Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Doa dari Dua Dunia

Di tengah situasi yang tidak menentu, Abd-al Malik menemukan jati diri. Ia pun bangkit setelah mengalami masa paling suram.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk kawan-kawanku yang telah meninggal: Abd-el Salam (overdosis), Alain (kecelakaan mobil), David (terbunuh), Djamel (terbunuh), Farouk (AIDS), Hamedi (bunuh diri di penjara), Manu (kecelakaan sepeda motor), dan yang lain. ”Semoga damai di sisi-Nya.” Begitulah Abd-al Malik memulai bukunya, Qu’Allah Bénisse la France—Semoga Allah memberkati Prancis.

Bersama mereka, kawan-kawan itu, Malik nyaris melampiaskan masa mudanya tanpa sisa. Dengan berlembar uang rampokan, berbotol minuman keras mengguyur lambung, bergram obat terlarang meracuni nadi. Inilah cara mereka membalas dendam setelah Prancis mengazabnya dengan kepedihan, kejahatan, kemiskinan, rasisme, dan segregasi.

Tulis Malik di buku itu: ”Prancis sebuah teater panggung yang tak bergerak, yang hampir tak mengakui perannya. Kalian hanya sisa-sisa Afrika yang kehilangan jiwa di benua induk, terlempar terapung-apung tak diakui di negeri baru. Di atas tanah cité ini aku dibesarkan dan dibekali kebudayaan asing dan hancur.”

Pemuda legam itu lahir di Paris pada 1975 dari keluarga Katolik yang teguh. Nama baptisnya Régis. Orang tuanya datang di Paris dari Kongo sebagai mahasiswa institut ilmu politik. Mereka tinggal di apartemen kumuh. Padahal di Brazaville mereka menempati rumah besar.

Pada 1981, ayah Abd-al Malik mendapat beasiswa di jurusan jurnalisme, di Strasbourg, Prancis. Mereka sekeluarga lalu pindah ke Cité du Neuhof, di pinggir Strasbourg. Di kawasan itu menjulang puluhan menara apartemen, menyimpan 20 ribu orang yang kebanyakan berasal dari Afrika.

Jentera terus berputar dan perubahan pun terjadi. Ayah Abd-al Malik yang tampan suka main perempuan. Karena kegemaran itu dia bunuh diri pada 1983 meninggalkan istri, empat anak laki-laki, serta utang ribuan franc. Kesedihan melanda keluarga yang ditinggalkan: impian kembali ke Kongo sirna. Sang ibu mencoba menghibur hati dengan alkohol, meski masih percaya Tuhan akan menolong mereka.

Malik, ketika itu delapan tahun, mulai bikin ulah. Ia pecahkan kaca jendela apartemen untuk mencuri baju. Bersama teman segengnya ia tantang anak-anak kulit putih. Pada tahun baru ia menghancurkan pintu belakang minimarket dengan petasan. Permen, cokelat, dan gula-gula ludes dari minimarket itu.

Sebenarnya Malik rajin dan pintar. Nilai sekolahnya selalu bagus, ia diterima di Collège Sainte-Anne, SMP Katolik terbaik di Strasbourg, tanpa bayar. Jadi, ia jalani hidup di dua dunia. Di satu sisi ia sangat serius, baik, sopan, dan rajin. Di sisi lain ia perampok kecil yang sering berulah bersama teman-temannya.

Malik tumbuh jadi pencopet ahli, beroperasi tiap akhir pekan di Petite France, sebuah kawasan pariwisata. Ia membeli baju, sepatu mahal dan bermerek seperti Nike dan Adidas, celana jogging Fila atau Ellesse dengan uang copetan.

Suatu malam ia mencopet tas seorang ibu tua. Ibu tua itu bertahan, hingga akhirnya jatuh. Sejak itu, Malik dihantui perasaan bersalah. Wajah perempuan tua itu membayangi pikirannya. Ia lalu membaca buku karya Sénèque, Camus, Huxley, Orwell. Pahlawan barunya: Malcom X., muslim hitam Amerika yang berjuang untuk hak kenegaraan kaum hitam di Amerika.

Ketika berlibur di rumah saudaranya, Malik mendengar musik rap Prancis. Ia tak menyangka, musik rap bisa dinyanyikan dalam bahasa Prancis. Lalu, bersama teman-temannya di Cité Neuhof, ia mendirikan band rap NAP (New African Poets). ”Kami mengambil rap untuk melarikan diri dari penjara hidup,” demikian salah satu lirik lagu NAP.

Awalnya konser mereka tak menghasilkan uang. Untuk menutupi kebutuhan, pemuda itu menjual ganja. Ini menggelisahkan Malik. Ia percaya Tuhan tapi tak menemukan kedamaian. Ia mengalami krisis spiritual.

Suatu hari, ia dan seorang teman pergi ke masjid di Strasbourg. ”Kalau ingin masuk masjid harus bersih dan halal,” kata temannya. Ajaib, Malik tak tersinggung, tak marah, justru terkesan dengan kata-kata itu. Ia membakar semua baju mewahnya, baju-baju yang ia beli dengan uang haram.

Singkat kata, Abd-al Malik memeluk Islam, melepaskan nama baptisnya. Ibunya menghormati pilihan anaknya, meski ia sendiri tetap Katolik. Ketika itulah Malik diterima kuliah di fakultas sastra klasik. Di kampus, pemuda itu tetap berpakaian biasa. Keluar kampus, ia mengganti bajunya dengan djellaba (jubah/shalwar-kamiz), dipadu dengan chéchia. Ia biarkan janggutnya tumbuh panjang.

Suatu hari pada Ramadan 1994, tiga pemuda berjenggot berdiri di samping imam di sebuah masjid. Mereka berkata, ”Apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita yang pekerjaannya nongkrong tak jelas di jalan, nakal dan agresif? Kita harus mendorong mereka masuk Islam. Siapa yang siap ikut fi sabilillah?” Malik segera mengangkat tangan.

Sejak itu Malik mulai menjadi pengkhotbah tanpa meninggalkan band dan lagu rapnya. Apalagi ketika itu band NAP sedang naik daun. Jadi, satu malam ia menjadi vokalis rap dan melakukan hip-hop battle tanpa diketahui saudara-saudara muslimnya. Pada malam berikutnya ia keliling berkhotbah tanpa setahu teman-teman rapper-nya.

Tapi akhirnya terjadilah itu: suatu malam, selesai berkhotbah, seorang pemuda mengenali Malik sebagai penyanyi rap. Anak muda itu berteriak, berlari meminta tanda tangan. Para imam yang menyertainya segera mafhum, menyeret Malik ke tempat sepi, lalu memaksa Malik memilih, ”Musik rap kamu haram. Kamu harus memilih, rap atau Allah.”

Berbulan-bulan depresi merundung Malik. Ia sering menangis sendiri di kamarnya. Ia mulai menimbang-nimbang sikap sempit dan tertutup teman-temannya di kelompok dakwah itu. Ia baru sadar akan rasa bencinya terhadap dunia Barat, dan menyebutnya sebagai kanker raksasa. Ia pun menyadari sikap mereka yang merasa sebagai satu-satunya pemegang kebenaran.

Lalu Malik mulai membaca buku-buku Sufi al-Ghazali, Ibn Arabi, maupun Rumi: /Kamu telah sampai ke menara kalbu, berhentilah di sini/ Karena kamu sudah melihat bulan itu berhenti di sini/Kamu begitu lama berjalan-jalan tanpa tujuan/Ke mana-mana karena kebodohanmu, berhenti di sini....

Bacaan-bacaan itu membebaskan keresahan Malik. Akhirnya ia sampai di Maroko, menemui Cheikh Sidi Hamza, pemimpin tarekat al-Qadiriya al-Butchichiya. Sang ulama mengajarinya menjadi manusia berhati dunia. Ia mendorong Malik untuk tetap menulis lagu hip-hop, tentang cinta Allah. Traces de Lumiere: sumber kedamaian batin adalah jika minum dari sumber itu....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus