah di gedung itu. ”Terima kasih Pak Ical telah mewarisi saya the dream office,” ujarnya disambut tepuk tangan para tamu yang menghadiri acara serah-terima jabatannya, Rabu pekan lalu.
Lantas, apa yang akan dilakukannya untuk memenuhi harapan itu? Selama hampir 45 menit, Boediono meluangkan waktu untuk menjelaskan hal ini kepada Tempo di kantornya, Kamis sore pekan lalu. Berikut adalah petikan wawancara M. Taufiqurohman, M. Teguh, Metta Dharmasaputra, Heri Susanto, Agus Supriyanto, dan fotografer Cheppy N. Muchlis dari Tempo dengan Boediono.
Bisa diceritakan bagaimana Anda menerima tawaran untuk menjabat menteri lagi?
Sebetulnya, waktu pergantian kabinet dulu, saya memang tidak ingin menjadi menteri lagi. Saya ingin istirahat. Saya pun ingin menekuni sisi lain kehidupan saya di bidang akademik, yaitu mengajar, membaca, menulis, ikut seminar dan riset, yang dulu saya lakukan sebelum terjun ke pemerintahan.
Lantas, apa yang membuat Anda berubah pendirian?
Yang terakhir men-trigger saya adalah waktu terjadi gonjang-ganjing (pelemahan rupiah) Agustus-September. Bisa dikatakan, saat itu terjadi krisis mini di sektor keuangan. Nah, saat itu saya pikir-pikir, barangkali saya memang harus memberikan sumbangan. Tapi saya tidak menawarkan menjadi menteri. Sama sekali tidak.
Dulu, kabarnya, Anda juga pernah diminta SBY untuk masuk kabinet?
Tidak, tidak.
Tapi kabarnya dulu Anda menolak karena merasa tidak enak dengan Megawati?
Nggak. Saya pada waktu itu memang tidak ingin masuk kabinet. Hati saya (mengatakan) nggak.
Kabar lain menyebutkan, ada ketidakcocokan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menilai Anda terlalu konservatif?
Bukan itu. Saya memang tidak kepingin di pemerintahan waktu itu.
Bagaimana hubungan Anda dengan SBY hingga ditawari jabatan menteri?
Saya nggak punya kontak langsung dengan Pak SBY. Saya hanya ketemu beberapa kali dengan Pak SBY. Yang diomongkan masalah ekonomi, bukan tentang kabinet. Beliau memang ingin mendengar pandangan saya.
Termasuk meminta Anda ikut Tim 45 untuk mempersiapkan pidato presiden di New York?
Ya. Tapi itu bukan bicara soal kabinet. Itu mengenai bahan yang akan disampaikan Indonesia di sidang PBB.
Jadi, sering diundang SBY?
Tidak. Tidak. Sangat tidak rutin. Hanya dua kali.
Waktu itu, apa pendapat Anda soal rencana kenaikan harga BBM?
Hmm…(Boediono terdiam dan hanya tersenyum). Ndak-lah. Pokoknya, yang sudah diputuskan harus kita amankan dari segi dampak negatifnya.
Kembali ke soal penunjukan Anda, kapan pertama kali diminta SBY?
Ya itu, Saudara-saudara sudah tahu, waktu di (bandara) Halim Perdanakusuma.
Itu pertemuan pertama yang meminta Anda masuk kabinet?
Kalau mengenai kabinet, ya.
Waktu di Halim, jabatan apa yang ditawarkan Presiden?
(Tersenyum) Lebih baik saya agak kabur saja, ya. Pokoknya ada tawaran. Tapi waktu itu belum mantap. Jawaban saya pun belum seratus persen.
Benarkah semula Anda diminta merangkap Kepala Bappenas?
Kalau merangkap, tidak. Tidak tahu apa yang ada dalam pemikiran Presiden. Sudah deh, tanya yang lain saja.
Apa yang diharapkan Presiden saat itu dari Anda?
Beliau cerita mengenai masalah stabilitas makro yang perlu dijaga. Lalu, barangkali beliau mengaitkannya dengan pengalaman saya di masa lampau. Ya itulah, nggak ada hal yang spesifik dari beliau.
Tapi, ngomong-ngomong, Anda pernah di-fit-and-proper-test oleh SBY?
Zaman Bu Mega dulu juga enggak. Mungkin (saya) sudah diteliti, ha-ha-ha….
Anda terkenal sebagai menteri yang berpandangan konservatif. Apakah ini akan dipertahankan?
Stabilitas itu harus dijaga jangan sampai lepas. Kalau sampai lepas, kita bisa masuk lagi ke mini-crisis. Menjaga stabilitas itu seperti menjaga kesehatan kita sendiri. Kalau kita lihat ada yang sedikit sakit atau kelihatan kurang sehat, harus segera diobati. Itu kiatnya mengendalikan ekonomi makro. Jadi, bukan berarti stabil itu lemah. Stabil itu menjaga keseimbangan. Begitu juga dengan perekonomian. Kalau kita mengayuh tapi tidak seimbang, kita bisa jatuh.
Bukankah menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi kerap bertabrakan?
Kalau dipertentangkan, ya, bisa saja. Tapi, dalam jangka menengah dan jangka panjang, kedua-duanya harus bersama-sama. Sekali lagi saya katakan, begitu kita lepas stabilitas, risikonya (pertumbuhan) juga lepas. Akibatnya, harus pakai solusi yang lebih pahit. Dan dampaknya, ekonomi mundur lagi, (meskipun) kayaknya maju.
Dulu, saat menjadi Menteri Keuangan, Anda juga menghadapi persoalan inflasi dan suku bunga tinggi serta melemahnya rupiah. Apakah sekarang kondisinya sama?
Untuk satu pengertian, ya. Karena di situ kuncinya adalah confidence yang lepas. Confidence adalah kepercayaan dari para pelaku pasar yang punya duit terhadap policy pemerintah. Apakah policy dijalankan dengan kaidah-kaidah yang aman bagi investasi mereka.
Yang berbeda?
Yang berbeda, masalah minyak. Saya kira tidak ada yang menyangka harga minyak dunia akan sampai lebih dari US$ 60 per barel. Bahkan sampai 2004 menjelang saya mundur, itu juga nggak terpikir oleh saya. Faktor eksternal ini yang sekarang agak menekan, dan mungkin masih terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Adakah perbedaan lain yang bersifat positif?
Saya kira ruang untuk percepatan pertumbuhan ekonomi sekarang lebih lebar dibandingkan dengan tahun 2001 (saat Boediono diangkat menjadi Menteri Keuangan—Red). Rasio-rasio APBN sudah membaik, misalnya rasio total utang terhadap PDB. Ini memberi ruang untuk lebih proaktif.
Tahun 2003, inflasi dapat ditekan, tapi pertumbuhan ekonomi hanya 4 persen. Ini dinilai terlalu konservatif….
Sekali lagi, tujuannya adalah keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas. Di saat-saat tertentu memang ada konflik atau trade off. Tapi inflasi tinggi itu pun tidak selalu bisa dikaitkan dengan keberhasilan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kuncinya adalah confidence tadi. Itulah tema yang menjadi fokus saya di zaman Ibu Megawati.
Dengan kata lain, pemulihan kepercayaan menjadi sentral kebijakan ekonomi?
Yang terpenting adalah mengembalikan kepercayaan pelaku pasar sehingga kita tidak harus mengetatkan likuiditas. Dengan adanya confidence, inflasi akan turun, suku bunga turun, dan kurs stabil. Jadi, bukan karena diintervensi, bukan karena likuiditas diketatkan. Lihat saja, pada tahun-tahun itu (2001-2004) jumlah uang yang beredar ketat atau tidak? Tapi memang untuk mengembalikan confidence makan waktu cukup lama.
Apakah sekarang dibutuhkan waktu yang sama untuk memulihkan kepercayaan?
Saya tidak mengatakan waktu tiga tahun itu sepenuhnya diperlukan. Tapi, pada saat tertentu, kita memang lebih baik tidak menggunakan instrumen ekonomi untuk mendorong pertumbuhan, yang risikonya menimbulkan kembali ketidakpercayaan.
Contohnya?
Defisit anggaran ditingkatkan tiba-tiba. Pasar tentu akan melihat apa yang dilakukan pemerintah sustainable atau tidak. Mereka tentu tidak mau pertumbuhan hanya berlaku satu tahun tapi di tahun-tahun berikutnya bermasalah.
Tapi, bukankah pemerintah bakal menaikkan defisit APBN tahun depan dari 0,7 persen menjadi 1,1 persen dari PDB?
Saya belum bisa mengatakan dalam angka-angka. Tapi, kalau kisarannya hanya 1-1,5 persen, itu masih aman.
Berbicara soal kepercayaan, sekarang posisi kita ada di mana?
Sekarang posisi kita ada pada titik pembalikan.
Kapan kita bisa kembali take off?
Istilah take off itu rasanya kurang pas. Itu hanya untuk pesawat terbang. Untuk ekonomi, jangan pakai istilah itu deh. Yang penting, kita bisa kembali tumbuh pada tingkat yang cukup untuk menyerap tenaga kerja dan mampu meningkatkan pendapatan per kapita secara cukup berarti dari tahun ke tahun. Mungkin pertumbuhan ekonomi 6-7 persen per tahun yang ideal.
Efek kenaikan harga BBM masih akan dirasakan. Menurut Anda, apa titik krusial tahun depan?
Titik krusialnya adalah jika ada beberapa usaha yang harus melakukan pemutusan hubungan kerja karyawan dan harus pindah atau tutup. Ini kan berarti pertumbuhan negatif.
Beberapa hasil riset mengatakan pelambatan pertumbuhan ekonomi akan berlangsung hingga semester pertama 2006. Anda sepakat?
Pak Burhan (Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia) memang mengatakan pelonggaran moneter baru bisa dilakukan semester kedua. Tapi saya selalu optimistis. Dalam keadaan gelap, selalu saja ada cahaya yang keluar. Bahwa tahun depan pertumbuhan ekonomi akan slow down, mungkin saja. Tetapi apakah akan terjadi, ini bergantung pada seberapa cepat stabilitas bisa dikembalikan.
Jadi, Anda yakin bisa lebih cepat?
Kalau saya, seandainya kita bisa konsisten dengan apa yang kita lakukan, barangkali bisa lebih cepat. Kita lihat saja kurs rupiah, bisa cepat membaik. Kurs itu salah satu faktor yang sangat penting dan menjadi penentu inflasi. Kalau kurs membaik, harga barang-barang bisa turun. Akibatnya, suku bunga juga turun, sehingga bisa menggairahkan sektor riil lagi.
Beban pembayaran utang tahun depan amat berat. Apakah ada rencana meminta pemotongan utang?
Saya setuju (ada pemotongan utang) kalau memang ada jalan keluar yang tidak mempengaruhi stabilitas. Kalau kita ekstrem, misalnya ngemplang, apa yang akan terjadi? Semua aset dan hasil-hasil ekspor kita di luar negeri juga akan dikemplang, disita.
Bukankah Argentina berhasil melakukannya?
Argentina itu hubungan dan iklim politiknya dengan Amerika lain dengan kita. Ini harus dihitung semua.
Hubungan antara pemerintah dan BI dinilai kurang harmonis. Benarkah?
Saya tadi ketemu Pak Burhanuddin. Kelihatannya tidak ada masalah. Dulu di zaman saya malah ada masalah krusial menyangkut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ini masalah besar dan menjadi bola panas. BLBI ini siapa yang harus menanggung, BI atau pemerintah? Karena itu, sekarang ini tinggal memperbaiki pola hubungan dengan personal approach.
Maksudnya?
Dalam proses pembentukan kebijakan, masalah person ini menonjol juga. Kalau ada satu-dua orang ngomong dengan bahasa yang dianggap oleh yang lain tidak terlalu friendly, ya, nggak ketemu juga. Ekonomi itu dalam prakteknya adalah masalah art, masalah feeling. Hitung-hitungannya itu gampang sebenarnya.
Tapi, bagaimana hubungan pemerintah dengan BI ke depan?
Suatu otoritas moneter seyogianya tidak terlalu dipolitisasi, direcoki dengan pertimbangan politik. Cuma, kita memang masih perlu ada koordinasi antara otoritas fiskal dan otoritas moneter. Di Indonesia, ini banyak ditentukan oleh personal approach.
Soal pengampunan pajak yang sekarang digodok di DPR, pendapat Anda bagaimana?
Jawabannya Saudara sudah tahu pada waktu saya menjabat Menteri Keuangan (Boediono tak pernah menyetujuinya—Red). Tapi sekarang nggak tahu bagaimana.
Soal privatisasi?
Saya kira kebijakan privatisasi perlu diperjelas. Tapi, karena saya sudah masuk kabinet, bukan pengamat, lebih baik saya diam.
Anda kerap dilekatkan dengan label pro-IMF dan penganut paham neo-liberal….
Label-label besar itu apakah ada gunanya bagi rakyat? Menurut saya, yang penting mana yang memberikan manfaat dan kesejahteraan terbesar. Kalau kita terikat dengan ideologi-ideologi, ya repot. Tuntutan rakyat itu cuma dua hal: harga-harga kebutuhan yang stabil dan pendapatan yang bisa diandalkan. Ini artinya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Saat serah-terima jabatan, Anda menyatakan Widjojo Nitisastro sebagai sosok yang Anda kagumi….
Ya, beliau salah satu yang saya kagumi.
Siapa yang paling Anda kagumi?
Mohammad Hatta. Karena, sebagai ekonom, wawasannya luas sekali. Dari segi aspek ekonomi maupun politik, perhitungannya total. Sebagai pribadi, dia juga sangat saya kagumi.
Kalau ekonom dunia?
Ekonom dunia saya nggak tahu banyak. Lebih baik ekonom Indonesia saja yang saya kagumi.
Anda dikenal tak pernah mau direpotkan dengan urusan protokoler. Kenapa?
Kalau, misalnya, saya kembali ke Yogya, ya, paling bahagia kalau saya dijemput oleh istri sendiri. Itu kan soal kebahagiaan. Saya nggak mau pakai Mercy, maunya pake mobil Honda Civic yang biasa dibawa oleh istri saya saja. Selain itu, saya berpikir apakah saya begitu pentingnya, kok diperlakukan seperti raja.
Dengan segudang kesibukan, masih sempat berolahraga?
Olahraga saya jalan kaki. Ekonom itu kan cari yang paling murah. Kadang kala saya juga tenis, terus fitness. Tapi akhir-akhir ini agak kurang. Paling-paling seminggu dua kali.
Ngomong-ngomong, Anda dikenal sangat sabar. Apakah tidak pernah jengkel saat menghadapi pertanyaan DPR atau pers?
Pernah, ha-ha-ha….
Boediono
Lahir:
- Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943
Pendidikan:
- Bachelor of Economics (Hons.) Universitas Western, Australia (1967)
- Master of Economics, Universitas Monash, Melbourne, Australia (1972)
- Doctor of Philosophy, Wharton School, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, bidang ekonomi bisnis (1979)
Karier:
- Dosen Fakultas Ekonomi UGM
- Direktur I Bank Indonesia Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter (1997-1998)
- Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kabinet Reformasi Pembangunan (23 Mei 1998- 29 Oktober 1999)
- Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong (10 Agustus 2001-21 Oktober 2004)
- Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu (7 Desember 2005-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo